Menyambung Tali Silaturahmi “Sesama Warga Peradaban” Melalui Milad (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 18, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Menyambung Tali Silaturahmi “Sesama Warga Peradaban” Melalui Milad (seri 1 – bersambung)
SULTAN KACIREBONAN : Sultan Kacirebonan ke-9 Pangeran Raja (PR) Abdul Gani Natadiningrat bersama permaisuri keluar dari dalam istana, untuk duduk di 'Singgasana" yang disiapkan di Bangsal Praba Yaksa, tempat pisowanan acara Milad ke-215 Kesultanan Kacirebonan digelar, Minggu (12/3). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tak Bisa Terhapus Oleh Batas Wilayah Pemerintahan Administratif

IMNEWS.ID – SELAMA empat hari, mulai tanggal 9 hingga 13 Maret yang belum lama berlalu, di sebuah kota di ujung timur paling tengah di Provinsi Jawa Barat (Jabar), menjadi ajang sebuah perhelatan akbar yang berbasis seni budaya setempat. Selama empat hari itu, Kota Cirebon sempat dihebohkan oleh aktivitas berbasis budaya yang memiliki kemiripan dengan kota-kota atau daerah tetangga di sebelah timurnya, yang masuk Provionsi Jawa Tengah (Jateng).

Berbagai aktivitas yang menghebohkan itu adalah perayaan ulang tahun satu di antara 4 kraton yang selama ini eksis di kota itu, yaitu ulang tahun atau Milad ke-215 Kraton Kesultanan Kacirebonan. Kraton yang dipimpin seorang “Sultan” yang bergelar “Pangeran Raja” ini, memang lembaga masyarakat adat yang jauh lebih tua dibanding Kesultanan Keprabonan, tetapi jauh lebih muda dibanding Kesultanan Kanoman (1679), apalagi Kesultanan Kasepuhan (1374).

SEKAR KEPUTREN : Begitu Sultan Kacirebonan PR Abdul Gani Natadiningrat bersama permaisuri sudah duduk di “Singgasana”, tari Sekar Keputren yang khas Kesultanan Kacirebonan diuguhkan di tengah pisowanan Milad ke-215 kesultanan yang digelar di Bangsal Praba Yaksa, Minggu (12/3). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Jadi, di dalam satu kota yaitu Kota Cirebon, terdapat empat lembaga masyarakat adat kesultnanan, meskipun di dekatnya juga ada daerah mandiri yang bernama Kabupaten Cirebon. Kedua daerah yang masing-masing dikelola Pemkot dan Pemkab itu, sama-sama berada di ujung timur Provinsi Jabar, yang berbatasan dengan wilayah Provinsi Jateng paling barat di tengah, yaitu Kabupaten Brebes.

Karena posisi keberadaan dua daerah di batas timur Provinsi Jabar dan daerah di batas barat Provinsi Jateng berhimpitan, maka tidak aneh daerah-daerah itu memiliki kesamaan ciri latarbelakang sejarah budayanya. Boleh dikatakan, di antara ketiga daerah adalah sama-sama warga peradaban Jawa atau berbasis dari latarbelakang budaya yang berkembang luas sejak abad 8, yang terus-menerus berinteraksi dan saling mengembangkan diri saat para Wali Sanga di zaman Kraton Demak (abad 15) mulai intensif menyebarkan Islam.

TAK KETINGGALAN : Sebagai sesama warga Dinasti Kesultanan Cirebon, tak ketinggalan tarian khas setempat, Topeng Klana atau tari Topeng Cirebon disuguhkan di tengah pisowanan  Milad ke-215 kesultanan yang digelar di Bangsal Praba Yaksa, Minggu (12/3). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kesamaan ciri-ciri itu masih mudah dikenali di abad ini, terlebih ketika menyimak di setiap ada perbincangan orang berkerumuan, misalnya saat Kesultanan Kacirebonan menggelar keramaian selama 4 hari untuk menyemarakkan Miladnya ke 215, tanggal 9-13 Maret lalu. Setiap penulis berdekatan dengan kerumunan, bahasa percakapan yang digunakan rata-rata bahasa Jawa, tetapi dengan sedikit berlogat Tegal atau Brebes, atau mirip yang banyak digunakan dalam pergaulan warga kawasan “Banyumasan”.

Menurut Mochtar dari Perpustakaan Kota Cirebon dan juga Mustaqim sebagai seorang pekerja seni di kota itu, warga Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon dan juga bebebrapa daerah yang berdekatan di Jabar misalnya Kabupaten Indramayu, masih banyak menggunakan bahasa percakapan Bahasa Jawa. Semakin ke arah barat, bahasa pergaulan sehar-hari semakin tipis Bahasa Jawanya, karena sudah bercampur Bahasa Sunda.

SUASANA PISOWANAN : Suasana pisowanan Milad ke-215 Kesultanan Kacirebonan saat digelar di Bangsal Praba Yaksa, Minggu siang (12/3). Para undangan duduk di kursi di sektor yang saling berhadapan. Sementara, Sultan Kacirebonan ke-9 PR Abdul Gani beserta permaisuri duduk di “Singgasana” menghadap ke halaman.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Bahasa Jawa yang berlogat mirip yang digunakan masyarakat (Kabupaten/Kota) Tegal, juga Kabupaten Brebes yang lebih dekat dengan Cirebon notabene Jabar. Selain ciri-ciri yang sama antara masyarakat di perbatasan dua provinsi, hampir semua naskah kuno tentang eksistensi Kraton Kacirebonan, menggunakan aksara Jawa yang sama dengan yang ada di kraton-kraton di Surakarta dan yang lain. Maka, ketika kami bertemu rombongan dari Jateng, seperti peserta kirab dari (Kabupaten) Jepara itu, telinga kami sudah biasa mendengar dan paham maksudnya. Mungkin ada beberapa kata dialek yang berbeda. Itu wajar,” ujar Mochtar saat ngobrol dengan iMNews.id di depan Bangsal Praba Yaksa, Kraton Kacirebonan, Minggu siang (12/3).

Dari realitas di tengah pergaulan saat ini maupun dari data-data sejarah masa lalu, meyakinkan sekali bahwa sebaran peradaban dan budaya Jawa memang sangat luas dan membentuk semakin sempurna sebagai puncak-puncak kebudayaan di wilayah yang sangat luas pula. Bahwa sejak 17 Agustus 1945 begitu NKRI lahir lalu membagi wilayah negara dalam batas-batas provinsi yang terpisah antara Jabar, Jateng, Jatim bahkan DIY, itu adalah bentuk pengaturan kekuasaan dalam pemerintahan administratif.

AMONG TAMU : Para sentana dan abdidalem Kesultanan Kacirebonan bersama unsur elemen masyarakat setempat, menjadi petugas “among tamu” atau penerima tamu undangan yang hadir pada pisowanan Milad ke-215 kesultanan, yang digelar di  Bangsal Praba Yaksa, Minggu (12/3). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pembagian batas-batas wilayah pemerintahan secara administratif itu, kini sudah berusia sebagian besar di atas 70 tahun sesuai usia NKRI, tetapi batas-batas itu tidak akan bisa memutus tali silaturahmi antar sesama warga peradaban Jawa. Batas-batas itu tidak akan menghapus atau mematikan latarbelakang sejarah kebudayaan yang sama-sama telah dirasakan, dijadikan pedoman hidup dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari hingga menjadi cirikhas kebhinekaannya.

Karena realitas dan alasan-alasan seperti itulah, maka ketika pengurus Pakasa Cabang Jepara mengajak rombongan warganya yang jumlahnya lebih dari 100-an orang tampil di perhelatan Milad ke-215 Kesultanan Kacirebonan, 9-13 Maret lalu, itu bukan sesuatu yang aneh. Bila disederhanakan, peristiwa tampilnya warga Pakasa Jepara yang merepresentasikan budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta di tengah masyarakat adat Kesultanan Kacirebonan yang sedang menggelar Milad ke-215, bisa disebut sebagai upaya menyambung kembali tali silaturahmi antar sesama warga peradaban Jawa yang telah lama renggang bahkan putus akibat berbagai hal. (Won Poerwono-bersambung/i1)