Dicurigai Memulihkan “Kedaulatan Politik Kewilayahannya”?
IMNEWS.ID – BEGITU banyaknya jumlah macam dan jenis upacara adat yang dimiliki Kraton Mataram Surakarta, tentu akan memberi banyak pula makna konotatifnya, baik ketika dipandang pada periode sebelum bergabung ke dalam NKRI, maupun sesudah menjadi bagian dari NKRI mulai tanggal 17 Agustus 1945. Sebab, ada perbedaan yang mencolok ketika memandang pelaksanaan belasan upacara adat yang diselenggarakan Kraton Mataram Surakarta sebelum momentum Proklamasi Kemerdekaan RI, dengan yang diselenggarakan selama berada di alam republik hingga 77 tahun sekarang ini.
Pelaksanaan upacara adat yang digelar Kraton Mataram Surakarta sebelum bergabung ke dalam NKRI, jelas erat sekali dengan legitimasi lembaga negara monarki atas kedaulatan politik dan kewilayahannya, misalnya tingalan jumenengandalem yang biasanya dengan pisowanan agung dan upacara kebesaran disertai kirab dengan barisan prajurit yang panjang di depan dan belakang kereta Kangjeng Kiai (KK) Garoeda Kentjana. Namun, begitu memasuki alam demokrasi, hampir semua upacara adat tetap lestari dan secara situasional terus dilaksanakan rutin tiap tahun, yang tujuannya hanya untuk melestarikan legitimasi terhadap kraton sebagai lembaga dan sumber budaya Jawa.
Oleh sebab itu, segala bentuk aktivitas yang selama ini dilakukan Kraton Mataram Surakarta, terutama di beberapa dekade terakhir jumenengnya Sinuhun PB XII (1945-2004) dan semangat awal Sinuhun PB XIII sebagai penerusnya hingga dilanjutkan Lembaga Dewan Adat (LDA) walau berada di luar kraton sejak 2017, semata-mata hanya untuk tujuan pelestarian budaya Jawa yang bersumber dari kraton dan pelestarian lembaga kraton sebagai lembaga masyarakat adat yang hanya berkecimpung di bidang pelestarian budaya Jawa. Karena pekerjaan seperti ini, hanyalah untuk mewujudkan pesan-pesan para “pepunden” terutama sabdadalem Sinuhun PB XII di akhir hayatnya bertutur “Arepa karaton mung kari sakmegroking payung, kudu dijaga supaya tetep lestari”.
Dengan pemandangan aktivitas dan semangat para kerabat dan masyarakat adatnya seperti itu, jelas sangat jauh untuk bisa dikatakan bahwa kraton berusaha menghimpun kekuatan untuk memulihkan kedaulatan politik kewilayahannya. Terlalu cepat dan terlalu gegabah apabila ada yang mencurigai dengan asumsi dan persepsi seperti itu. Karena, nyaris seluruh warga peradaban dan kerabat keluarga besar Kraton Mataram Surakarta setiap saat justru menyatakan dengan tegas, bahwa Kraton Mataram Surakarta akan berdiri di depan bergandengan tangan dengan semua komponen bangsa untuk menjaga tetap utuh dan tegaknya NKRI, ideologi Pancasila, landasan konstitusi UUD 45 dan utuhnya kehidupan kebhinekaan bangsa di Nusantara ini.
“Karena, justru Kraton Mataram Surakarta yang pertama kali menyatakan bergabung dengen NKRI di antara 250-an kraton yang ada di Nusantara. Itu berarti, bahwa Kraton Mataram Surakarta yang pertama kali menyatakan ikut mendirikan NKRI. Dan kehadiran Sinuhun PB XII yang membiayai segala keperluan perjalanan 300 orang anggota delegasi RI di forum KMB di Den Haag, Belanda selama tiga bulan (September-Desember), jelas menjadi penentu nasib NKRI di mata dunia sesuai aturan PBB, sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh,” tegas GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng selaku Ketua Lembaga Dewan Adat, dalam berbagai kesempatan wawancara dengan iMNews.id, beberapa waktu lalu.
Dalam pandangan peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja, Dr Purwadi (Ketua Pusat), pemerintah RI memang bisa dikatakan tidak curiga dengan berbagai kegiatan Kraton Mataram Surakarta yang selama ini diinisiasi Gusti Moeng, yang melibatkan masyarakat dari wilayah yang sangat luas, punya tingkat kesetiaan yang luar biasa dan intensitas kegiatannya yang semakin meninggi dari waktu ke waktu. Tetapi dari gelagatnya, pemerintah dari tingkat pusat sampai tingkat kota, lebih banyak memperlihatkan sikap “iri” terhadap “kebesaran” Kraton Mataram Surakarta yang hingga kini tetap terjaga, bahkan kembali kuat terlegitimasi semakin luas.
Dari penelitian dan kajian yang dilakukan Dr Purwadi yang secara khusus menggali informasi tentang fakta dan data sejarah kebesaran Mataram Surakarta dalam waktu lebih satu dekade sejak awal tahun 2000-an, menghasilkan banyak hal yang bisa dikomparasikan sebagai akibat adanya gelagat sikap-sikap antara “curiga” dan “iri”. Kraton Mataram Surakarta yang kaya sekali ragam upacara adat, mungkin melebihi kraton-kraton lain di Nusantara dan juga NKRI, karena frekuensi dan intensitas penyelenggaraannya yang makin meninggi, sangat mungkin mengundang “iri” kalau bukan “curiga”.
Antara sikap “curiga” dan “iri” memang bukan berarti statis (pasif) dan “mandeg”, diam, melainkan sebaliknya. Karena upaya untuk menjadikan peradaban Jawa berhenti, bubar dan musnah tak berbekas dari bumi Nusantara secara samar-sama terus diupayakan dengan berbagai cara. Dan salah satu cara yang sangat kelihatan dilakukan oleh banyak pihak adalah, melalui penyebaran pengaruh dengan tema “demitosisasi” dan “desakralisasi” seperti yang terlahir dalam (kasus) aksi “menendang takir sesaji”, melarang pentas wayang kulit, melempar/menendang blangkon simbol busana Jawa dan sebagainya. (Won Poerwono-bersambung/i1)