“Kesetaraan Gender” di Nusantara Sejak Lama, “Srikandi Mataram” Tetap Langka
IMNEWS.ID – SEBUTAN “Putri Mbalela” yang diberikan sang ayah, Sinuhun PB XII kepada GKR Wandansari Koes Moertiyah di tahun 1990-an silam, walau dalam pengertian umum dianggap kurang positif, tetapi dalam konteks pesoalan yang dialami Gusti Moeng tak mengurangi kapasitas kemampuan sedikitpun yang dimiliki anak- ke-25 dari 35 putra/putri atau anak kesembilan garwadalem atau ibunda KRAy Pradapaningrum. Bahkan sebaliknya, predikat itu semakin menambah kekuatan moral dan spiritual karena banyak pihak justru mendoakannya agar selalu diberi kekuatan, kawicaksanan dan kesehatan serta kemampuan untuk terus memimpin untuk memperjuangkan berbagai cita-cita kraton dan warga peradaban secara luas.
Dari serangkaian sikap dan tindakannya dalam kurun waktu lebih dari dua dekade, justru menunjukkan figur tokoh penerima penghargaan The Fukuoka Culture Prize Award dari Jepang 2012 itu banyak menampakkan hal-hal positif dan terpuji di balik konotasi “membangkang” dari sebutan “Putri Mbalela”. Bahkan dari serangkaian “perjuangan panjang” itu menempatkannya pada posisi figur tokoh “pemimpin penyelamat” Kraton Mataram Surakarta dari potensi kehancuran, ketika berusaha mengembalikan “nasib” Kraton Mataram Surakarta yang “nyaris” kewibawaan, harkat dan martabat akibat dirongrong “berbagai kekuatan” dari internal dan eksternal yang terus-menerus sepanjang waktu, dalam kekuasaan rezim yang silih-berganti dan masif.
“Putri Mbalela” itu telah menyelamatkan Kraton Mataram Surakarta dari praktik-praktik liberalis yang sudah dimulai pada zaman Orde Baru, yang motifnya desakralisasi situs-situs peninggalan sejarah, menempatkan merubah makna bagian demi bagian dengan mengutamakan nilai ekonomis, menghancurkan pelan-pelan kekuatan apapun yang berlabel “Mataram” beserta nilai-nilai peradaban yang sudah ratusan tahun terbentuk oleh budaya Jawa. Sebab itu, dalam peristiwa “Gusti Moeng Tersekap” di dalam kraton pada bulan Februari 2022 dan “Gerakan Kerjabhakti Resik-resik Kraton” April 2021 yang diakumulasikan menjadi “#Gerakan Penyelamatan Kraton”, seakan menjadi sinyal untuk menghentikan atau menghadang upaya memarginalkan kraton yang dilakukan berbagai pihak dari dalam dan luar kraton.
Peristiwa “kuningisasi” yang digalakkan rezim Orde Baru secara luas dan melalui Gubernur Suwardi sebelum 1998, memang sudah mulai dihadang kalangan internal kraton terutama Gusti Moeng yang waktu itu hanya didukung sejumlah aktivis terutama dari kalangan seniman dan budayawan. Tetapi, situasinya memang sulit bagi Sinuhun PB XII yang waktu itu sangat tidak berdaya melawan ketika dipaksa mengenakan “Baju Kuning”, mengingat salah seorang putranya sendiri rajin mengenakan simbol partai, bahkan ada kerabat di dalam yang sangat pro-rezim Orde Baru.
Tahun 2004 atau sekitar lima tahun setelah rezim Orde Baru tumbang dan Sinuhun Hamardika PB XII wafat, terkesan ingin dimaknai untuk merubah paradigma bahwa Kraton Mataram Surakarta masih eksis dan masih dibutuhkan sebagai “payung peradaban” warga secara luas, tak hanya dalam wilayah etnik Jawa. Tetapi, selama 5 tahun belajar “berpolitik” di DPR RI (1999-2004), ternyata tidak membuat Gusti Moeng bisa mendapat dukungan luas dari “jalur politik” untuk membuat Kraton Mataram Surakarta, kembali berwibawa dan bermartabat serta dihormati harkatnya.
Skenario besar yang sudah dirancang sejulah tokoh dari kalangan pendiri bangsa ini tetap sama, bahkan semakin tersistem, terstruktur dan masif untuk tetap berusaha memarginalkan Kraton Mataram Surakarta dan sisa dari 250-an kraton di Nusanatara ini yang telah berjasa ikut mendirikan NKRI. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan rezim pemerintah berganti-ganti tiap lima tahun itu, nyaris tak ada yang secara terang-terangan dan nyata berpihak pada upaya mengembalikan kewibawaan, harkat dan martabat Kraton Mataram Surakarta.
Memang sulit dibaca ketika lima tahun berada di FPDI-P (1999-2004), mengapa Gusti Moeng seakan tidak bisa berkutik untuk bisa benar-benar menggunakan “kendaraan politik” dalam upaya merubah keadaan, atau setidaknya bisa menghasilkan kebijakan publik melalui pemerintah di segala tingkatan, yang bisa menguntungkan kraton dalam beberapa hal yang ideal di atas. Tetapi tudingan negatif justru diberikan oleh seorang tokoh dari parpol yang sama, hingga upayanya kembali ke kursi DPR RI melalui FPDI-P untuk periode kedua pada Pemilu 2004 kandas.
Sejak itulah, situasi secara umum di internal kraton tak bisa dijaga stabilitasnya, hingga berbagai agenda yang disiapkan untuk memulai upaya mengembalikan kewibawaan, harkat dan martabat justru mulai banyak diganjal berbagai pihak dari luar dan dalam. Karena, proses alih kepemimpinan dari Sinuhun PB XII kepada anaknya tertua, KGPH Hangabehi sebagai Sinuhun PB XII, harus menghadapi friksi hebat akibat KGPH Tedjowulan mendahului bertahta sebagai Sinuhun PB XIII di luar kraton, atas sokongan seorang kerabat yang bertindak sebagai “cukong” yang berkolaborasi dengan berbagai pihak, antara lain kaki-tangan penguasa yang memang menginginkan Kraton Mataram Surakarta “bubar”.
“Waktu saya mengantar Sinuhun (KGPH Hangabehi-Red) minta doa restu ke rumah Gusti Brotodiningrat 2004 itu, kami ketemu dengan seorang kerabat pendukung yang jumeneng di luar kraton itu. Karena, sesepuh kita tercinta yang satu itu, waktu itu sudah dalam keadaan sakit. Sudah tidak bisa datang ke kraton. Maka, kami mengantar Sinuhun ke rumah beliau di (Kampung) Selembaran (Kelurahan Serengan). Kepada kakak saya itu (KGPH Hangabehi-Red), tokoh yang juga sowan ke situ langsung menyodorkan tawaran uang senilai Rp 1 M, asal Sinuhun (KGPH Hangabehi) mau mengurungkan niatnya untuk jumeneng nata sebagai PB XIII. Tetapi, dengan tegas kami semua menolak. Langsung, saat itu,” jelas Gusti Moeng di depan iMNews.id dan Dr Purwadi, saat “ngobrol” santai di teras Nguntarasana, Jumat siang seminggu yang lalu .
Dari satu fakta yang diungkap Gusti Moeng itu, jelas sekali melukiskan bagaimana susahnya upaya-upaya memperjuangkan eksistensi Kraton Mataram Surakarta dilakukan segelintir tokoh secara nyata yang dicontohkan dalam peristiwa di kediaman GRAy Brotodiningrat, dan kalangan putri/putri Sinuhun PB XII waktu itu yang ternyata tidak pernah ada wujudnya secara nyata hingga kini. Dengan contoh kecil itu pula, tidak berlebihan apabila sang “Putri Mbalela” itu sebenarnya adalah tokoh yang sangat layak disebut “Mbangun Miturut”, mirip sifat-sifat yang ada pada sosok “Srikandi Mataram”. Seorang sosok wanita “pinilih” dan “pinunjul” yang langka, kini menjadi jargon “Kesetaraan Gender”, tetapi sebenarnya sudah sering muncul sejak sejarah masa lalu Nusantara dimulai. (Won Poerwono-bersambung/i1)