Pasang-Surut Eksistensi Organisasi Pakasa Dari Zaman ke Zaman (seri 1- bersambung)

  • Post author:
  • Post published:December 9, 2022
  • Post category:Regional
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Pasang-Surut Eksistensi Organisasi Pakasa Dari Zaman ke Zaman (seri 1- bersambung)
DOA WILUJENGAN : Gusti Moeng selaku Ketua Lembaga Dewan Adat memotong tumpeng dan memberikan kepada KPH Edy Wirabhumi selaku Ketua Pengurus Pusat pakasa (Pangarsa Punjer) dalam doa wilujengan sederhana, menandai peringatan 91 Tahun Pakasa di kantor eks BP Kraton Mataram Surakarta, belum lama ini.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pengembangan di Kabupaten Jepara Dimulai dari “Merti Dusun” dan Haul

IMNEWS.ID – PASANG-SURUT eksistensi organisasi Pakasa dari tingkat pusat (Pengurus Punjer) di Kraton mataram Surakarta sampai cabang-cabang yang terbentuk di berbagai daerah di Jateng, Jatim dan DIY, memang baru dirasakan bersama dalam satu dekade terakhir. Peringatan Hari Jadi 91 Tahun Pakasa di tahun 2022 ini, rata-rata memang masih mencari akselerasi eksistensi kepengurusan di masing-masing cabang, karena usia berdirinya juga baru antara 1 hingga 6 tahun.

Organisasi Pakasa Punjer di Kraton Mataram Surakarta, memang didirikan Sinuhun PB X pada 29 November 1931, artinya sudah 91 tahun usianya. Data dari dokumen manuskrip yang secara khusus menjelaskan tentang perjalanan organisasi Pakasa memang belum ditemukan, dan dimungkinkan memang tidak ada. Data tentang Pakasa sejak awal didirikan, hanya disinggung sekilas dalam beberapa dokumen manuskrip maupun hasil-hasil penelitian para peneliti sejarah, yang kemudian dibukukan seperti buku “Suara Nurani Karaton Surakarta” (Dr Sri Juari Santosa), buku “Propinsi Daerah Istimewa Surakarta” yang ditulis Dr Julianto Ibrahim dan beberapa buku yang ditulis peneliti sejarah khusus tentang Mataram Surakarta, Dr Purwadi.

“Data secara detail soal sejarah Pakasa secara khusus, saya belum memegang. Tetapi dari berbagai informasi yang saya dapat, organisasi Pakasa sampai titik 1945 jauh lebih besar. Data yang menyebut berapa daerah (kabupaten) yang sudah ada kepengurusan Pakasa, juga bagaimana situasinya di masing-masing kabupaten, saya belum mendapatkan. Jangan dibayangkan (situasi dan kondisi sosial-politiknya) seperti sekarang. Karena, sangat jauh berbeda. Kalau sekarang ada undang-undang yang mengurus pembentukan organisasi dengan struktur kengkap, dari tingkat pusat, provinsi dan daerah, sebelum 1945 ‘kan tidak demikian. Belum ada,” jelas KPH Edy Wirabhumi selaku Ketua Pengurus Pusat (Pangarsa Punjer) Pakasa, menjawab pertanyaan iMNews.id, semalam.

RAPAT KOORDINASI : Gusti Moeng selaku Ketua Lembaga Dewan Adat dan KPH Edy Wirabhumi selaku Ketua Pengurus Pusat Pakasa saat berbicara di tengah rapat koordinasi Pakasa di ndalem Kayonan, Baluwarti, beberapa waktu lalu, membahas rencana peringatan Hari Jadi 91 Tahun Pakasa.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ketika dianalisis dari data-data itu, sejak berdiri hingga kraton dinyatakan Sinuhun PB XII bergabung ke dalam NKRI di tahun 1945, bahkan setelah itu (1945) perkembangan Pakasa mengalami dinamika pasang-surut yang luar biasa. Sangat dimungkinkan berkembang luas di berbagai daerah di wilayah kedaulatan “nagari” Mataram Surakarta pada saat-saat mendekati 1945 ketika Sinuhun PB XI jumeneng, tetapi bisa juga mengalami stagnasi saat peristiwa peralihan memasuki era NKRI (1945), atau bahkan banyak yang vakum akibat situasi geo politik yang gawat pada saat itu.

Situasi dan kondisinya bahkan mungkin semakin tidak menguntungkan bagi Pakasa cabang di daerah yang sudah terbentuk sebelum 1945, ketika berada di dalam NKRI saat datang berbagai peristiwa di dalam negeri, mulai dari imbas Clash I dan II dengan Belanda di tahun 1947 dan 1949, pindahnya Ibu Kota dari Jakarta ke Jogja yang diikuti kelompok oposisi Tan Malaka, peristiwa PKI Madiun 1948, pembekuan status Daerah istimewa Surakarta tahun 1946 sampai peristiwa G30S/PKI 1965. Berbagai rentetan peristiwa itu benar-benar mencerai-beraikan organisasi Pakasa, walau sebenarnya yang “dijadikan target sasaran” hanyalah soal isu “feodalistiknya” Kraton Mataram Surakarta.

Ketika dianalisis lebih dalam, struktur organisasi pemerintahan dalam negeri di zaman NKRI sangat jauh berbeda dengan sekarang, yang membagi susunannya dari pimpinan kepengurusan pusat organisasi yang hampir semuanya berada di Ibu Kota negara, lalu diikuti pimpinan kepengurusan regional provinsi, kepengurusan di tingkat kabupaten/kota dan kepengurusan di tingkat ranting/anak cabang di kecamatan.  Organisasi Pakasa tidak berkembang dengan pembagian struktur seperti itu, baik sejak lahir, menjelang 1945 dan pasca 1945.

PAKASA MASA KINI : Rapat koordinasi Pakasa “masa kini” dengan sejumlah pengurus cabang dari berbagai daerah di sela-sela khol Sinuhun PB XII, membahas rencana peringatan 91 Tahun Pakasa di Pendapa Sitinggil Lor, beberapa waktu lalu.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sejak 2004 hingga kini, pembagian struktur kepengurusan cabang di berbagai daerah terjadi, tetapi tidak seperti organisasi sosial-politik karena tidak ada pengurus regional dan banyak sifat-sifat kepengurusannya jauh berbeda karena Pakasa adalah organisasi budaya Jawa. Kebangkitan dan pengembangan organisasi Pakasa tingkat cabang dan anak cabang di berbagai daerah yang terjadi mulai 2004 hingga kini, adalah hasil “survey” Gusti Moeng atau GKR Wandansari Koes Moertiyah dan suami (KPH Edy Wirabhumi-Pangarsa Punjer) di tahun 2004, untuk mengulang “rute survey” saat diajak Humas Kraton KRMH Rio Yosodipuro berkeliling di berbagai daerah misalnya Boyolali dan Klaten di tahun 1990-an.

Mengenalkan kembali organisasi Pakasa di zaman yang sudah berbeda sekali dari saat didirikan, sangat jauh berbeda ketika dibanding membangun dan mengembangkan organisasi sosial-politik. Organisasi Pakasa yang berkecimpung hanya di bidang pelestarian budaya Jawa dan peradaban yang pernah dilahirkan para leluhur Kraton Mataram Surakarta menjanjikan sebuah konsep kehidupan dan praktik nyata yang penuh nilai-nilai idealistik untuk kebutuhan sepanjang zaman, sementara membangun/mengembangkan organisasi sosial-politik banyak menjanjikan hal-hal riil tetapi untuk keperluan sesaat, seperti materi dan kedudukan yang sangat terasa dalam dinamika sosial politik akhir-akhir ini.
Meski rata-rata Pakasa cabang belum genap satu dekade berdiri, tetapi menjadi modal yang banyak memberi manfaat secara luas bagi peradaban kini dan mendatang. Pengurus Pakasa Pusat yang dipimpin KPH Dr Edy Wirabhumi tinggal melanjutkan dan mengembangkan serta menyempurnakaan esensi misi dan visinya yang mungkin tidak seberat ketika memulai dari nol. Karena yang bisa dijanjikan Pakasa adalah sesuatu yang sangat ideal tetapi sulit dijangkau kapasitas pribadi khususnya konstruksi penalaran insan di zaman milenial yang sudah teracuni anasir-anasir liberal, radikal, intoleran dan berorientasi pada politik praktis partial ini.

BERJUANG MENGEMBANGKAN : KRA Bambang Setiawan Adiningrat menjadi “Manggala” kirab untuk sebuah ritual haul tokoh cikal-bakal desa, sebagai bagian dari perjuangannya mengembangkan Pakasa cabang Jepara sebagai sarana ikut melestarikan budaya Jawa di daerahnya.
(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Mungkin Pakasa Cabang Kabupaten Jepara yang punya karakter dan ciri berbeda dari cabang-cabang lain, saya kurang paham. Yang jelas, tantangan pengembangan organisasi cabang Jepara sangat berat. Pakasa Jepara berdiri 2 tahun lalu, di saat pandemi Corona sedang ganas-ganasnya. Suasana kehidupan di masyarakat Jepara, juga begitu keras karena sudah terbawa arus budaya dari luar. Pemahaman terhadap budaya Jawa rata-rata sangat tipis, apalagi di kalangan generasi muda. Budaya Jawa nyaris tersisih,” jelas KRA Bambang Setiawan Adiningrat ketika mempresentasikan Paksa Cabang daerahnya, saat diminta iMNews.id mengisahkan perjuangannya menginisiasi berdirinya cabang Jepara, kemarin.

Pengalaman KRA Bambang Setiawan Adiningrat membangun organisasi cabang dari nol besar mulai dua tahun lalu di tengah masyarakat Kabupaten Jepara, merupakan pengalaman tersendiri dalam berjuang dari skala yang paling kecil di tingkat kelurahan. Caranya dimulai dari pengenalan melalui pentas-pentas seni dari budaya Jawa dan religi, yang diinisiasi Sanggar Seni Loka Budaya yang rutin tiap 35 hari digelar di Padepokan Joglo Hadipuran. Melalui dialog seni budaya itu, organisasi pakasa diperkenalkan dan partisipasi dukungan menyusul datang kemudian, terutama dari kalangan sanggar dan paguyuban seni tari, karawitan, tosan aji dan sebagainya.

Menurut Ketua Lokantara Daerah Jateng ini, selain pentas sajian seni tradisional dan seni religi, Pakasa juga diperkenalkan melalui terlibat langsung pada ritual-ritual religi di makam sesepuh/leluhur lingkungannya yang mirip tradisi “Bersih Desa” (Merti Dusun), “Bersih Kubur” atau “Bersih Makam” (haul). Desa Sukodono tempat tinggal pengusaha yang berbendera “Ina Culture Product” (ICP) di Jepara dan Jakarta ini, dekat makam Eyang Sentono, seorang tokoh cikal-bakal Desa Sukodono, yang mendapat tugas mengurus wilayah setempat dari raja Kraton Mataram, Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma.  (Won Poerwono-bersambung/i1)