Nyaris Terlupakan Karena Wafat di Pengasingan Bersama 60 Santri Pengikutnya
KLATEN, iMNews.id – Tokoh “Pahlawan Nasional” Kyai Mojo (IV) yang disebutkan dalam berbagai buku sejarah perang di (Pulau) Jawa bersama Pangeran Diponegoro dan Alibasyah Sentot Prawirodirjo, namanya “tidak seharum” Pangeran Diponegoro yang selalu diapresiasi dan dipersepsikan sebagai tokoh “yang membela kepentingan rakyat miskin” dalam peristiwa perangnya, di tahun 1825-1830. Nama Kyai Mojo (IV) yang bernama asli Bagus Kholifah yang juga “buyut” Kyai Mojo I atau RT Citrosoma (zaman Sinuhun PB IV, 1788-1820), seakan “ditenggelamkan” karena dimakamkan di tempat pengasingannya, pulau Tondano (Sulut), bersama 60 santri pengikutnya.
Belakangan, nama besar Kyai Mojo (IV) yang juga tokoh ulama dari Mataram Surakarta yang pernah “nyantri” di Pondok Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo pimpinan Kyai Khasan Besari di zaman Sinuhun Paku Buwana (PB) VI (1823-1830) itu, sedikit demi sedikit diungkap ke permukaan, yang kebanyakan oleh media sosial (medsos). Namun terungkapnya jatidiri sosok figur “Pahlawan Nasional” dari Mataram Surakarta itu hanya dari satu sisi, yaitu sebagai seorang teman seperjuangan Pangeran Diponegoro yang sangat dikenal dalam peristiwa perang antara 1825-1830 itu.
“Sebagai pengetahuan untuk mengedukasi anak bangsa dalam untaian sejarah bangsa, pengungkapan itu kurang pas, lengkap dan seimbang, yang menyebabkan kurang baik. Karena faktanya, Kyai Mojo (IV) adalah ulama besar yang notabene murid Kyai Khasan Besari,” jelas KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo MFil-I, dosen peneliti dari IAIN Ponorogo (Jatim) yang juga abdidalem “Kanca Kaji” di Kraton Mataram Surakarta, yang dihubungi iMNews.id, siang tadi. “Bahkan, yang diklaim Perang Diponegoro itu yang membiayai Sinuhun PB VI. Maka, akibat dari penangkapan Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo (IV) dkk, Sinuhun PB VI juga ditangkap di dibunuh di tepmpat pengasingannya,” jelas RM Resti Setiawan, sejarawan anggota Komunitas Sejarah “Solo Societeit”, yang dihubungi secara terpisah, sebelumnya.
Dalam catatan KRT Ahmad Faruq, dalam sejarah Mataram Surakarta banyak dikenal tokoh ulama di antaranya RT Citrosoma yang juga bernama Kyai Mojo (I) yang berguru sebagai santri Kyai Khasan Besari di Pondok Pesantren gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo (Jatim). Dia adalah ayah dari Kyai Jumal Qorib yang bergelar Kyai Mojo (II). Kyai Jumal Qorib adalah ayah Kyai Khotib Imam Arif yang bergelar Kyai Mojo III, yang kemudian melahirkan Bagus Kholifah yang bergelar Kyai Mojo IV yang bersama-sama berjuang melawan Belanda dengan Pangeran Diponegoro dan Alibasyah Sentot Prawirodirjo.
Ulama besar Kyai Mojo IV yang disebut-sebut ahli strategi perang gerilya, bersama 60 laskar santri yang ditangkap bersama Pangeran Diponegoro, dimakamkan di tempat pengasingannya di Pula Tondano, Sulawesi Utara. Karena tempatnya sangat jauh dan kebesaran namanya selama ini “sengaja di tutup”, Kraton Mataram Surakarta sulit untuk menziarahi. Sebagai wujud “mikul dhuwur, mendhem jero” terhadap jasa “Sang Pahlawan”, Gusti Moeng bersama putra mahkota tertua KGPH Hangabehi, Gusti Ayu, KPH Wirabhumi dan rombongan dari kraton, kemarin menziarahi makam Kyai Mojo III atau ayah Kyai Mojo IV, yang terletak di Baderan, Desa Sidowayah, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Minggu siang, kemarin. (won-i1)