Menjadi Momentum Bagi Siapa Saja dan Untuk Keperluan Apa Saja
IMNEWS.ID – SETELAH aspek popularitas antara supremasi kelembagaan dan figur pemimpin adatnya, aspek “perdamaian” antara SISKS PB XIII dengan adik kandungnya, Gusti Moeng (GKR Wandansari Koes Moertiyah) juga menarik untuk disimak, karena secara simbolik ingin dilukiskan dalam peristiwa ritual tingalan jumenengan yang ke-19 tahun 2023 ini. Dan yang lebih menarik, peristiwa ritual tingalan jumenengan perdana yang digelar bersama setelah “kedua pihak” terpisah 5 tahun lebih sejak April 2017 itu, menjadi momentum bagi siapa saja dan untuk berbagai keperluan/kebutuhan apa saja yang bisa memaknai dan “memanfaatkannya”.
Ritual ulang tahun tahta “raja” yang dijadikan citra simbolik terwujudnya perdamaian antara “kedua pihak” memang sudah terlaksana, itu tentu menjadi simbol formalitas yang diinginkan pemerintah dari berbagai tingkatan yang diungkapkan melalui Wali Kota Surakarta di berbagai media, beberapa waktu lalu. Apresiasi atas perdamaian, secara simbolik juga diwujudkan saat Wali Kota ikut prosesi “kirab gagal agung” keliling rute Kirab Pusaka 1 Sura sambil “berhujan-hujan” dan “berbasah-basah ria”, Kamis sore (16/2).
Bentuk apresiasi secara simbolek yang diberikan pemerintah, juga diberikan melalui Wakil Wali Kota Teguh Prakosa yang mendapat tugas hadir dalam upacara adat tingalan jumenengan, duduk bersama-sama di kursi VVIP dengan sejumlah undangan dari institusi Polri, TNI AD, TNI AU dan sebagainya, namun bukan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Kapolda Jateng seperti pernah dipublikasikan panitia sebelumnya. Pemkot sebagai tangan panjang pemerintah, mengapresiasi dengan berbagi tugas, Wali Kota yang ikut naik kereta kuda untuk kirab dan nyaris tak ada warganya yang menonton karena sejak berangkat hingga kembali ke kraton diguyur hujan deras, sementara Wakil Wali Kota hadir di upacara adat.
“Peristiwa “perdamaian” memang sudah terjadi, tetapi proses lanjutan ke segala arah terutama ke jajaran di bawah dua tokoh yang “berdamai” itu memang masih butuh waktu panjang untuk menyesuaikan. Termasuk posisi Pemkot Surakarta yang secara simbolik “memaknai” dan “memanfaatkan” perdamaian itu. Karena, sejak Gusti Moeng menggelar peringatan Hari Jadi Pakasa (2021 dan 2022,) Wali Kota Gibran tidak pernah kelihatan dan mewakilkan Wawali Teguh Prakosa, di momentum “tingalan jumenengan perdamaian”-pun juga memilih ikut “kirab gagal agung” yang dibiayai institusinya.
Jadi, sekalipun tema besar hanya satu upacara adat tingalan jumenengan ke-19 SISKS PB XIII, tetapi bisa “dikreasi” menjadi “dua panggung”, karena jenis-jenis upacara adat di Kraton Mataram Surakarta atau di lembaga masyarakat adat sejenis di tempat lain, sudah biasa dijadikan panggung “bagi siapa saja” dan “untuk keperluan/kebutuhan apa saja”. Apalagi bagi pihak-pihak tertentu yang sudah tidak kuat menahan “syahwat” politiknya, mengingat sekarang ini adalah tahun-tahun persiapan politik yang mendekati setahun persis, sebelum “coblosan” pada Pemilu serentak, awal 2024.
Karena “kirab gagal agung” sepertinya juga “gagal jadi panggung politik” akibat diguyur hujan deras sepanjang perjalanan sampai hampir 2 jam, maka beberapa “message” yang ingin disampaikan melalui kirab itu juga banyak menemui kegagalan. “Pujian” dan “haru-biru” dari warga kota yang menonton di sepanjang rute, jelas tidak ada. Kalaupun ada, pasti kalah oleh suara gemuruh hujan lebat yang mengguyur Kota Surakarta dan sekitarnya. Manggala abdidalem prajurit Tamtama, KRT Alex Pradnjono Reksoyudo tidak ikut “berbasah-basah ria”, karena 9 bregada prajurit termasuk dirinya, diputuskan tidak ikut kirab. Tetapi kediamannya di kawasan Kelurahan Joyotakan, Kecamatan Serengan, kemasukan genangan banjir keesokan hari atau Jumat dinihari (17/2).
Simbol-simbol hadirnya aktivitas politik atau “kampanye tertutup” ke dalam upacara adat tingalan dan acara pelengkap “tentatifnya” berupa kirab itu memang tidak kelihatan. Tetapi yang jelas, Wali Kota Gibran selama beberapa waktu belakangan ini sudah menjadi sorotan publik akibat datangnya beberapa tawaran untuk DKI 1, Jateng 1 dan adiknya, Kaesang Pengareb juga ditawari posisi serupa yang dimungkinkan untuk Surakarta atau Solo 1.
Selain panggung bagi para tokoh-tokoh yang ingin “sukses” di bidang politik, momentum berbagai jenis ritual di Kraton Mataram Surakarta khususnya tingalan jumenengan, juga menjadi “panggung” bagi kalangan internal masyarakat adat maupun kalangan dari eksternal yang mendapat “gelar mentereng” dari kraton untuk sekadar “show” atau bahkan lebih dari itu. Karena, selama 5 tahun lebih kraton ditutup sejak April 2017, justru bermunculan di media sosial (medsos) nama-nama sejumlah tokoh dengan gelar “Kanjeng Pangeran” yang bertingkah tak sesuai dengan ciri-ciri dan simbol-simbol budaya Jawa yang dikenakan.
“Dulu, sebelum 2017. Saya dan teman-teman dari Sanggar Pasinaon Pambiwara mendapat dhawuh untuk memberi pembekalan kepada semua yang akan diwisuda untuk menerima kekancingan. Banyak hal dari materi pembekalan yang saya sampaikan, dan banyak hal yang saya sampaikan kepada calon wisudawan. Antara lain, busana adat Jawa yang dikenakan di dalam kraton, harus disesuaikan dengan gelar dan kepangkatannya. Kalau anon-anon (pemberian-Red), ya jangan mengambil porsi yang punya silsilah trah darahdalem. Itu merusak tatanan adat”.
“Busana harus setiap saat diperiksa kepantasannya. Jangan sampai lungset. Jangan sampai kedodoran. Ketika sudah berada di dalam kraton, harus taat dengan tata aturan paugeran adat. Karena, pisowanan di kraton hampir semuanya berupa upacara adat. Maka, ya harus mengenakan busana adat yang benar dan tepat, mengikuti aturannya. Kalau di luar, ya silakan saja kalau tidak mau memantas diri. Anggap saja sedang main ketoprak. Mosok, bros Sri Radya Laksana kok dipasang neng bathuk (bagian depan blangkon)? ,” tandas KP Budayaningrat yang menyatakan setuju kembali diadakan pembekalan kepada semua calon penerima gelar kekerabatan. (Won Poerwono-bersambung/i1)