Sisi Positif Tetap Tampak di Masa Transisi
IMNEWS.ID – APA saja yang berada dalam sebuah ruang waktu dalam kehidupan ini, di zaman kapanpun, pasti akan menyesuaikan diri atau beradaptasi dalam sebuah proses yang disebut masa transisi, yang biasanya juga membutuhkan waktu ketika terjadi perubahan. Penyesuaian pasti terjadi karena perubahan suasana dan kondisi, baik secara alami atau natural, maupun karena adanya bencana alam dan perang.
Proses penyesuaian seperti itulah yang juga pasti terjadi dalam masa transisi yang sedang berlangsung di Kraton Mataram Surakarta saat ini, meskipun komposisi persentasinya sulit dikalkulasi, antara proses yang natural dan yang tidak alami. Penyesuaian itu akibat perubahan yang terjadi dari proses “perdamaian” yang sedang berjalan pula, sejak dicapai Sinuhun PB XIII dengan Gusti Moeng, 3 Januari 2023.
Berlangsungnya ritual hajad-dalem “Malem Selikuran” yang digelar Pengageng Sasana Wilapa Kraton Mataram Surakarta, Selasa malam (iMNews.id, 12/4/2023), mendapat giliran berikut mengalami proses penyesuaian akibat perubahan, setelah beberapa jenis upacara adat sebelumnya berlangsung, di antaranya tingalan jumenengan, 16 Februari 2023.
Situasi dan kondisinya mungkin sama dengan masa transisi yang terjadi pada ritual tingalan jumenengan, yang diwarnai dengan batalnya personel prajurit dari “dua pihak” atas keputusan sepihak yang terkesan “memboikot”. Juga batalnya “pentas gabungan” penari Bedaya Ketawang, karena pertimbangan kualitas tak dapat dipertaruhkan sebagai hasil “seleksi” yang dilakukan Gusti Moeng.
Namun, proses penyesuaian yang terjadi pada ritual hajad-dalem “Malem Selikuran” tak menimbulkan goncangan sehebat yang terjadi pada tingalan jumenengan. Karena, banyak sekali faktor positif yang seakan menutupi dan menghapus kesan-kesan negatif itu. Kesan-kesan positif yang menonjol itu, adalah ekspresi sukacita kalangan warga Pakasa yang hadir, yang datang dari berbagai tempat jauh atas biaya sendiri, secara sukarela ikut bergotong-royong “memikul beban”.
Tak hanya ekspresi yang diperlihatkan rombongan warga Pakasa Cabang Trenggalek yang dipimpin KRAT Seviola Ananda Reksobudoyo (Ketua Cabang), rombongan Pakasa Cabang Jepara yang diutus ketuanya, KRA Bambang Setiawan (iMNews.id, 13/4), juga Pakasa Cabang Ponorogo yang dipimpin ketuanya, KRRA MN Gendut Wreksodiningrat atau rombongan Pakasa Cabang Magelang yang dipimpin langsung ketuanya, KRAT Bagiyono Rumeksonagoro.
Rombongan warga Pakasa Cabang Nganjuk yang dipimpin KRAT Sukoco juga merasakan suasana sukacita, silaturahmi penuh kekeluargaan, saling membantu bergotong-royong memikul beban “kremun” dan isi uba-rampe hajad-dalem “Tumpeng Sewu”, ancak dan isi puluhan bungkus nasi “wuduk”, serta kebersamaan bergabung mengikuti kirab keliling Baluwarti dan mendukung doa wilujengan di kagungan-dalem Masjid Agung.
Bahkan, rombongan Pakasa Cabang Pati yang diketuai KRAT Mulyadi Puspopustoko, juga tampak berbahagia yang terlihat dari tempat duduknya di deretan depan menghadap ke selatan di tempat upacara, ruang tengah pendapa Masjid Agung. Dia bahkan memperlihatkan sebungkus nasi “wuduk Tumpeng Sewu”, sebagai tanda “ngalab berkah”, yang diyakini sebagai limpahan rezeki Allah SWT, karena sudah didoakan abdidalem jurusuranata MNg Ifa Hamidi Projodipuro.
“Rombongan pengurus dan warga Pakasa Nganjuk ikut merasakan kebahagiaan saat menyambut Malem Selikuran. Karena pada Ramadan tahun-tahun sebelumnya, masih dalam suasana pandemi Corona. Jadi tidak bisa ikut merasakan sukacita, kegembiraan dan kemeriahan seperti tadi malam. Pelaksanaan (Malem Selikuran) tadi malam sudah baik. Mudah-mudahan akan lebih baik lagi pada tahun 2024,” harap KRAT Sukoco yang dihubungi iMNews.id, kemarin.
Perasaan, kesan dan harapan serupa juga diungkapkan KP Probonagoro, Ketua Pakasa Cabang Klaten yang malam itu memimpin 80-an orang anggota rombongan pengurus dan warga Pakasa Kabupaten Klaten. Di mata Pakasa Klaten, pelaksanaan ritual “Malem Selikuran” malam itu berjalan sukses, meriah suasananya, khidmat upacara doanya, lancar dan luar biasa yang terlihat dari jumlah yang sowan.
“Saya melihat, Malem Selikuran yang digelar di awal Gusti Moeng kembali masuk kraton ini sungguh luar biasa. Terutama dari sisi kekhidmatan saat doa di Masjid Agung. Kewibawaannya sangat terasa. Waktu iring-iringan kirab keluar dari kraton, juga sudah terasa kewibawaannya. Padahal, upacara adat Malem Selikuran lebih longgar suasananya. Tetapi tetap terasa wibawanya,” tanda KP Probonagoro yang dihubungi iMNews.id, kemarin.
Pakasa Cabang Klaten, termasuk yang memiliki warga terbanyak hampir sama dengan Pakasa Cabang Ponorogo, yaitu sekitar 3 ribu orang yang sudah ber-KTA. Cabang ini sangat proaktif saat Kraton Mataram Surakarta menggelar upacara adat, dengan berpartisipasi langsung, ikut mengisi acara, seperti Malem Selikuran yang biasanya melibatkan grup Santiswaran yang menjadi aset seni budaya Cabang Klaten.
Dari pantauan sekretariat panitia, KRT Arwanto Purbodipuro menyebut ada belasan utusan Pakasa cabang dari berbagai daerah di tiga provinsi yang kelihatan, meski tidak semuanya disertai figur ketuanya. Tetapi banyak juga yang tidak kelihatan menunjukkan “gawa-gawene” dan “labuh-labete”, tetapi sangat bisa dimaklumi karena tahun 2023 ini situasinya secara umum masih berat akibat pandemi Corona.
iMNews.id juga mencatat, sejumlah utusan Pakasa Cabang dari Provinsi Jateng seperti dari Kabupaten Demak, Kabupaten Slawi/Tegal, Banjarnegara, Cilacap, Kebumen dan Blora, juga beberapa dari Provinsi Jatim seperti Pakasa Kabupaten Magetan, Blitar, Kediri, Tulungagung, Malang dan Gresik yang belum lama terbentuk, juga tidak kelihatan ada utusannya.
“Kalau saya, bisa disebut mewakili Pakasa Cabang Jogja. Walaupun (kepengurusan) agak vakum, yang penting ada perwakilannya. Saya punya jadwal dua kali dalam seminggu, sowan di Kraton Mataram Surakarta. Malam ini saya sowan bersama dua orang Jenderal (TNI-Red). Orang penting semua, yang ingin merasakan secara langsung upacara adat Malem Selikuran. Karena belum pernah,” jelas Dr Purwadi, peneliti sejarah dari Lokantara Pusat (Jogja), yang ditemui iMNews.id, malam itu.
Selain menunjukkan konsistensi dalam konsekuensi mewujudkan “gawa-gawe” dan “labuh-labet”, peneliti sejarah khusus tentang “Mataram Surakarta” itu juga merasakan adanya sebuah upaya untuk beradaptasi dan menyesuaikan dalam masa transisi perubahan. Dan penyesuaian atau adaptasi itu akan terus berlanjut sampai situasi dan kondisi secara umum yang dipimpin Gusti Moeng itu, mencapai format ideal, kelak.
Format ideal tersebut, bisa jadi merupakan format yang terbentuk dari olahan manajerial “Bebadan Kabinet 2004” pada situasi sekarang dan ke depan setelah mengalami restrukturisasi dan “reformasi”. Dan perubahan secara natural yang sedang berlangsung akibat peristiwa “perdamaian” itu, pasti akan membentuk format baru dari dua kelompok prajurit, juga kelompok yang secara “tiba-tiba berbelok arah”, setelah bersepakat mendukung bersama-sama “Malem Selikuran”.
Meski ada kesan negatif seakan tidak bisa atau sulit bergabung atau melakukan proses rekonsiliasi antara dua pihak di jajaran bawah atau non-elit, kesan positif masih tampak dan bisa dipahami saat ada ritual “Malem Selikuran” yang dinisiasi seorang kerabat memandu kirab menuju Taman Sriwedari atau eks Kebon Raja, Selasa malam, 11 April itu.
“Nggak tahu, kurang tiga hari atau tanggal 8 (April), tiba-tiba ada kabar dari Dinas Pariwisata Pemkot, yang bertanya pada saya soal kirab Malem Selikuran. Ternyata, ada kerabat yang mengadakan Malem Selikuran ke Taman Sriwedari. Padahal, kami sudah memberi tahu takmir Masjid Agung dengan semua petugas yang menyiapkan do wilujengan di sana. Ini yang tidak bisa dibatalkan mendadak. Tetapi, ya enggak apa-apalah. Masih ada sisi positifnya”.
“Karena, jadi ada yang mengisi ke sana (Taman Sriwedari-Red). Yang satu, tetap digelar di sini. Dulu memang begitu. Malem Selikuran diarak ke Taman Sriwedari, untuk mengisi Maleman Sriwedari. Karena Sriwedari sudah dirusak, Malem Selikuran kami kembalikan ke Masjid Agung, seperti dulu lagi, sebelum Sinuhun PB X memindahkan ke Kebon Raja,” sebut Gusti Moeng menjawab pertanyaan para awak media yang mewawancarainya di topengan Kori Kamandungan, Selasa malam itu.
Selain beberapa hal yang positif dalam proses penyesuaian akibat masa transisi yang terjadi di atas, hal-hal yang bernuansa negatif ternyata juga selalu mengikuti, walau persentasinya jauh lebih kecil. Misalnya saja, adanya potensi hambatan berupa sebuah keramaian yang sempat menutup jalan di ruang simpang tiga depan Kori Brajanala Kidul, atau pintu keluar Kori Magangan.
Akibat tidak terdeteksi oleh panitia, kirab “Malem Selikuran” tiba-tiba terhenti oleh keramaian parkir beberapa jenis kendaraan dan kerumunan di situ, sehingga laju kirab terhambat sampai lebih 15 menit. KRMH Suryo Kusumo Wibowo sangat mungkin tidak memiliki tenaga cukup untuk “mendeteksi”, atau mungkin psoses komunikasi antara kraton dengan pihak Pamong Kelurahan Baluwarti, juga belum lancar akibat proses perubahan di masa transisi.
Kabar yang terdengar kurang menyenangkan juga muncul dari kalangan abdidalem “Kanca Kaji” asal Salatiga, yang pulang dengan rombongan ke asalnya, sebelum kirab ritual “Malem Selikuran” dimulai, Selasa malam itu. Rombongan yang tiba di halaman Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa bersamaan dengan berkumpulnya 9 bregada prajurit, juga grup seni hadrah dari Grobogan, mendapat penjelasan yang terkesan bertolak-belakang.
Menurut salah seorang abdidalem “Kanca Kaji” yang berhalangan hadir, ada oknum dari kelompok yang “tidak mau damai” memberi tahu kepada rombongan “Kanca Kaji” bahwa mereka tidak diperlukan dalam ritual hajad-dalem Malem Selikuran. Sangat mungkin informasi “menyesatkan” itu didengar di Pendapa Pagelaran, karena kelompok yang “tidak mau damai” juga berkumpul di situ. (Won Poerwono-bersambung/i1)