Penyeimbang Antara Spiritual Religi dan Tata Nilainya
IMNEWS.ID – KRISIS kepribadian yang semakin kentara di kalangan generasi muda, setidaknya yang lahir mulai tahun 1990-an, memang tak sekadar membuat sementara pihak warga peradaban yang masih konsisten dengan cirikhas kebhinekaannya menjadi prihatin. Dalam beberapa peristiwa menonjol yang muncul dalam dinamika sosial, politik, budaya pada dekade terakhir, justru sudah sampai membuat pihak-pihak tertentu khawatir dan cemas karena situasi dan kondisi yang semula memprihatinkan, belakangan sudah menjadi ancaman yang serius.
Pemandangan secara umum yang berhasil direkam imnews.id dari sejumlah daerah seperti Demak dan Jepara (Jateng), Sidoarjo dan Pamekasan (Madura) Jatim dan di sekitar Surakarta, sangat jelas merepresentasikan perkembangan suasana terakhir bagaimana corak dan ciri kehidupan generasi muda. Dan perkembangan suasana secara umum itu, juga bisa direkam melalui ritual Sekaten Garebeg Mulud yang digelar Kraton Mataram Surakarta selama seminggu, ditambah hiruk-pikuk keramaian pasar malam yang ikut meramaikan peringatan hari besar Maulud Nabi Muhammad SAW dari 16 September hingga 16 Oktober.
Trend dinamika kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi yang semakin “liberal” tetapi dibarengi potensi kekuatan yang mengerucut dalam politik identitas, sebenarnya sudah mulai diantisipasi Kraton Mataram Surakarta jauh sebelum 2017, atau setidaknya sejak generasi kedua Sinuhun PB XII tampil melanjutkan gerak roda pelestarian budaya Jawa dan untuk eksistensi lembaga peradabannya. Tetapi, peristiwa insiden 2017 yang bercampur-aduk dengan beberapa potensi “kelompok perusak” lainnya, ditambah datangnya pandemi Corona, telah membuat “kehidupan tiarap” lebih 2 tahun dan menggugurkan semua yang sudah dirintis.
Syi’ar Agama dan Budaya
Mencermati semangatnya, penyelenggaraan aktivitas Gelar Budaya yang mulai dirintis jauh sebelum 2017, jelas sekali dilandasi oleh tugas dan tanggungjawab pelestarian budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta. Dengan menggelar berbagai kegiatan seni budaya di luar upacara adat atau ritual baku yang sudah diagendakan rutin sesuai kalender Jawa turun-temurun sejak leluhur Mataram, diharapkan kraton tetap memiliki tanda-tanda kehidupan dan jejak peninggalan sejarah peradaban akan tetap mudah dikenal dan dipahami.
Sebab itu, aktivitas Gelar Budaya yang semula hanya diadakan pada saat ulang tahun tahta atau tingalan jumenengan Sinuhun Paku Buwana, kemudian diperluas sampai penyelenggaraan ritual Sekaten Garebeg Mulud. Aktivitas kesenian yang dipadukan dengan dua upacara adat itu, diharapkan menjadi hiburan seni bagi masyarakat luas, memperkenalkan kekayaan seni (tari, karawitan, pedalangan) khas kraton, pelengkap dari khasanah upacara adat di kraton yang sudah lebih dulu dikenal dan menjadi penyeimbang antara fungsi syi’ar agama dan syi’ar budaya.
Syi’ar agama seperti yang diperlihatkan dalam beberapa tahapan pada ritual Sekaten Garebeg Mulud, misalnya, telah menunjukkan dan mengenalkan kepada publik warga peradaban untuk datang di tempat upacara yaitu kagungandalem Masjid Agung, kemudian memahami apa saja aktivitas yang ada di sana serta simbol-simbolnya. Termasuk mendengarkan/memperhatikan tausyiyah yang diberikan para penceramah, yang biasanya diberikan pada sesi malam di sela-sela gamelan Kiai Guntur Sari dan Kiai Guntur Madu ditabuh.
Padi dan Kapas
Dengan datang di Masjid Agung dan melakukan aktivitas mendengar tausyiyah dan suara gamelan Sekaten, setidaknya ada pesan yang bisa sampai ke otak atau memori para pengunjung, yang bisa memberi makanan rohani berupa nutrisi religi, sekaligus makanan kejiwaan berupa obat dahaga batiniah. Termasuk segala macam simbol-simbol idealistik yang menjadi tujuan syi’ar agama, semua tersaji di sana dan dengan mudah bisa dikenal, disimpan dan menjadi pertimbangan atau kendali perjalanan kehidupan.
Pecut, kodok-kodokan, celengan, kinang-suruh, endhog kamal dan segala macam karya seni rakyat yang menjadi komoditas masyarakat kelas menengah ke bawah yang tersaji di Masjid Agung dan kawasan di sekitarnya, sangat dipastikan sarat simbol-simbol yang dibutuhkan bagi kehidupan kerohanian dan badan manusia. Sekaligus, ada misi ekonomi kerakyatan di sana seperti maksud simbol “padi dan kapas” (pangan dan sandang) yang terlukis dalam lambang logo kraton yang disebut Sri Radya Laksana, yang kemudian diadopsi menjadi bagian dari Pancasila warga bangsa NKRI.
Berbagai sajian yang digelar di titik sentral utama Masjid Agung, sudah jelas tujuan dan manfaatnya, yaitu sebagai tugas dan kewajiban Kraton Mataram Surakarta untuk menjalankan tugasnya sebagai Kraton Mataram Islam di bidang syi’ar agama. Meskipun melalui simbol-simbol yang dihadirkan dalam wujud gamelan dan berbagai kelengkapan serta daya dukung lainnya, juga memberi nilai plus atau bonus berupa pemenuhan kebutuhan kebatinan yang menjadi wilayah syi’ar budaya Jawa.
Berkaliber Maestro Tari
Tetapi, ternyata perjalanan kehidupan warga peradaban ini masih butuh kelengkapan yang lain yang belum bisa terpenuhi dari semua yang tersaji di titik sentral aktivitas syi’ar agama yang berada di Masjid Agung dan sekitarnya. Seiring perubahan zaman, warga peradaban sangat butuh pedoman dalam melakukan hubungan sosial dengan sesama warga peradaban, yang berupa tata nilai. Padahal, semua bentuk tata nilai yang terangkum dalam tata basa, tata krama (unggah-ungguh dan udanegara) dan tata susila tidak mungkin diajarkan di keramaian Sekaten atau berbareng jenis ritual garebeg lain, karena prosesnya butuh tempat dan waktu khusus.
Oleh sebab itu, gagasan dan inisiasi menciptakan pertunjukan Gelar Budaya yang dipadukan dengan pelaksanaan beberapa jenis upacara adat di kraton, merupakan ide yang tepat dengan sentuhan inovasi yang juga tepat dalam hal mengombinasikan serta melengkapi antara kebutuhan syi’ar agama dan syi’ar budaya, khususnya dalam mengedukasi tentang tata nilai yang sangat dibutuhkan dalam pergaulan atau hubungan sosial warga peradaban. Almarhum KPH Satryo Hadinagoro yang juga suami GKR Galuh Kencana (almh), punya peran penting dalam pembaharuan syi’ar agama dan syi’ar budaya itu, karena dialah salah satu yang menginisiasi.
Gelar budaya yang berupa pentas beberapa tarian khas kraton, jelas tidak lepas dari keterlibatan GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Yayasan Kabudayan Kraton Surakarta, yang did dalamnya ada Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Surakarta yang diketuainya pula. Bahkan, mantan penari Bedaya Ketawang di masa lajangnya itu, dalam prosesnya semakin matang kapasitasnya sebagai instruktur, penyusun tari dan koreografer yang kalibernya sekelas maestro tari kraton itu. Perannya sangat menonjol pada saat Kraton Mataram Surakarta bangkit selepas belenggu pandemi, untuk kembali merintis Gelar Budaya itu dari nol, di ajang Sekaten Garebeg Mulud 2022 yang baru saja berlalu. (Won Poerwono-bersambung/i1)