“Iri” Jadi Alasan Utama Terjadinya Demitosisasi dan Desakralisasi (6-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:December 1, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing “Iri” Jadi Alasan Utama Terjadinya Demitosisasi dan Desakralisasi (6-bersambung)
ADA MITOS DAN SAKRAL : Upacara adat "wilujengan nagari" Sesaji Mahesa Lawung di Alas Krendhawahana, adalah ekspresi doa jelas ada nuansa mitosnya (Serat Aji Pamasa) yang masih terasa sakral, walau berlangsung pasca insiden 2017, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Menjadi Cara Terbaik untuk Menghapus Jejak Peradaban Mataram?

IMNEWS.ID – ADA dua potensi ancaman besar terhadap eksistensi upacara-upacara adat baik yang digelar di pusat dan sumbernya budaya Jawa yaitu Kraton Mataram Surakarta, maupun yang berada di luar dan tersebar di berbagai wilayah yang pernah menjadi kedaulatan (sosial, budaya, politik dsb) Mataram dari skala kecil hingga sedang. Berbagai ungkapan melalui tayangan TV, medsos dan aksi langsung secara pisik yang masuk ranah demitosisasi dan desakralisasi yang banyak terjadi di berbagai wilayah luas dalam dua dekade terakhir, bisa dipahami sebagai sekadar upaya menghapus mitos yang “dianggap sesat” dan menghilangkan kesan sakral/angker, tetapi juga bisa karena menjadi bagian dari sebuah skenario besar.

Skenario besar yang membungkus potensi ancaman melalui tayangan TV, informasi medsos dan aksi langsung di lapangan, bisa oleh sebuah kekuatan budaya dari luar dan berdiri sendiri, karena menganggap upacara adat yang bernuansa mitos dan dianggap sakral itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keyakinan yang dibawa dari luar. Tetapi bisa juga berkolaborasi dengan kekuatan resmi dari rezim kekuasaan, yang sejak lama memperlihatkan gejala-gejala tidak suka terhadap sebagian besar atau semua produk leluhur peradaban masa lampau, khususnya yang berlabel Mataram dan lebih khusus Surakarta.

KIRAB PUSAKA : Upacara adat kirab pusaka menyambut Tahun baru Jawa 1 Sura, sebelum 2017, juga eksprsi doa yang sangat sakral mulai dari di Pendapa Sasana Sewaka maupun ketika berjalan di luar kraton, karena tidak lepas dari nuansa mitos Jawa. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kekuatan dari rezim kekuasaan itu juga bisa berdiri sendiri, tetapi bisa dipinjam (disusupi-Red) atau meminjam (menggunakan) kekuatan budaya dari luar untuk berkolaborasi melakukan penghadangan/pelarangan upacara adat yang dianggap hanya mitos (sesat) dan pemahaman yang salah tentang sakral, melalui tiga cara di atas. Proses dalam rangka penghapusan jejak peradaban produk leluhur, yang secara khusus berlabel Mataram Surakarta menjadi tujuan utama rezim kekuasaan yang diajak atau mengajak berkolaborasi, karena beberapa alasan yang tidak rasional, misalnya iri karena kalah pamor, dianggap “membahayakan bagi negara” dan sebagainya.

Ketika dianalisis, ancaman yang selama ini terasa arahnya ke dua titik, yaitu titik masalah sekadar ingin menghapus ha-hal yang dianggap bit’ah, syirik dan musyrik, kemudian yang satunya titik masalah anggapan kalah pamor yang bisa dipelintir menjadi “membahayakan bagi negara”. Dua hal ini merupakan bagian dari temuan hasil penelitian sejarah masa lampau dan kajian sosial, budaya dan politik terhadap perjalanan Kraton Mataram Surakarta di alam republik yang dilakukan peneliti sejarah dari Lokantara Pusat (Jogja) Dr Purwadi.

JAMASAN NYAI SETOMI : Kamar beserta meriam Nyai Setomi di dalamnya yang ada di Bangsal Sewayana, adalah bagian dari struktur kawasan kraton yang melukiskan makna bagian perjalanan hidup manusia. Ketika dilakukan jamasan, tentu menjadi bagian dari ekspresi doa dari upacara adat itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dari analisis itu pula, ancaman demitosisasi dan desakralisasi yang ternyata menyentuh wilayah eksistensi cirikhas kebhinekaan dan terganggunya keutuhan bangsa, negara, ideologi Pancasila dan landasan konstitusi UUD 45, banyak kalangan tokoh negara dan bangsa khususnya lembaga tinggi negara yang merasa terusik. Karena mengganggu upacara adat produk budaya/peradaban lokal, dianggap sama halnya mengganggu sendi-sendi kehidupan kebhinekaan dan keutuhan NKRI, dan dianggap sama saja menganggu kesepakatan bersama terhadap ideologi Pancasila, serta dianggap sama juga mengganggu landasan hukum bernegara dan berbangsa secara konstitusional yang ada dalam UUD 45.

Hal-hal yang dianggap mengusik itu, terungkap dari pernyataan KPH Edy Wirabhumi selaku Ketua Umum MAKN dalam berbagai kesempatan memberi sambutan, baik di lingkungan internal Kraton Mataram Surakarta maupun di kegiatan-kegiatan di luar kraton yang ada kaitannya dengan organisasi Pakasa, mengingat dirinya juga Ketua Pengurus Pakasa Pusat atau Pangarsa Pakasa Punjer. Dari hasil safarinya beraudiensi dengan sejumlah lembaga tinggi negara dan para pemimpin bangsa, diperoleh kesimpulan bahwa saat ini mereka baru sadar bahwa semua potensi ancaman itu tertuju pada lembaga-lembaga adat dan budaya yang menjadi pengisi “taman kebhinekaan” bangsa, sebagai elemen ketahanan nasional NKRI di bidang budaya.

TIDAK ADA EDUKASI : Mungkin karena tidak ada kesempatan untuk mengedukasi, saat berlangsung upacara adat Garebeg Mulud Sekaten dan ada pentas seni di Pendapa Sitinggil Lor, terjadi perlakuan yang tidak sepantasnya oleh para pengunjung di Bangsal Sewayana. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sebagai bagian dari perjalanan awal berdirinya republik, mungkin saja dengan “berat hati” untuk tidak bereaksi ketika melihat realitas potensi ancaman itu datang dan sudah menyentuh wilayah sensitif ketahanan nasional. Karena di situ, DPR RI, DPD RI, Mahkamah Konstitusi RI, Kejagung RI, Kemenhan, Kementan, BNPT, BNN, Kasad, Kasal, Kasau dan beberapa lembaga yang menantangani MoU dengan MAKN, mau atau tidak ada yang akan dipertaruhkan bila tidak mau bereaksi atau sebaliknya. Mengingat, mereka yang duduk di berbagai lembaga tinggi negara itulah yang paling bertanggung-jawab ketika keutuhan kebhinekaan bangsa, tegaknya NKRI, Pancasila dan UUD 45 terancam oleh kekuatan budaya, apalagi yang datang dari luar negeri.

Walau ada nuansa “berat hati” khususnya bagi yang berkait dengan skenario besar “penghapusan jejak label Mataram Surakarta”, tetapi faktanya hampir semua lembaga tinggi negara yang diajak beraudiensi DPP MAKN bersedia berdialog, menyatakan sepaham dan sepakat untuk menandatangani MoU kerjasama dalam tema bela negara sampai berencana membentuk komponen cadagangan. Dari sini publik secara luas khususnya lembaga masyarakat Kraton Mataram Surakarta dan juga kalangan anggota MAKN akan melihat proses perjalanan kerjasama itu, adalah keseriusan mewujudkan upaya memperkuat benteng ketahanan budaya sebagai benteng ketahanan nasional? atau hanya sekadar formalitas? atau apalagi kalau hanya sekadar “lip service”? (Won Poerwono-bersambung/i1)