
Lokasi Duduk Sinuhun di Bangsal Parasedya, Ada Petugas di Belakangnya yang Menyangga Punggung
SURAKARTA, iMNews.id – “Sesuatu” peristiwa strategis taktis simbolik yang berkait dengan urusan “regenerasi” yang semula sangat dikhawatirkan kalangan jajaran “Bebadan Kabinet 2004”, sampai seluruh rangkaian upacara adat tingalan jumenengan berakhir, benar-benar tidak terjadi dan nihil. Sebab itu, suasana kondusif, lancar dan aman lebih tampak mendominasi.
Kesan positif selama ritual ulang-tahun tahta ke-21 Sinuhun PB XIII itu terasa saat digelar di Pendapa Sasana Sewaka, Sabtu (25/1) dari pukul 09.00 WIB hingga berakhir sekitar pukul 14.00 WIB. Berakhirnya seluruh rangkaian ritual, ditandai dengan “jengkarnya” Sinuhun dari tempat duduknya di Bangsal Parasedya, saat gendhing “Undur-undur Kajogan” disajikan.
Saat Sinuhun dibantu beranjak dari “singgasananya” dan bergeser mundur bersama seluruh keluarga kecilnya, hanya ditandai dengan bunyi iringan gamelan yang menyajikan gendhing “Undur-undur Kajogan”. Demikian pula, saat sajian inti tarian saral Bedhaya Ketawang hendak disajikan atau berakhir, sama sekali tidak ada “aba-aba” MC atau pambiwara yang mengumumkannya.

Berlangsungnya upacara adat tingalan jumenengan yang sangat penting, berwibawa dan sakral sebagai respresentasi keberadaan Kraton Mataram Surakarta, bisa menjadi pembelajaran yang sangat penting dan bermakna bagi masyarakat adat khususnya. Karena, ritual itu mencontohkan bahwa hampir semua peristiwa adat penting di kraton, tak mengenal jasa “MC”.
Untuk mengumumkan tatacara dan mengatur acara dalam setiap upacara adat di kraton, sejak dulu hanya mengandalkan kepekaan unsur manusianya untuk menghafal semua gendhing upacara dan mengidentifikasi penandanya. Bukan praktik jasa master of ceremony (MC) atau kepiawaian juru pambiwara, yang biasa mengatur jalannya acara dan upacara di luar kraton.
Cukup dengan terdengarnya sajian gendhing “Undur-undur Kajogan”, semua yang hadir dalam “pisowanan” ritual tingalan jumenengan, harus tahun makna yang dimaksudkan, yaitu sebagai tanda Sinuhun atau “raja” beranjak dari singgasana untuk meninggalkan tempat upacara. Gendhing itu pula yang perlu dipahami maknanya bahwa seluruh rangkaian ritual tingalan sudah berakhir.

Memang, siang sekitar pukul 14.00 WIB tadi, banyak di antara yang hadir belum begitu memahami kharakter dan proses jalannya upacara tingalan jumenengan, bahkan upacara adat lainnya. Ketika, gendhing “Undur-undur Kajogan” terdengar, hanya tampak Sinuhun dibantu bangkit dari tempat duduk, dan didampingi keluarga kecilnya untuk bergeser mundur.
Pada saat itu, baru beberapa figur sentana dan keluarga yang lain yang ikut beranjak dari tempat duduk, karena mereka sudah paham “aturan main” pisowanan upacara adat itu. Sementara, sebagian besar lain yang sowan, tampak hanya mengikuti saja beranjak dari tempat pisowanan di semua teras Paningrat, Maligi dan tiga lokasi lain termasuk dua tenda dan kursi VIP.
dari waktu ke waktu, zaman ke zaman, struktur format upacara adat tingalan yang baku nyaris tak berubah, terutama urut-ururtan atatacaranya. Yang sempat berubah hanyalah durasi waktu sajian tari Bedhaya Ketawang, yang dulunya sampai 3 jam, oleh Gusti Moeng selaku koreografer tari khusus kraton, disederhanakan pengulangan geraknya hingga menjadi 90 menit.

Sehabis seluruh rangkaian upacara berakhir, kesempatan foto bersama dilakukan berganti-ganti orang yang memintanya untuk membuat kenangan dengan Sinuhun dan keluarga kecilnya. Sementara, para tokoh penting lain seperti putra mahkota KGPH Hangabehi, juga sibuk berfoto bersama dengan para sentana dan abdi-dalem yang bergantian memintanya membuat kenangan.
Di saat semua sudah berakhir, kegiatan selfie dan berfoto bersama terjadi di berbagai sudut, mulai di sisi-sisi Pendapa Sasana Sewaka, di halaman luas dengan view Panggung Sangga Buwana, Bangsal Pradangga, teras Untarasana dan sebagainya. Semuanya tampak berjalan lancar, aman dan kondusif karena tampak benar-benar diatur banyak petugas yang lebih siap.
Selain jumlah petugas lebih banyak dan lebih siap dibanding ritual yang sama tahun lalu, pembekalan bagi kalangan warga Pakasa yang akan “sowan” sangat terasa hasilnya. Terbukti, lebih dari 700 orang abdi-dalem yang sebagian besar berkumpul di Pendapa Sintinggil Lor berpangkat “RT” ke bawah, bisa tertib, rapi dan sesuai busana adatnya saat masuk ke teras Maligi.

Dua bagian di dua tempat berkumpul lainnya, adalah abdi-dalem yang berpangkat “KRRA” hingga “KRT” yang ada di Bangsal Smarakata, juga tertib dan lancar saat masuk ke tempat pisowanan di lantai pinggir Pendapa Sasana Sewaka. Begitu pula, para sentana berpangkat “KPT-KP” yang berkumpul di teras Untarasana, juga lebih lancar masuk ke tempat upacara adat.
Penampilan para prajurit “gabungan” dari yang sebelumnya setia mengikuti Bebadan Kabinet 2004 dan setia ikut Sinuhun, bisa menjalankan tugas bersama di bawan komando KPH Bimo Djoyo Adilogo sebagai “Manggala”. Penampilannya, hanya terjadi di saat upacara adat dimulai sampai Sinuhun duduk di singgasana, sebagai tanda penghormatan versi keprajuritan.
Untuk ritual tingalan jumenengan tahun 2025 ini, Sinuhun tidak duduk di ruang Pendapa Sasana Sewaka, tetapi di ruang belakangnya, yaitu Bangsal Parasedya. Di tempat yang lebih jauh dari biasanya itu, Sinuhun mengikuti upacara ulang tahun tahtanya ke-21, tetapi disangga pungunggnya secara bergantin oleh beberapa petugas, agar posisi duduknya tetap tegak. (won-i1)