Warna-warni Kostum Semua Bregada Prajurit Menarik, untuk Keperluan Upacara Adat
IMNEWS.ID – BERBAGAI jenis “bregada” prajurit Kraton Mataram Surakarta dengan kekhasan masing-masing menurut nama dan fungsinya, sebenarnya menjadi aset paling menawan dibanding produk peradaban lain yang terbentuk dari Budaya Jawa. Keberadaannya bisa menjadi lebih menarik dan punya kesempatan mobilitas tinggi, dibanding aset-aset seni khas lain.
Tetapi, perubahan paradigma kraton dari posisi semula sebagai “negara” menjadi lembaga pusat kebudayaan (Jawa) setelah kedaulatannya “direbut” republik, ada banyak keterbatasan yang harus memilih skala prioritas. Dan faktanya, keberadaan aset berbagai prajurit kraton ditempatkan pada prioritas menengah ke belakang dibanding aset lain, misalnya seni tari.
Meski setelah berada di era republik antara berbagai bregada prajurit dengan aset-aset seni lain menjadi sama-sama sebagai objek pemandangan yang menghibur atau tontonan atau pertunjukan, tetapi aset bregada prajurit tidak mungkin bisa menjadi prioritas pertama atau utama dibanding aset seni tari, karawitan, pedalangan dan objek tak bergerak di kraton.
Tetapi mungkin karena kerangka pemikiran atau mindset tentang bregada prajurit dimaknai sebagai perangkat sistem perhanan dan keamanan (hankam), maka selamanya akan menempatkan mereka pada berbagai persyaratan khusus dan bukan sebagai objek pertunjukan. Padahal, paradigma sudah berubah total dan bregada prajurit bisa menjadi objek pertunjukan lebih menawan.

Persyaratan khusus itu mungkin saja adalah event atau acara keperluannya, tempat yang menjadi ajang penampilannya, pihak yang menjadi pemangku acara/event, penikmat pertunjukan dan yang paling penting dan mendasar adalah anggaran biayanya. Sebab, menampilkan prajurit akan menghilangkan sifat keragaman keindahannya jika ruang gerak yang disediakan sempit.
Menampilkan prajurit kraton dengan penuh keindahan bersama sisi etikanya, sedikitnya harus terpenuhi 3 unsur warna yang menjadi komposisinya, agar menarik aspek visualnya. Misalnya komposisi antara warna biru yang diwakili Bregada Prajurit Jayengastra, merah (Bregada Prajurit Sorohgeni) dan hitam (Bregada Prajurit Tamtama) atau kuning (Prajurit Panyurta).
Untuk memenuhi unsur komposisi warna yang menarik secara citra visual dalam formasi barisan prajurit, tentu tiap-tiap warna harus diwakili sejumlah figur prajurit agar utuh bisa dilihat dan terekam keindahannya serta tidak cepat habis, hilang dan berlalu. Untuk memenuhi itu, seandainya tiap warna diwakili 9 orang, berarti 27 orang untuk komposisi 3 warna.
Jumlah itu sudah termasuk masing-masing satu figur atau seorang “Manggala” kesatuan atau pembawa vandel simbol kesatuan. Seandainya, ingin menampilkan 8 bregada prajurit yang tentu kaya warna seperti yang kini dimiliki Kraton Mataram Surakarta, berarti jumlahnya menjadi 72 orang. Jumlah ini tentu membutuhkan biaya besar ketika ditampilkan di tempat lain.

Biaya yang sangat besar ketika semua bregada prajurit ditampilkan di tempat lain, yang perlu diangkut kendaraan besar atau bus untuk di dalam pula (Jawa), atau diangkut kapal atau pesawat jika akan ditampilkan di luar Jawa. Penampilan aset prajurit kraton di luar Jawa, sudah beberapa kali dilakukan sejak ada Festival Kraton Nusantara (FKN) yang digelar FKIKN.
Sebagai ilustrasi, Forum Komunikasi dan Informasi Kraton se-Nusantara (FKIKN) yang dipimpin Gusti Moeng selaku Sekjen sejak 1994, telah memperkenalkan aset Bregada Prajurit Kraton Mataram Surakarta di depan warga bangsa NKRI. Karena, FKN digelar bergilir di berbagai daerah yang memiliki kraton, yaitu di Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera.
Di panggung atau kancah seperti itulah, aset 8 Bregada Prajurit Kraton Mataram Surakarta sudah diperkenalkan kepada seluruh warga bangsa ini, langsung maupun tidak langsung. Yang langsung karena bisa menyaksikan saat FKN digelar di kota yang memiliki kraton, dan tidak langsung melalui berbagai jenis media massa karena banyak pulau jauh dari lokasi kraton.
Tetapi, aset semua Bregada Prajurit dari Kraton Mataram Surakarta bisa diperlihatkan semua, serentak dan lengkap di setiap ada FKN yang digelar FKIKN. Karena keterbatasan kraton secara ekonomi dan “faktor lain”, Gusti Moeng selaku pimpinan kontingen FKN dari Mataram Surakarta hanya bisa membawa rombongan yang terbatas pula, baik jumlah dan jenisnya.

“Dan beberapa bregada prajurit yang ditampilkan itu, semua mengenakan busana kebesaran untuk keperluan upacara adat di kraton. Misalnya, untuk hajad-dalem Garebeg Mulud, tingalan jumenengan dan lainnya. Kalau busana untuk tugas perang, rata-rata seragamnya hitam-hitam. Jadi, mirip yang sekarang dipakai TNI/Polri, ada PDL, PDH dan sebagainya”.
“Sebenarnya, busana khas masing-masing bregada prajurit di Mataram Surakarta itu masih banyak yang mempertahankan kekhasannya. Tetapi juga banyak yang kena pengaruh dari luar, misalnya unsur-unsur warna dan atribut dari pasukan Napoleon Bonaparte (Prancis). Tetapi, diadaptasi dengan baik dan tetap indah,” jelas KP Budayaningrat, siang tadi.
KP Budayaningrat yang dimintai referensi soal hal-ikhwal kekayaan prajurit kraton, siang tadi, selebihnya menegaskan kepada iMNews.id, bahwa penampilan para prajurit kraton sekarang ini bukan sebagai pasukan dalam tugas hankam. Melainkan tampil mengenakan berbagai busana kebesaran untuk kebutuhan upacara adat, dan busana itu bukan yang dikenakan untuk perang.
Dwija (guru) pada Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta itu menyebutkan, keragaman jenis dan bregada prajurit yang mulai banyak dimiliki kraton, sejak Sinuhun PB IV jumeneng nata (1788-1820). Pada zaman Sinuhun PB VI (1823-1830), keragaman itu bertambah lengkap dan menjadi paling lengkap dan indah pada zaman Sinuhun PB X (1893-1939).

“Kraton juga punya prajurit berkuda, terakhir di tahun 1928 (zaman PB X), manggala pasukannya Kanjeng Poerbadipura . Tetapi namanya lain, saya perlu membuka serat Sri Radya Laksana dan manuskrip lain yang mencatat tentan prajurit. Yang jelas, namanya bukan prajurit Kavaleri yang dimiliki Kadipaten Mangkunegaran. Senjatanya bedhil dan pedang”.
“Di Langensari atau belakang kandang kereta di sebelah timur Pendapa Sasana Mulya itu, dulu menjadi salah satu kandang kuda untuk prajurit pasukan berkuda. Pasukan ini jelas lebih besar jumlahnya, karena keperluan Hankam negara. Saya ingat, ada seorang bekas prajurit berkuda tinggal di Singasaren, yang dikenal dengan Kanjeng Kudha,” sebut KP Budayaningrat. (Won Poerwono – bersambung/i1)