Persediaan “Jenang Suran” Ludes, Walau Tiap Pakasa Cabang Dibatasi 30 Orang
SURAKARTA, iMNews.id – Selasa Legi malam Rabu Pahing (23/7), “Bebadan Kabinet 2004” Kraton Mataram Surakarta menggelar donga wilujengan pengetan ke-288 tahun (Jawa) atau 279 tahun (Masehi) hadeging “nagari” Mataram Surakarta. Lebih dari 800 abdi-dalem hadir dalam pisowanan untuk “ngalab berkah” ritual yang digelar di “gedhong” Sasana Handrawina, semalam.
Jumlah abdi-dalem yang 70 persen didominasi warga Pakasa cabang di berbagai daerah di Jateng dan Jatim itu, secara keseluruhan melampaui estimasi dari sekitar 600-an yang hadir. Karenanya, persediaan menu utama yang khas simbolik “pengetan hadeging nagari” Mataram Surakarta Hadiningrat 17 Sura itu, ludes dan banyak di antara yang sowan tidak kebagian.
Suasana berlangsungnya donga, kenduri dan wilujengan “Hari Jadi” Kraton Mataram Surakarta yang dihitung dari tanggal 17 Sura Tahun Je 1670 hingga kini 17 Sura Tahun Je 1958, semalam mengingatkan upacara adat serupa yang digelar sebelum 2017. Ruang “gedhong” Sasana Handrawina nyaris penuh sesak untuk menampung lebih dari 800 orang yang duduk lesehan beralas tikar.
Semalam, suasana penuh sesak itu datang lagi setelah 6 tahun “Bebadan Kabinet 2004” terusir dan hanya bisa melakukan beberapa upacara adat secara terbatas di luar kraton. Walau jajaran “bebadan kabinet” yang dipimpin Gusti Moeng sudah kembali bekerja di dalam kraton mulai 17 Desember 2022, tetapi peringatan hari jadi tidak “sehangat” tadi malam.
Dari pengamatan iMNews.id yang mengikuti berlangsunya upacara adat dan data informasi dimiliki KRMH Suryo Kusumo Wibowo selaku koordinator lapangan (korlap) menyebutkan, ada lebih dari 30 Pakasa cabang yang sudah terbentuk di berbagai daerah. Beberapa hari menjelang hari “H” semalam, panitia mendata jumlah perwakilan yang akan dikirim tiap Pakasa cabang.
“Tiap cabang sudah dibatasi 30 orang. Tetapi, tidak semua cabang mengisi data jumlah utusan yang akan dikirim. Sampai upacara berlangsung, jumlah utusan tiap cabang tidak terverifikasi. Padahal, data jumlah utusan yang terkumpul hanya sekitar 600-an. Ternyata, hanya hadir 800 orang lebih. Ini mengindikasikan semangat tinggi, panitia kerepotan melayani”.
“Semangat dan antusiasme warga Pakasa cabang untuk sowan pada setiap upacara adat, patut dihargai dan membuat bangga. Walau ada yang tidak kebagian, panitia tentu minta maaf. Tetapi, bisa ikut hadir pada pisowanan ini saja, sudah termasuk bisa ngalab berkah. Meskipun, jenang Suran sebagai wujud ngalab berkah itu tidak didapat,” ujar KRMH Suryo Kusumo Wibowo.
Upacara adat yang dimulai pukul 19.15 WIB semalam, sebenarnya berlangsung singkat karena donga, kenduri dan wilujengan yang dirangkai dengan tahlil, dzikir dan shalawat Sultanagungan dan syahadat Quresh, selesai pada pukul 20.00 WIB. Tetapi, KPH Edy Wirabhumi selaku Pangarsa Pakasa Punjer meneruskan dengan memberi sambutan dan ucapan terima kasih.
KPH Edy sedikit menyinggung soal keberadaan kraton di alam republik, setelah bisa keluar dari segala persoalan di dalam keluarga besar kraton, diharapkan akan semakin kokoh. Bahkan kelak bisa mendorong NKRI mewujudkan masyarakat yang adil, subur, makmur, tenteram dan mencapai cita-cita bangsa yang sejahtera, seperti yang dirintis para leluhur Mataram.
Sambutan singkat KPH Edy, juga ditujukan kepada rombongan guru besar FIB UNS yang sudah menjadi bagian keluarga besar kraton, setelah mendapat gelar kekerabatan beberapa bulan lalu. Rombongan Prof Dr Sahid dari UNS itu diantar KPH Edy mendahului meninggalkan ruang Sasana Handrawina, tetapi sudah ditunggu para awak media untuk melakukan wawancara.
Wawancara berlangsung di depan pintu Sasana Handrawina, didahului KPH Edy menjelaskan inti upacara, kehadiran para tamu rombongan guru besar UNS dan rencana kerja-sama antara UNS dan kraton. Dua guru besar di antara rombongan saat bergiliran menjawab pertanyaan para awak media menyatakan, banyak hal yang bisa menjadi materi kerjasama antara UNS dan kraton.
Saat KPH Edy dan rombongan berbicara di luar, pisowanan di dalam “gedhong” Sasana Handrawina masih berlanjut. Sambil menikmati isi “cup” berupa bubur atau Jenang Suran, Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa /Pangarsa LDA melanjutkan sambutannya. Dia kembali mengingatkan perjalanan sejarah kraton, yang menjadi modal lahirnya NKRI.
“Tanpa ada Kraton Mataram Surakarta, belum tentu atau bahkan tidak mungkin ada NKRI. Karena, Kraton Mataram Surakarta merupakan modal utama lahirnya NKRI. Ingat ini! Tanggal 17 Sura tahun Je 1670, adalah hari lahir nagari Mataram Surakarta. Saat dideklarasikan 17 Sura itu, tepat tanggal 20 Februari 1745. Itulah hari lahir Surakarta Hadiningrat”.
Sambutan Gusti Moeng semalam juga diawali dengan perjalanan sejarah kraton-kraton sebelum Mataram, yaitu Kediri dan Majapahit, yang kemudian diteruskan Mataram sejak Panembahan Senapati, Sultan Agung dan Amangkurat Agung di Kartasura. Sinuhun PB II memindahkan Ibu Kota dan mengganti nama Desa Sala menjadi Surakarta Hadiningrat pada 20 Februari 1745.
Proses perpindahan itu diceritakan dalam beberapa syair tembang Macapat, “Dhandhang Gula” yang diambil dari data manuskrip “Serat Pindhah Kedhaton”. Nyi MNg Eka Suranti dan KP Husadanagoro melantunkan tembang yang menceritakan pindahnya Ibu Kota Mataram dari Kerta/Plered ke Kartasura, dan di tahun 1745 Kartasura pindah ke Surakarta Hadiningrat.
Tembang Macapat Dhandhang Gula selalu menghiasi suasana ritual peringatan pindahnya kraton dan berdirinya nama Surakarta Hadiningrat pada 17 Sura atau 20 Februari. Mengalunnya tembang itu melengkapi suasana setelah donga, kenduri, wilujengan, tahlil, dzikir dan shalawat Sultanagungan dan syahadat Quresh yang dipimpin abdi-dalem RT Irawan Wijaya Pujodipuro.
Tak hanya lantunan syair tembang Macapat dan donga wilujengan, suasana ritual khas Mataram Surakarta juga ditandai alunan tembang Laras Madya yang syairnya melukiskan keagungan nama Allah SWT yang disebut Santiswara. Musik karawitan dengan Laras “tengahan” atau “Madya” itu, sangat khas berisi tembang religi yang sangat menegaskan Mataram sebagai kraton Islam.
Hampir pukul 21.00 WIB seluruh rangkaian acara ritual peringatan berdirinya Surakarta 17 Sura di tahun Je 1958 atau 2024 ini, selesai. Acara berganti di Bangsal Kasentanan berupa wisuda 15 sentana yang dilakukan putra mahkota KGPH Hangabehi, dan wisuda 105 abdi-dalem di Bangsal Smarakata yang dilakukan KPH Adipati Sangkoyo Mangunkusumo dan para pembantunya. (won-i1)