Disintegrasi, Risiko Terburuk Pembiaran Ancaman Eksistensi Peradaban Masa Lalu
IMNEWS.ID – BENTUK-BENTUK demitosisasi dan desakralisasi terhadap aneka macam upacara adat yang dilakukan di lingkungan kraton atau lingkungan masyarakat adat di luar kraton, dalam bahasa gaul masa kini disebut “pelecehan”, yang bisa terjadi dalam tiga cara (iMNews.id, 1/12/2022), yaitu melalui medsos, tayangan acara di TV dan aksi secara fisik langsung di lapangan. Kasusnya dari tahun ke tahun pada dua dekade terakhir semakin meningkat, hingga terkesan ada pembiaran oleh pihak-pihak berwenang yang seharusnya menjamin kebebasan menjalankan tatacara adatnya atau berekspresi di lingkungan masyarakat adatnya, dalam waktu cukup lama.
Tayangan acara “Opera van Java” yang sering memperlihatkan drama komedi berlatarbelakang kisah dari produk kebudayaan Jawa, sering menampilkan adegan berunsur perlakuan leceh dari para tokoh pemainnya, misalnya terhadap sejumlah atribut simbol puncak-puncak kebudayaan (blangkon, makhuta, irah-irahan dsn-Red) yang selama ini dibanggakan warga peradaban Jawa. Perlakuan “leceh” itu bisa dikatagorikan sebagai tindakan awal demitosisasi dan desakralisasi terhadap semua produk budaya/peradaban Jawa, termasuk segala macam yang terwujud dalam berbagai upacara adat di Kraton Mataram Surakarta, yang waktu itu memang banyak sekali celah-celah dari yang sudah diatur dalam sistem hukum di Tanah Air.
Mungkin saja, perlakuan leceh terhadap upacara adat dan segala bentuk produk peradaban/budaya lokal di kalangan kraton lain yang tersebar di Nusantara, juga sering terjadi tetapi luput dari perhatian di media publikasi apapun, sehingga nyaris tidak ada persoalan. Tetapi yang jelas, semua kraton anggota Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN) atau anggota Forum Komunikasi dan Informasi Kraton Nusantara (FKIKN) memiliki puncak-puncak kebudayaan, dan sangat kaya upacara adat sesuai cirikhas masing-masing masyarakat adatnya, misalnya di Bali, Tanah Batak (Sumut), Ternate (Provinsi Maluku Utara) dan sebagainya.
Akhir bulan September 2022 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) RI menyelenggarakan kegiatan bertema “Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Bagi Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN)” di kompleks Pusdiklat MK RI di Bogor, 19-22/9. Forum yang diikuti 125 utusan perwakilan dari DPP MAKN dan semua kraton anggota MAKN itu, seakan “menegaskan kembali” dan “mempublikasikan” secara resmi dan luas, bahwa hak-hak kraton dan lembaga masyarakat adatnya masih punya tempat di Nusantara dan dilindungi negara, antara lain yang tertuang dalam pasal 18 ayat 2 UUD 45.
Di forum pemahaman hak konstitusional itu, juga hadir pembicara dari Kejagung RI dan dari perwakilan intelektual kampus yang menjadi representasi dan bagian dari sejumlah lembaga tinggi negara yang telah menandatangani MoU kerjasama program rencana pelatihan bela negara dan pembentukan komponen cadangan (Komcad) dari kalangan masyarakat adat kraton anggota MAKN. Melihat sikap responsif dan akomodatif sejumlah lembaga tinggi negara, terhadap niat baik dan kesiapan kalangan masyarakat adat anggota MAKN dijadikan salah satu unsur benteng ketahanan nasional, ditambah eksistensi payung hukum secara konstitusional itu, seharusnya menjadi contoh wujud keseriusan negara dalam melindungi kraton dan hak-hak konstitusional masyarakat adatnya.
Persoalannya, adalah bagaimana pihak-pihak yang berwenang memberi perlindungan dan jaminan hukum terhadap eksistensi dan hak konstitusional masyarakat adat dan dalam menjalankan aktivitas adatnya benar-benar bisa terwujud secara nyata dalam suasana yang selalu terjaga keamanan dan kenyamanannya. Sebab, Pasal 18 (ayat 2) UUD 45 itu sudah ada sejak NKRI berdiri, tetapi dalam perjalanan bangsa dan negara sampai 77 tahun ini, nyaris tak kelihatan wujud pelaksanaan secara nyata dijalankan oleh pemerintah bersama aparatnya yang setiap 5 tahun berganti/berubah itu.
Andaikata amanat konstitusi itu benar-benar dijalankan secara nyata dengan penuh tanggungjawab oleh pemerintah pusat hingga di daerah, tak akan terjadi berbagai macam perbuatan leceh terhadap kraton dan lembaga masyarakat adatnya, baik oleh oknum-oknum dari rezim kekuasaan maupun masyarakat sipil. Dan yang jelas, tak akan ada yang berani berbuat leceh, kalau semua komponen bangsa dan negara ini paham bahwa peradaban/budaya lokal, adalah bagian dari benteng ketahanan budaya nasional, apalagi telah terbukti menjadi ciri kepribadian dan kebhinekaan yang menjadi kebanggaan bangsa.
Sebab, membiarkan terjadinya demitosisasi dan disakralisasi, berarti membiarkan adanya potensi untuk merusak dan menghapus produk peradaban. Itu juga berarti, membiarkan retak dan rusaknya keutuhan kebhinekaan dan ketahanan budaya bangsa, yang mengarah pada gangguan terhadap keutuhan NKRI serta landasan ideologi dan konstitusi negara. Risiko terburuk dari sikap pembiaran terhadap ancaman eksistensi peradaban masa lalu bangsa, bisa berujung pada disintegrasi bangsa dan negara ini, karena faktanya 250 kraton yang tersebar di seluruh Nusantara ( di tahun 1945) itulah yang mendirikan NKRI ini.
Unsur iri juga tersirat secara eksplisit yang diperlihatkan kekuasaan meski secara tidak langsung, atau melalui simbol-simbol dalam beberapa aktivitasnya, misalnya ketika berlangsung upacara bendera “Tujuhbelasan” atau peringatan 17 Agustus, peringatan Hari Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan dan sebagainya. Unsur ini diduga bisa menjadi alasan terjadinya demitosisasi dan desakralisasi, terutama terjadi pada masa rezim pemerintahan Orde Baru, karena pada rentang waktu 32 tahun itu banyak sekali perwira-perwira ABRI (TNI) dan tokoh-tokoh nasional lainnya disekolahkan “negara” ke AS, baik di lembaga sekolah militer maupun kampus umum seperti Harvard University (Cambridge, Massachusets, AS) dan Barkeley University (California, AS).
Dalam kajian peneliti sejarah dari Lokantaa Pusat (Jogja) Dr Purwadi menyebutkan, Amerika Serikat (US) adalah negara besar dan maju yang telah memperbarui peradaban asal-usulnya terutama dari Eropa, dengan slogan-slogan demokrasi, prinsip-prinsip kesetaraan, hak asasi manusia, sistem ekonomi liberal dan sebagainya. Pembaharuan peradaban di bidang sosial, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya, salah satunya untuk menghilangkan berbagai hal yang berbau monarki seperti yang masih banyak terdapat di Eropa, dan bekas-bekas tanah di belahan bumi Asia yang pernah disewa atau dijajah, misalnya Indonesia.
Maka tidak aneh, sepulang dari bersekolah para tokoh yang silih berganti masuk ke dalam kabinet pemerintahan selama 32 tahun dan masih berimbas sampai di era reformasi itu, melalui kebijakan-kebijakan lembaga kementeriannya mereka telah banyak melakukan perubahan besar dalam di berbagai sendi kehidupan di Tanah Air. Termasuk kebijakan-kebijakan yang secara “sengaja atau tidak” terutama lewat dunia pendidikan di berbagai jenjang, telah mendemitosisasi dan mendesakralisasi berbagai upacara adat milik kraton dan masyarakat adatnya di wilayah luas di Nusantara ini, termasuk atau bahkan secara khusus Kraton Mataram Surakarta.
Tetapi fakta perjalanan sejarah bisa berkata lain, walau “rusak” dan “tercera-berai”, tetapi warga peradaban Jawa yang tetap setia berkiblat pada Kraton Mataram Surakarta sebagai sumbernya, sedikit demi sedikit membangun keasadaran bersama untuk merekonstruksi kehidupan adat peradabannya dengan baik, terarah dan utuh. Begitu banyaknya upacara adat yang semakin sering diselenggarakan dan meluas wilayahnya serta diikuti semakin banyak warga peradaban walau tanpa dibayar, telah membangun kembali kesetiaan dan menjaga kesakralan semua ritual doanya untuk kebesaran dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT, Sang Hyang Tunggal, Sang Maha Wisesa, Sang Khalik yang sulit terjadi di lingkungan kekuasaan. (Won Poerwono-habis/i1)