Doa Dari Krendhawahana, Agar Korban Gempa Cianjur Diberi Kekuatan

  • Post author:
  • Post published:November 24, 2022
  • Post category:Regional
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Doa Dari Krendhawahana, Agar Korban Gempa Cianjur Diberi Kekuatan
DI KRENDHAWAHANA : Suasana upacara adat "wilujengan nagari" Sesaji Mahesa Lawung di Alas Krendhawahana berlangsung di sekitar punden-berundak di tengah hutan lindung Desa Krendhawahana, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar hingga pukul 13.00 Wib siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kraton Mataram Gelar Wilujengan Sesaji Mahesa Lawung

KARANGANYAR, iMNews.id – Dari tengah hutan lindung Krendhawana yang ada di Desa Krendhawahana, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, harapan dan doa dipanjatkan dalam ritual “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung, terutama karena adanya bencana gempa bumi di Kabupaten Cianjur, Jabar yang menelan korban jiwa sampai 170-an, ratusan korban luka dan berbagai kerusakan. Dari tengah ritual yang digelar Lembaga Dewat Adat (LDA) Kraton Mataram Surakarta itu, dipanjatkan doa permohonan kepada Tuhan YMA agar semua korban gempa diberi keringan beban dan diberi kekuatan untuk menghadapi cobaan itu.

“Wilujengan nagari Sesaji mahesa Lawung, salah satu tujuannya untuk memohon kawilujengan untuk jagad ini dan seisinya. Juga kawilujengan bangsa dan nagari RI, Kraton Mataram Surakarta dan seisinya. Mudah-mudahan dijauhkan dari segala bencana. Pada kesempatan ini, secara khusus kami mendoakan bagi para keluarga korban jiwa dan korban luka serta kerugian yang diakibatkan oleh bencana gempa. Semoga diberi keringanan beban, kekuatan menghadapi cobaan serta segera diberi kesembuhan dan suasana duka kembali pulih seperti semula,” pinta GKR Wandansari Koes Moertiyah saat memberi sambutan tunggal menutup rangkaian upacara adat maupun ketika diwawancarai para awak media yang meliput ritual di Alas Krendhawahana itu, siang tadi.

SAMBUTAN TUNGGAL : Gusti Moeng selaku Ketua LDA dan Pengageng Sasana Wilapa tampak memberikan sambutan tunggal sebagai penutup ritual “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung yang dia gelar di Desa Krendhawahana, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar hingga pukul 13.00 Wib siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Upacara adat “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung yang dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua LDA di tengah hutan lindung di Desa Krendhawahana, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, siang tadi, merupakan puncak dari rangkaian upacara adat yang sebelumnya digelar dari Pawon Gandarasan dan Pendapa Sitinggil Lor, pagi tadi mulai pukul 08.00 WIB. Ritual “wilujengan nagari” yang diperbaharui Sinuhun PB II setelah usia 100 hari setelah mendeklarasikan “Nagari Mataram Surakarta” pada tanggal 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745 itu, dilakukan di Pendapa Sitinggil dalam sebuah pisowanan yang diikuti sekitar 300 orang dan doa secara Islam yang dipimpin abdidalem jurusuranata MNg Irawan Wijaya Pujodiprojo.

Wilujengan nagari yang sudah menyertakan berbagai uba-rampe termasuk kepala kerbau di Pendapa Sitinggil Lor, hanya berlangsung sekitar 60 menit dan berakhir sekitar pukul 10.00 WIB. Tampak dalam upacara adat yang dipimpin Ketua LDA sekaligus Pengageng Sasana Wilapa yang akrab disapa Gusti Moeng itu, kakak tertua KGPH Mangkubumi yaitu GKR Timoer Rumbai Kusumodewayani bersama GRA Putri (adik), KPH Edy Wirabhumi, KRMH Kusumo Adilogo, KRMH Manikmoyo, KRMH Kusumo Wibowo, sejumlah Pengageng dan Wakil Pengageng Bebadan, para sentana garap dan abdidalem garap serta perwakilan beberapa Pakasa cabang.

SITINGGIL LOR : Ritual “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung diawali dengan doa secara Islam yang dipimpin abdidalem jurusuranata MNg Irawan Wijaya Projodipuro dalam sebuah pisoawanan yang digelar LDA di Pendapa Sitinggil Lor, mulai pagi sekitar pukul 09.00 WIB.
(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Kraton Mataram Surakarta adalah satu di antara sejumlah kraton di Jawa yang masih eksis dan memiliki upacara adat paling kaya. Kekayaan upacara adat yang rata-rata sakral seperti ini, tidak dimiliki NKRI. Para peserta upacara adat memiliki kesetiaan luar biasa untuk sowan dan mengikutinya. Sementara, NKRI hanya punya upacara 17-an ditambah Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan yang tidak sakral dan ikatan kesetiaan para pesertanya hanya biasa-biasa saja,” sebut Dr Purwadi peneliti sejarah dari Lokantara Pusat (Jogja), yang punya kajian tentang upacara adat kraton yang dikomparasikan dengan upacara hari besar negara (RI) di sela-sela mengikuti ritual Sesaji Mahesa Lawung di Krendhawahana, siang tadi.

Dr Purwadi adalah perwakilan Pakasa Cabang Jogja yang paling aktif mengikuti setiap upacara adat di Kraton Mataram Surakarta digelar, bahkan memiliki intensitas perhatian luar biasa terhadap Surakarta sebagai Kota, bekas Ibu Kota Negara dan sebagai bekas negara Mataram Surakarta, hingga secara khusus meneliti semua hal tentang Surakarta lebih 10 tahun sejak awal 2000-an. Kemarin, penulis lebih dari 100 buku hasil penelitiannya itu, tampak hadir “sowan” dan sempat berbincang dengan KRAT Hendri Rosyad Reksodiningrat, seorang pemerhati budaya Jawa dan kraton secara spiritual kebatinan.

IRING-IRINGAN : Iring-iringan prosesi kirab prajurit dan para abdidalem yang bertugas membawa segala jenis uba-rampe upacara adat “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung, termasuk kepala kerbau, tiba di Pendapa Sitinggil Lor dari Pawon Gandarasan, Baluwarti, pagi tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Selesai doa di Pendapa Sitinggil Lor, semua yang hadir dan berbagai perlengkapan serta uba-rampe upacara adat diangkut dengan dua bus besar dan sejumlah mobil serta motor menuju Alas Krendhawahana yang ada di Desa Krendhawahana, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karangnyar yang jauhnya sekitar 20 KM dan ditempuh sekitar 45 menit. Upacara di “punden-berundak” Alas Krendhawahana, diawali dengan meletakkan semua uba-rampe upacara, disusul dengan doa dalam Bahasa Arab, Jawa dan Budha yang dipimpin MNg Irawan Wijaya Projodipuro.

Setelah ritual berlangsung, kepala kerbau bersama berbagai jenis bahan pangan yang dianggap merugikan bagi manusia ditanam di tempat yang disiapkan secara khusus di kompleks hutan lindung itu, bersamaan dengan pembacaan riwayat singkat sejarah adanya “wilujengan nagari Sesaji Mahesa Lawung” oleh KP Puspitodiningrat. Sebagai penutup, Gusti Moeng selaku Ketua LDA dan Pengageng Sasana Wilapa memberikan sambutan tunggal yang antara lain mendoakan kepada para korban bencana di Kabupaten Cianjur, agar diberi ketabahan, bahkan sempat menjawab pertanyaan para awak media sebelum bubaran dan meninggalkan lokasi ritual. (won-i1)