Bergilir Tiap Kotak Wayang yang Bukan Kanjeng Kiai
SURAKARTA, iMNews.id – Selain ritual “ngesis wayang” tiap hari Selasa dan weton Kliwon yang sinonim dalam bahasa Jawa “Anggara Kasih”, ternyata untuk urusan pemeliharaan atau perawatan tiap kotak berisi anak wayang yang masing-masing sudah diberi nama sebagai tanda pusaka kraton, ada ritual serupa di hari berbeda. Yaitu ritual “ngesis wayang” tiap seminggu sekali yang jatuh hari Kamis, sehingga disebut “ngesis wayang Kemis”, seperti yang dipimpin Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa, di “gedhong” Sasana Handrawina, Kamis (16/3) mulai pukul 10.00 hingga 12.30 WIB siang tadi.
Menurut koordinator tim teknis “ngesis wayang”, Ki KRT Dr Bambang Suwarno, untuk perawatan semua koleksi wayang pusaka di kraton sudah ada tatacaranya secara adat, yaitu ritual “Ngesis wayang” tiap weton Anggara Kasih untuk kategori wayang pusaka yang masuk “Kanjeng Kiai” atau “KK”. Jumlah kotak wayang yang punya level tertinggi sebagai pusaka, hanya ada tiga kotak yaitu wayang KK Jimat, KK Kadung dan wayang KK Dewa Katong yang masuk kategori wayang “Gedhog” atau “Madya” dan sudah dilengkapi pedoman menggelar dalam seni pertunjukan dari babon cerita Serat Pustaka Raja Madya.
“Jadi, sudah ada tatacaranya secara urut untuk mengeluarkannya dalam upacara adat ‘ngesis wayang’. Yang masuk kategori KK, hanya tiga, diesis tiap weton Anggara Kasih. Lainnya, adalah masuk wayang harian yang tetap masuk kategori pusaka. Tetapi hanya level ‘Kanjeng’ (K), bukan ‘Kanjeng Kiai’ (KK). Yang bukan KK, diesis tiap kamis, seminggu sekali. Maka disebut ‘ngesis wayang Kemis’. Hari ini (Kamis (16/3), yang dikeluarkan sekotak wayang Kiai Sukarena (Sukoreno-Red),” jeas Ki KRT Dr bambang Suwarno, abdidalem “Empu dalang” spesialis wayang “Gedhog” itu, saat ditemui iMNews.id, seusai ritual “ngesis wayang Kemis”, di teras gedhong Sasana Handrawina, siang tadi.
Seperti biasa, selaku koordinator tim teknis yang ditugasi Kraton Mataram Surakarta memimpin ritual “ngesis wayang” tiap Anggara kasih dan tiap Kamis itu, ia mengajak abdidalem dalang profesional Ki Sigit Purnomo, Ki Suluh Juniarsah (dosen ISI) dan abdidalem peneliti sejarah wayang kandidat doktor di UGM, Ki Rudy Wiratama, tidak kelihatan hadir. Prosesi “ngesis wayang” yang untuk keperluan pentas harian itu, sama dengan urut-urutan tatacara adat ‘Ngesis wayang Anggara Kasih”, yaitu dikeluarkan dari gedhong Lembisana, lalu dipikul berama-ramai oleh sejumlah abdidalem di bawah naungan “songsong”, kemudian dimasukkan ke gedhong Sasana Handrawina.
Sesampai di Sasana Handrawina, Ki KRT Dr Bambang Suwarno lalu memimpin timnya dibantu abdidalem Mandra Budaya dan abdidalem keparak, untuk membentangkan tali dari satu tiang saka guru ke tiang penyangga lain bangunan Sasana Handrawina. Sehabis itu, tali disampirkan mori putih sebagai alas di sepanjang yang dibentang. Pada saat yang sama, Gusti Moeng yang habis memimpin pengeluaran sekotak wayang Kiai Sukarena dari gedhong Lembisana, sudah bersiap di Sasana Handrawina untuk menata segala macam uba-rampe sesajinya.
Begitu tali sudah terbentang dan selimut mori putih sudah tersampir di sepanjang tali, kotak wayang Kiai Rukarena yang masuk kategori wayang Klithik atau Krucil, lalu dibuka bersama-sama yang tetap disaksikan Gusti Moeng selaku penanggungjawab secara adat dan otoritas kewenangannya. Setelah dibuka, lembar sekat yang berisi tumpukan anak wayang dikeluarkan satu persatu, yang harus diangkat dua orang, termasuk Ki KRT Dr Bambang Suwarno yang sudah berpengalaman sebagai abdidalem kantor Mandra Budaya membidangi pekerjaan itu sejak belasan tahun lalu.
Sesudah semua sekat yang terbuat dari anyaman bambu yang dibalut mori putih dikeluarkan dan di tata di atas lantai, satu persatu anak wayang disampirkan menggantung di sepanjang tali terbungkus mori putih yang dibentang dalam interval rapat, atau nyaris tanpa jarak. Karena, dalam kotak yang diperkirakan paling sedikit isinya, termasuk wayang Krucil/Klithik Kiai Sukarena ini, jumlahnya pasti lebih dari 200 buah anak wayang yang diupayakan semua bisa mendapat angin segar sebanyak-banyaknya di atas tali, dalam durasi waktu lebih dari 2 jam sejak pukul 10.00 WIB.
“Wayang Krucil atau Klithik ini tidak termasuk kategori wayang Gedhog atau Madya, juga bukan katagori wayang Purwa. Karena, cerita seni pertunjukan pedalangan yang sering dipentaskan seperti ‘Damarwulan Ngarit’, ‘Menakjingga Lena’, Prabu Anglingdharma’ dan sebagainya. Dalam cerita wayang ini ada tokoh Sabdapalon dan Naya Genggong. Ada pula lakon ‘Ranggalawe’. Lakon-lakonnya dekat sekali dengan katagori wayang Wasana,” jelas Ki Sigit Purnomo kepada iMNews.id, saat hendak mengemas wayang untuk memasukkan kembali ke dalam kotaknya, siang tadi.
Menurut Gusti Moeng, wayang Klithik atau Krucil Kiai Sukarena, kualitasnya memang tidak sebagus sekotak wayang KK Dewa Katong yang diangini pada ritual “Ngesis wayang Gedhog” , Anggara Kasih, 28 Februari lalu. Tetapi, wayang ini juga dibuat pada masa Sinuhun PB II jumeneng nata ketika Kraton Mataram masih berIbu Kota di Kartasura (1645-1745). Tetapi di kraton sudah sangat jarang digunakan untuk pentas seni pertunjukan, karena dalang yang bisa menyajikannya sudah sangat langka atau kraton sudah lama tidak punya dalang spesialis wayang Wasana (penutup), sebelum Ki KRT Dr Bambang Suwarno “suwita” di kraton.
“Tokoh-tokohnya yang terkenal, di antaranya ini, Prabu Handayaningrat. Karena, tokoh ini melukiskan suasana kehidupan antara Kraton Demak ke Kraton Pajang yang mengisahkan saat-saat akhir Kraton Majapahit sampai Pajang. Bahkan masih ada setelah itu. La, Prabu Handayaningrat itu adalah tokoh yang sama dengan yang dimakamkan di Pengging (Boyolali), namanya Sri Makurung Handayaningrat. Tokoh ini yang menurunkan keluarga saya dari garis ibu,” jelas Gusti Moeng kepada iMNews.id, sambil serius mencermati tokoh anak wayang itu, sebelum ritual ngesis wayang diakhiri, siang tadi. (won-l1)