Urunan 4 Makam yang “Basah”, Untuk “Kunjungan Balasan” ke Kraton
IMNEWS.ID – KEHADIRAN “utusan dalem” dari Kraton Mataram Surakarta yang di dalamnya terdiri beberapa elemen Lembaga Dewan Adat (LDA) yang dipimpin Gusti Moeng di sejumlah makam/petilasan/pesanggrahan tokoh leluhur Dinasti Mataram, menjadi dukungan yang dibutuhkan bersama dan melahirkan kekuatan yang saling melegitimasi. Dan, manfaat secara tidak langsung dari hubungan kekerabatan dan silaturahmi di antara masyarakat adat seperti ini, bisa sampai pada keuntungan secara ekonomis dan banyak lagi manfaat yang ditimbulkannya.
Dalam kerangka seperti itulah, intensitas kunjungan representasi Kraton Mataram Surakarta yang dipimpin Gusti Moeng selaku Ketua LDA kembali ditingkatkan setelah menurun tajam bahkan nyaris tidak ada intensitas selama dua tahun pandemi Corona di tahun 2020 dan 2021. Setelah di makam Kyai Ageng Tirta, Desa Karangasem, Wirosari, Grobogan (Rabu, 5/10), Gusti Moeng membawa rombongan nyaris komplet ke dua kecamatan di Kabupaten Pati, yaitu Kecamatan Tambakromo dan Juwana (iMNews.id, 11/10/2022), dengan komposisi paket aktivitas nyekar/ziarah yang dirangkai penyerahan kekancingan gelar kekerabatan yang dikemas dalam safari “Tour de makam leluhur”.
Seperti dijelaskan KRAT Mulyadi Puspopustoko selaku Ketua Pakasa Cabang Pati, di wilayah kabupatennya memiliki 14 titik lokasi makam dan petilasan leluhur Dinasti Mataram yang tersebar di beberapa kecamatan. Tetapi hanya 4 titik lokasi makam yang menjadi primadona kunjungan wisata religi para peziarah dari berbagai daerah di luar kabupaten, bahkan luar provinsi. Karena menjadi primadona destinasi wisata, jumlah pengunjungnya tiap tahun tergolong paling besar di antara 14 titik makam.
Memuliakan dan Melegitimasi
“Dengan jumlah kunjungan peziarah paling besar untuk 4 makam itu, otomatis pemasukannya ‘kan juga besar mas. Empat makam itu termasuk makam yang basah. Di antaranya, ya yang ada di Desa Sinom Widodo (makam Kyai Ageng Wot Sinom) dan di Desa Trimulyo (makam Kyai Ageng Ngerang) itu. Sisanya ada 10 makam, masih termasuk kering, belum menjadi primadona kunjungan peziarah. Sebelum pandemi, haul di dua makam basah itu dirawuhi Gusti Wandansari (Gusti Moeng), sudah berjalan tiga atau empat kali (iMNews.id, 11/10/2022). Ini sungguh membanggakan bagi rakyat di sini,” ujar KRAT Mulyadi yang dihubungi iMNews.id, kemarin.
Dari 14 titik lokasi makam yang rata-rata memiliki masjid/mushola yang dijadikan pusat kegiatan ritual religi haul sekaligus pengajian akbar, disebut KRAT Mulyadi rata-rata miliki 40-an pengurus yang biasanya melibatkan keluarga masing-masing dalam setiap event ritual berlangsung. Meski di wilayah Pati sudah ada 500-an anggota Pakasa, jumlah itu belum termasuk semua pengurus makam di 14 titik lokasi itu, karena dari jumlah anak cabang pengurus Pakasa yang terbentuk juga baru sekitar 5 kecamatan dari 22 kecamatan yang ada.
Pengurus makam yang di dalamnya rata-rata dilengkapi pengurus yayasan yang sekaligus mengelola masjid/mushola, hampir semuanya adalah warga Nahdliyin dari cabang NU setempat. Oleh sebab itu, safari “Tour de Makam leluhur” yang dipimpin Gusti Moeng membawa kelengkapan beberapa elemen dalam satu paket komplet, bisa mengerjakan beberapa tugas sekaligus untuk satu perjalanannya. Sebaliknya, event beserta seluruh komponen yang terlibat sebagai tuan rumah penyelenggara, ketika dihadiri LDA sebagai representasi Kraton Mataram Surakarta, juga merasa dimuliakan, mendapat kepercayaan dan kehormatan yang membanggakan sekaligus membahagiakan.
Melacak Surau
“Ketika kami bertemu dengan pengurus cabang dan beberapa anak cabang itu, kami juga merundingkan bagaimana membalas kerawuhan Gusti Wandansari bersama rombongan dari kraton. Kami merasa punya utang bersilaturahmi. Apalagi, itu juga sudah menjadi ‘gawa-gawene’ seperti janji kami ketika diwisuda sebagai abdidalem. Kami selalu berunding dengan makam yang basah, bagaimana sebaiknya untuk ganti sowan ke kraton kalau ada upacara adat dan HUT Pakasa, misalnya. Teman-teman dari makam yang kering, juga kami ajak berunding, bagaimana kalau urunan menyewa mobil untuk sowan ke kraton. Seperti waktu haul Sultan Agung di Pendapa Pagelaran, kemarin itu, kami sowan dengan rombongan 100-an orang menyewa bus,” sebut KRAT Mulyadi.
Perihal makam Kyai Ageng Ngerang di Desa Trimulyo, Kecamatan Tambakromo, adalah kompleks makam yang menempati urutan teratas dari kunjungan peziarah setiap tahunnya yang mencapai 10 ribuan orang, terutama selama pelaksanaan haul di bulan Rabiulawal atau Mulud. Padahal, makam itu sudah dipindah dua kali dan dilakukan pasa zaman kakek canggah, atau tiga generasi di atas KRAT Mulyadi. Menurut kakek langsung dari ayahnya, lokasi pertama makam sekitar 1,5 KM di arah barat, kemudian digeser ke timur sekitar 300-an meter dari makam yang sekarang, lalu terakhir di lokasi yang sekarang ini yang diperkirakan sudah 100-an tahun.
Sebelum ritual religi haul dimeriahkan dengan kedatangan rombongan dari Kraton Mataram Surakarta, hubungan antara masyarakat adat setempat dengan kraton dirintis KPH Broto Adiningrat (alm), salah seorang cucu Sinuhun PB X. Sesepuh yang juga tokoh paranpara nata yang mengikuti jejak Gusti Moeng di luar kraton sampai meninggal sekitar 3 tahun lalu, pernah mendatangi KRAT Mulyadi jauh sebelum 2017, untuk menanyakan lokasi makam Kyai Ageng Ngerang beserta belik atau sendang yang melengkapi sebuah surau atau langgar (mushola) di dekat makam.
Dibutuhkan NKRI
Tetapi sayang, belik atau sendang yang menjadi sumber air alami dan diperkirakan menjadi tempat wudhu para tokoh dinasti yang berziarah ke situ sepanjang sejarah Mataram itu, belakangan diketahui KRAT Mulyadi sudah menjadi tempat membuang sampah dan disebut sumur guwak atau sumur tempat membuang (sampah). Meski begitu, surau atau langgarnya bisa dilacak titik lokasinya, yang diyakini tepat di bawah bangunan mushola megah seperti yang sekarang tampak. Di tahun 2019, Gusti Moeng dan rombongan diminta naik panggung yang didirikan di dekat mushola itu, untuk memberi sambutan pada pengajian akbar, puncak haul Kyai Ageng Ngerang yang disaksikan lebih dari 5 ribu orang.
Simbiosis mutualistik telah terbangun antara masyarakat adat di sejumlah wilayah di Kabupaten Pati, dan juga di beberapa wilayah lain di Jateng, bahkan Jatim, yang sangat membutuhkan payung pengayoman yang bisa mempertegas asal-usul dan nama peradabannya, yaitu peradaban Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta. Masyarakat adat setempat membutuhkan kekuatan legitimasi lengkap dengan simbol-simbol representasi yang meyakinkan, begitu pula Kraton Mataram Surakarta juga membutuhkan legitimasi dari para “kawulanya” untuk kelangsungan eksistensi kraton dan pelestarian budaya Jawa seperti yang dibutuhkan NKRI saat ini melalui “Tour de Makam leluhur” itu.
Kerja legitimasi bisa dilakukan dengan banyak cara, salah satunya tampil di event-event tradisi apalagi dengen stampel mirip yang dimiliki Mataram Islam, sebaliknya juga dengan cara “suwita” sebagai abdidalem Pakasa untuk belajar lebih dalam tentang budaya Jawa beserta segala tata nilai di dalamnya, agar seimbang dan lengkap antara kebutuhan religi dan budayanya. Profil masyarakat adat Jawa seperti inilah yang sedang digelorakan semangatnya oleh FKIKN melalui MAKN, juga sedang dicari untuk dijadikan mitra para pemimpin negara dan bangsa, karena bingung mencari cara terbaik dan tepat untuk mempertahankan kebhinekaan bangsa, mempertahankan keutuhan NKRI, menjaga tegaknya Pancasila dan UUD 45. (Won Poerwono-habis/i1)