Kraton Punya Belasan Upacara Adat yang Semuanya Sakral
IMNEWS.ID – Eksplorasi literasi dokumen manuskrip dari sumber sejarah untuk keperluan transfer knowledge yang terus dilakukan secara estafet mulai dari penulisnya misalnya, RNg Ranggawarsita (Pujangga Surakarta) dan para juru penerang budaya yang sudah mendahului seperti KRT H Handipaningrat, KRMH Rio Yosodipuro, KRT Kalinggo Honggodipuro dan KP Winarno Kusumo hingga para penerusnya sekarang ini seperti KP Puspitodiningrat dan KP Siswantodiningrat serta KP Budayaningrat, tentu sangat beralasan. Salah satu alasan yang tidak bisa dipisahkan dari kewajiban yang melekat sepanjang hayat atau “dharmaning urip” sebagai wong Jawa atau warga peradaban Jawa, adalah tugas melestarikan budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta.
Transfer knowledge tentu saja berkait dengan keperluan edukasi kepada semua warga peradaban pada zamannya, dan tentu saja untuk generasi calon pengganti yang diharapkan berlangsung terus secara turun-temurun, untuk melegitimasi dan memperkuat peradaban Jawa. Pelaksanaan upacara adat “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung (iMNews.id, 24/11/2022), sudah berjalan ratusan tahun bahkan sejak Kraton Demak (abad 15) dan akan terus berlanjut sampai akhir zaman, yang tujuannya antara lain untuk keperluan transfer knowledge dan edukasi warga peradaban agar selalu menempatkan setiap insan peradaban Jawa sadar dan “dunung” (memahami asal-usul diri dan tugas kehidupannya-Red).
Dalam rangka memohon keselamatan, kesejahteraan, kemuliaan bangsa dan negara seisinya termasuk Kraton Mataram Surakarta itulah, ritual “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung diselenggarakan dan diharapkan tetap dijaga kelestariannya sampai akhir zaman. Dalam keperluan seperti itulah Sinuhun Paku Buwana II juga memaknai ritual “wilujengan nagari” Sesaji Raja Wedha peninggalan Mataram dan Demak. Yaitu upacara selamatan untuk menandai genap 100 hari setelah tanggal 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745, setelah mendeklarasikan nama Desa Sala diganti dengan Surakarta Hadiningrat, sebagai Ibu Kota “nagari” Mataram atau tanda berdirinya “nagari” Mataram Surakarta.
Lokasi satu-satunya yang dipilih untuk menggelar “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung hanya “Alas Krendhawahana” dan sama sekali tidak ada tempat lain untuk menggelar ritual itu, iMNews.id saat menulis di Harian Suara Merdeka pernah mendapatkan data informasi dari KP Winarno Kusumo beberapa tahun sebelum meninggal. Yaitu mengenai adanya punden-berundak yang ada tengah hutan lindung yang kini berada di Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, sudah ditetapkan Sinuhun PB II sebagai titik batas spiritual Kraton Mataram Surakarta di utara, yang kemudian sering dijadikan tempat pertemuan Sinuhun PB VI (1823-1830) dengan Pangeran Diponegoro untuk mengatur siasat perang (1825-1830).
Ritul “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung yang melestarikan inti “wilujengan Sesaji Raja Wedha”, hanya digelar di satu tempat itu yang waktunya dihitung 100 hari setelah tanggal 17 Sura (kalender Jawa) yang bisa dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis akhir bulan Bakda Mulud atau Rabiulakhir seperti yang digelar Lembaga Dewan Adat Kraton Mataram Surakarta, Kamis 24 November atau 29 Bakda Mulud/Rabiulakhir. Kraton Mataram Surakarta adalah kraton satu-satunya yang memiliki ritual itu, atau tidak dimiliki kraton lain, sekalipun anggota Catur Sagatra keturunan Dinasti Mataram, karena ketika KGPH Sudjiwo Kusumo hendak jumeneng nata menjadi KGPAA MN IX di tahun 988, menggelar “wilujengan nagari” itu di Alas Kredhawahana atas seizin Sinuhun PB XII.
Kraton Mataram Surakarta setiap menggelar ritual “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung di tengah hutan kecil Alas Krendhawahana, terasa sekali suasana kesakralannya, bahkan sejak diawali doa wilujengan di Pawon Gandarasan maupun saat berada dalam pisowanan di Pendapa Sitinggil Lor (iMNews.id, 14/11). Dari upacara adat ini juga memunculkan tokoh “Bathari Kalayuwati” sebagai putri Sang Hyang atau Bathari Durga, yang sering terdengar di dunia seni pakeliran dan bersumber dari Serat Aji Pamasa karya Pujangga Surakarta RNg Ranggawarsita, dari sisi sejarah memang bisa dikategorikan menjadi bagian dari mitologi Jawa.
Tetapi bukan hanya ritual “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung yang masih terasa sekali suasana kesakralannya yang pada sisi lain ada unsur mitos yang kuat sebagai salah satu cara memperkuat kesakralan itu, masih banyak ritual yang dimiliki Kraton Mataram Surakarta yang hingga kini tetap dijalankan rutin tiap tahun dalam kondisi kesakralan yang kuat pula, plus unsur mitosnya. Selain Sesaji Mahesa Lawung, setidaknya ada 9 jenis upacara adat yang terus dijalankan yaitu “tingalan jumenengandalem” Sinuhun, kirab pusaka menyambut 1 Sura, hajaddalem Garebeg Mulud (Sekaten), hajad dalem Garebeg Syawal (Lebaran), hajad dalem Garebeg Besar (Idhul Adha), Malem Selikuran, ritual “Ruwahan”, khol sejumlah tokoh raja Mataram, larap selambu makam raja dan labuhan.
Selain itu, masih ada ritual “Malem Anggara Kasih” atau malam Selasa Kliwon yang sering dimaknai dengan mengeluarkan koleksi wayang kulit bergiliran tiap kotak dari 17 kotak yang dimiliki kraton, agar mendapat udara bebas di luar ruang penyimpanan, menghindari jamur yang tujuannya adalah agar benda peninggalan sejarah itu berumur panjang. Selain “ngesis” wayang, Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa juga memaknai ritual itu untuk melatih para penari Bedaya Ketawang di Pendapa Agung Sasana Sewaka, tetapi waktu “weton” itu atau malam Jumat Kliwon (Sukra Kasih), juga sering dimaknai dengan aktivitas jamasan terutama di bulan Sura atau Mulud, misalnya jamasan meriam Nyai Setomi. (Won Poerwono-bersambung/i1)