Rata-rata Sudah Dikunjungi Peziarah dari Jauh
IMNEWS.ID – KOMPLEKS Astana Pajimatan Butuh di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen yang menjadi tempat bersemayam tokoh leluhur Dinasti Mataram, Ki Ageng Kebo Kenanga dan sejumlah keluarga kecilnya di antaranya tokoh fenomenal yang terkenal, Joko Tingkir, mungkin baru-basu saja dikenal publik secara luas atau baru mulai di era 1990-an. Salah satu indikatornya, adalah akses jalan dari arah mana saja terutama dari Kota Surakarta menuju lokasi itu, tampak belum lebih dari 10-an tahun dilebarkan, dipadatkan dan dikeraskan.
Saat iMNews.id masih aktif di harian Suara Merdeka mengikuti rombongan panitia Pekan Syawalan dari Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) Surakarta yang mengantar artis calon pemeran Joko Tingkir untuk atraksi “Larung Gethek” antara tahun 1980-1990-an, harus bersusah-susah untuk mencapai kompleks makam itu walau dengan motor atau mobil jenis jip. Di tahun-tahun itu, gang-gang desa menuju lokasi sangat sempit, sebagian hanya dipadatkan dengan batu dan sebagian lagi tanah liat yang “mblekuk” saat kehujanan.
Tetapi 30 sampai 40-an tahun kemudian, atau setidaknya saat rombongan safari keliling “Caos Bhekti Tahlil” melakukan ritual “Nyadran” di makam itu (iMNews.id, 16/3), suasana dan pemandangan sudah sangat jauh berbeda, baik akses jalan dari Kota Surakarta, gang-gang desa yang dilalui sampai tata ruang wajah depan kompleks makam. Saat itu, ada dua bus besar, satu bus tanggung dan sebuah minibus yang ditumpangi rombongan dari kraton bisa mengisi ruang parkir depan kompleks astana.
Walau belum dipadatkan karena separo masih terlihat tanah liat yang “mblekuk”, tata ruang depan kompleks makam tampak sudah mulai dilebarkan dan tampaknya akan terus dilanjutkan, ditata. Di kanan-kiri kawasan makam, sudah mulai banyak warung-warung yang berjualan segala kebutuhan ringan sudah tampak. Tidak bisa dipungkiri, ini pertanda bahwa gelombang pendatang yang berziarah sudah banyak berdatangan, dari tempat asal yang sangat mungkin jauh dan akses jalan menuju kompleks astana sudah bisa dimasuki bus-bus besar.
Selain wajah kompleks makam dan tata-ruangnya sudah berubah, abdidalem jurukunci makam Astana Pajimatan Butuh ternyata termasuk sosok yang punya visi jauh ke depan, khususnya di bidang “promo dan pemasaran” unsur kepariwisataannya. Selain menyiapkan buku tamu di meja dekat satu-satunya pintu masuk makam yang tergolong kecil itu, abdidalem jurukunci bernama Moh Husen Aziz A itu juga menyediakan kertas berisi kopi silsilah para tokoh yang dimakamkan di situ, lengkap dengan silsilah sangat lengkap yang dijelaskan dari Prabu Brawijaya V, Raja Kraton Majapahit (abad 14).
Moh Husen Aziz yang juga mahir memimpin doa, tahlil dan dzikir seperti ketika diminta Gusti Moeng dan rombongan yang “Nyadran” ke situ, terbukti sangat sadar informasi atau “well informed” dan paham apa fungsi Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Dengan menyebar informasi tentang asal-usul Joko Tingkir yang dijadikan lirik lagu “…Ngombe dawet…” itu, berarti akan semakin mengedukasi warga peradaban Jawa secara luas untuk sadar, bahwa leluhur peradaban Jawa yang notabene leluhur Dinasti Mataram banyak membawa kabar tentang syii’ar Islam itu, perlu dimengerti, dipahami dan perlu dihormati/dihargai jasa-jasanya terhadap peradaban, walau hanya dengan “nyekar”, “nyadran” atau “Caos Bhekti Tahlil”.
Nalar sehat yang sudah tepat berlaku pada lahirnya safari keliling “Tour de Makam”, baik yang dilakukan rombongan dari Kraton Mataram Surakarta maupun yang dilakukan masyarakat luas di antaranya warga Nahdliyin, sesuatu atau dalam bentuk apapun penghormatan atas jasa-jasa para leluhur peradaban atau leluhur Dinasti Mataram harus diberikan. Bulan Ruwah (Kalender Jawa) atau Sya’ban (Kalender Hijriyah), adalah waktu yang tepat untuk “membalas” jasa-jasa para leluhur itu dengan perbuatan yang sangat bervariasi yang tujuannya positif, memuliakan.
Karena kata “memuliakan” itu bisa berarti sangat luas, maka sangat wajar apabila warga peradaban melakukannya dengan cara kerjabhakti “Bersih Kubur”, resik-resik makam, “Tilik Kubur”, “Nyadran Agung” yang dihiasi dengan prosesi kirab prajurit seperti yang dilakukan kraton dan selama ini diinisiasi Gusti Moeng. Bahkan dihiasi dengan atraksi berbagai kesenian khas seperti tari Lengger dan Jaran Ebeg di ritual “Sadran Agung Makam Adisara” (Banjarnegara), pengajian akbar, kenduri akbar dengan menyantap nasi ingkung yang dibawa di rumah secara bersama-sama di makam, pentas wayang kulit, wayang Ruwat dan sebagainya.
Nalar sehat yang sudah tepat berlaku bagi para pemangku kepentingan adanya kompleks makam para leluhur peradaban dan Dinasti Mataram itu, adalah secepat mungkin menyiapkan segala sarana dan prasarana seperti yang sudah dicontohkan abdidalem Moh Husen Aziz itu. Warga di lingkungan makam juga diedukasi tentang perlunya menyesuaikan diri untuk menjadi tuan rumah yang ramah dan tanggap segala kebutuhan “wisatawan religi” yang bakal datang. Jajaran Pemkab mulai dari lurah, camat hingga bupati bahkan gubernur, juga juga perlu segera tanggap memikirkan infrastruktur jalan, fasilitas MCK, pemugaran makam dan sebagainya.
Pada gilirannya, semakin besarnya gelombang wisatawan religi atau peziarah, tentu akan mendatangkan dampak positif secara ekonomis bagi warga di lingkungan makam, juga sepanjang rute akses jalan masuk yang dilalui. Karena, wisata religi sebagai bentuk ungkapan rasa hormat yang penuh nilai-nilai ketuhanan yang sudah lama dilakukan masyarakat peradaban Jawa, tentu akan semakin menjadi mulia. Karena dengan berziarah dan mendapatkan edukasi pengetahuan sejarah seperti yang diberikan Moh Husen Aziz, berarti membangun kesadaran kolektif warga peradaban secara luas tentang berbhakti, taat beragama, bersosialisasi dengan baik, berbudaya dan memberdayakan sesama secara ekonomis. (Won Poerwono-bersambung/i1)