Karena Bedaya Ketawang Ikon Supremasi Kraton Mataram Surakarta
IMNEWS.ID – GLADEN tari Bedaya Ketawang yang kembali digelar Pengageng Sasana Wilapa dan melibatkan sumber daya utama anggota Sanggar Pawiyatan Beksa pada weton Anggara Kasih pertama, 20 Desember dan weton Selasa Kliwon kedua, 24 Januari lalu, harus menjadi perhatian serius keluarga besar masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta. Karena, repertoar tari itu adalah satu-satunya di Tanah Air yang hanya dimiliki Mataram Surakarta (1745-hingga kini), yang karena sejarah proses terjadinya kemudian menjadi ikon supremasi Kraton Mataram penerus Mataram Islam yang didirikan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645).
Mengapa menjadi ikon paling menonjol dan bahkan menjadi supremasi Mataram? Karena, repertoar tarian sakral yang diciptakan menjelang “berpulangnya” Prabu Hanyakrawati (RM Jolang) di tahun 1613 hingga RM Jatmika jumeneng nata sebagai Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma di Mataram yang berIbu Kota di Kerta itu, melukiskan bagaimana proses lahirnya Mataram Islam dan tampilnya Sultan Agung sebagai penerus Dinasti Mataram. Dalam “cakepan” atau lirik gending Bedaya Ketawang memang tidak hanya mengisahkan bagaimana Sultan Agung tampil setelah kesepakatan dengan Kanjeng Ratu Kencanasari dicapai, melainkan juga mengedukasi tentang nilai-nilai ketuhanan yang menunjukkan asal-mula kehidupan atau “Sangkan-paraning dumadi”.
Proses lahirnya tari Bedaya Ketawang yang menandai dan terkesan menjadi “stampel pengesahan” tampilnya seorang pemimpin Dinasti Mataram (Islam) itu, kemudian menjadi bagian dari semacam ketentuan tidak tertulis yang kemudian disebut paugeran adat, atau mirip konstitusi bila dilihat dari terminologi sistem tata aturan nilai. Babon atau induk yang fundamental dari hukum adat inilah yang kemudian dijadikan pedoman dan dasar menjalankan kehidupan di kraton, secara turun-temurun selalu dijaga dan dihormati hingga bertahan sampai waktu yang sangat panjang, bahkan ketika Kraton Mataram Surakarta sudah berada di alam republik sejak 1945.
GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku mantan penari Bedaya Ketawang, instruktur tari, ketua Sanggar Pawiyatan Beksa, ketua Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan dan selaku pejabat Pengageng Sasana Wilapa, memang belum pernah menemukan data manuskrip yang menjelaskan proses kelahiran sistem hukum adat apapun yang pernah ada di Mataram. Tetapi dengan menyimak data-data yang berwujud karya sastra yang ditulis para Empu dan Pujangga di Mataram Surakarta, sudah menunjukkan eksistensi sebuah perangkat aturan tata nilai yang disebut paugeran adat.
Tak hanya karya sastra berupa lirik tembang karawitan atau cakepan gending yang biasa disebut “sastra gending”, dasar hukum adat yang fundamental yang selama ini dihormati keluarga besar masyarakat adat Mataram Surakarta, juga karena berujud peristiwa adat. Di dalamnya berisi perpaduan harmonis antara perilaku, cara berpikir dan cara bersikap, yang terus-menerus dijalankan berulang-ulang, secara konsisten dalam waktu yang panjang, dari generasi ke generasi berikutnya. Dan karena tari Bedaya Ketawang hanya dimiliki Mataram Surakarta, maka tarian sakral itu adalah ikon kuat dan menonjol yang telah menjadi supremasi Mataram, bahkan Mataram Surakarta.
Ungkapan Sinuhun PB XII yang selalu diucapkan kepada Gusti Moeng menjelang wafatnya di tahun 2004, juga menjadi petunjuk kuat bahwa sajian tari Bedaya Ketawang yang hanya disuguhkan dalam upacara adat tingalan jumenengan dalem Sinuhun Paku Buwana, adalah bagian dari sistem hukum adat atau paugeran adat itu sendiri. Oleh sebab itu, tidak salah Sinuhun PB XII menitipkan pesan kepada Gusti Moeng untuk tidak pernah melewatkan sekalipun “njumenengaken” Bedaya Ketawang, dan di sisi lain pesan itu juga bermaksud agar Gusti Moeng selalu menegakkan paugeran adat, sekalipun dalam kondisi luar biasa (force major).
Kondisi luar biasa yang dimaksud, bukan membenarkan tari Bedaya Ketawang disuguhkan di sembarang tempat dan di luar waktunya, melainkan menunjuk pada peristiwa ritual tingalan jumenengandalem di tahun-tahun sebelum 2017, ketika itu Sinuhun PB XIII pernah “mogok” tidak hadir “lenggah siniwaka” di “dampar” (singgasana). Karena tarian sakral yang mengandung tiga unsur penting tentang kesepakatan Sultan Agung dengan Kanjeng Ratu Kencanasari dan secara tersirat menjalankan perjanjian antara Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring itu, hanya boleh/dibenarkan untuk digelar di Pendapa Sasana Sewaka saat tingalan jumenengan, dan di tempat yang sama pada weton Anggara Kasih walau hanya gladen atau latihan.
“Ya, bapak Sinuhun (PB XII) berulang-ulang berpesan soal itu kepada saya, beberapa saat sebelum surut (wafat). Bahkan beliau ngendika (berpesan), : ‘… kowe sing bisa njumenengake Bedaya Ketawang…’. Lah setelah saya masuk dan melihat situasi dan kondisinya, semula saya khawatir Sinuhun tidak bisa lenggah siniwaka, karena kondisi kesehatannya. Tetapi ternyata, ada perkembangan yang menggembirakan. Istri Sinuhun tilpon saya, bahwa Sinuhun dijamin hadir dan kuat lenggah pada tingalan jumenengan (16 Februari) nanti. Sayapun juga senang dan selalu mendoakan beliau selalu diberi kesehatan,” ujar Gusti Moeng menjawab pertanyaan iMNews.id, belum lama ini.
Karena ada kabar baik dari istri Sinuhun PB XIII, juga pernyataan KRAy Herniati Sriana Munari kepada iMNews.id secara terpisah karena dirinya yang menginisiasi dan membawa Sinuhun berobat ke dr Terawan Agus Putranto di Surabaya, maka upacara adat tingalan jumenengan dalem yang diagendakan berlangsung di Pendapa Sasana Sewaka, 16 Februari nanti diharapkan akan terwujud, menggembirakan dan membanggakan bagi keluarga besar masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta secara keseluruhan, juga warga peradaban secara luas. Karena dengan begitu, supremasi Mataram akan ditampilkan secara lengkap dan tetap akan menjadi simbol dan ikon penting eksistensi Mataram Surakarta, Kota Surakarta Hadiningrat, Provinsi Jateng dan NKRI.
Dengan memperhatikan betapa pentingnya keberadaan tarian sakral Bedaya Ketawang itu, maka secara paugeran adat tidak bisa dibenarkan memperlakukannya secara sembarangan atau asal ada, asal tampil, karena dengan mengesampingkan waktu, tempat dan keseriusan menyajikannya, jelas merusak paugeran adat. Karena Gusti Moeng sangat menghormati konsensus adat berupa paugeran dan selalu berupaya menjaga dan menegakkannya, maka selam 5 tahun berada di luar kraton sejak 2017, tak pernah berani “bermain-main” dengan tari Bedaya Ketawang, dan hanya memberikan materi latihan tari Bedaya Duradasih sebagai pengganti, karena punya kemiripan. (Won Poerwono-bersambung/i1)