Dipahami Secara Salah, Terlalu Cepat Menyebut Bit’ah
IMNEWS.ID – FORUM sarasehan “Kajian Sekaten Solo (Surakarta-Red); Strategi Membangun Peradaban Kebudayaan Islam”, yang digelar bersama antara organisasi Muhammadiyah di tingkat pusat dan wilayah Jateng dengan Kraton Mataram Surakarta yang dilaksanakan Lembaga Dewan Adat (LDA), Sabtu (1/10/2022), memberi manfaat banyak hal. Karena, kegiatan ilmiah yang berlangsung di Pendapa Sitinggil Lor itu menjadi autokritik yang bisa membuka tabir penghalang pandang, yang justru membuat Kraton Mataram Surakarta malah kembali bersinar dan kembali memancarkan energi positif yang sangat dibutuhkan kehidupan secara luas.
Mungkin keluarga besar Muhammadiyah yang waktu itu direpresentasikan oleh Ketua Umum PWM Jateng KRAT Dr KH Tafsir MAg, Ketua Umum PPPM Sunanto dan Ketua PWPM Jateng Eko Pujiatmoko sudah merencanakan lama kunjungannya ke kraton dalam bentuk sarasehan itu, tetapi siapa yang mengira peristiwa itu menjadi momentum yang sangat tepat bagi Muhammadiyah untuk melakukan “autokritik” terhadap kraton dan organisasinya? Siapa yang menduga bahwa momentum kedatangan Muhammadiyah di saat berlangsungnya ritual Sekaten Garebeg Mulud, justru membuka tabir banyak hal yang memberi energi positif bagi kraton dan Muhammadiyah sendiri.
Autokritik yang diberikan organisasi Muhammadiyah justru menjadi vitamin yang bisa membuat sehat Kraton Mataram Surakarta dan “imune” terhadap anasir yang merusak sifaf akomodatif “Nut jaman kelakone”, dari “gangguan kesehatannya” yang selama ini diderita, terutama “gangguan kesehatan serius” yang terjadi pada April 2017. Penjelasan dan ulasan KRAT Dr KH Tafsir MAg selaku pembicara tunggal bisa disebut “autokritik”, karena ternyata Muhammadiyah “bukan orang lain” lagi bagi kraton (iMNews.id, 5/10/2022), melainkan bagian dari keluarga besar kraton.
Autokritik Jadi Vitamin
Vitamin yang menyehatkan memamg hanya sebagai penjaga stamina yang tidak bisa diartikan untuk “menyembuhkan” atau “menghilangkan” segala penyakit, atau gangguan kesehatan yang selama ini diderita kraton, yang mulai meredup sejak momentum 17 Agustus 1945. Kemudian terus menurun staminanya selama menjalani hidup di bawah kekuasaan beberapa rezim yang lebih banyak merugikan. Ditambah munculnya peristiwa-peristiwa internal yang justru semakin menenggelamkan “bleger” atau sosok fisiknya dan reputasinya dari peradaban dunia sejak 2004, diteruskan pada 2010 dan “disempurnakan” pada 2017.
Kesadaran, keterbukaan, pemahaman sekaligus keikhlasan menerima evaluasi dan kritik dari intensitas ringan sampai berat yang selama ini diterima lembaga masyarakat adat sebesar Kraton Mataram Surakarta, memang tak semua tokoh dan pihak internal bisa memahami, mengakui dan menerima ikhlas. Tetapi, tidak banyak tokoh dan pihak yang bisa menjalani kerja positif, inspiratif dan futuristik seperti yang dilakukan GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku ketua LDA, Pengageng Sasana Wilapa dan sejumlah posisi penting di internal kraton bersama para pengikut setianya.
Terbukanya tabir yang sempat membuat gelap sudut pandang publik terhadap kraton mulai yang dilakukan Gusti Moeng terhadap keluarga besar Nahdliyin (PB NU hingga PC) dalam sejumlah peristiwa beberapa waktu lalu, kemudian disusul forum sarasehan bersama keluarga besar Muhammadiyah, belum lama ini, jelas banyak mengadopsi autokritik dan evaluasi dari dua organisasi agama terbesar di Indonesia yang pernah menjadi keluarga besar kraton. Autokritik dan evaluasi dari dua organisasi agama terbesar itu, terutama untuk menegaskan bahwa Kraton Mataram Surakarta adalah kraton Islam, sekaligus menegaskan posisi dan kewajibannya untuk mengayomi kaum minoritas (agama lain) sesuai maksud “rahmatan lil ‘alamin”.
Ada Makhluk Lain
Salah satu autokritik yang dilakukan Muhammadiyah seperti dilontarkan KRAT Dr KH Tafsir, adalah kedudukan “raja” atau Sinuhun Paku Buwana (PB) yang kini sudah tidak lagi (memenuhi syarat) sebagai pemimpin agama sesuai gelar “…khalifatullah sayidin panatagama…” seperti yang mulai disandang Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, sejak mendirikan Mataram Islam itu. Mengapa bisa demikian?, Menurut Ketua Umum Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jateng itu karena Muhammadiyah telah (lama) meninggalkan kraton, bahkan melupakan kraton.
Autokritiknya kemudian juga diarahkan pada bentuk-bentuk aktivitas upacara adat di kraton yang berkonotasi kultus, tetapi kebanyakan warga Muhammadiyah terlalu cepat menuding “bit’ah”, yang mungkin saja menjadi alasan banyak warga Muhammadiyah meninggalkan kraton. Menurut KRAT Dr KH Tafsir, dalam pelaksanaan adat di lingkungan masyarakat adat kraton memang banyak menggunakan kebiasaan sehari-hari dan simbol-simbol dari alam sekitarnya (untuk berdoa), Muhammadiyah perlu memahami kebiasaan adat seperti itu demi keberhasilan syi’ar agamanya.
Dalam persoalan-persoalan yang selama ini dikonotasikan kultus dan diasumsikan “bit’ah”, Gusti Moeng saat menjadi keynote speaker dalam sarasehan itu menjelaskan bahwa masyarakat luas termasuk Muhammadiyah mungkin kurang paham terhadap kebiasaan dan upacara adat yang berlangsung di kraton. Harus dibedakan antara sesaji yang rata-rata bunga banyak dikonotasikan negatif sebagai “makani setan” yang diletakkan pada tempat-tempat tertentu, karena kraton punya pandangan, dalam kehidupan di dunia ada makhluk yang tidak kasat mata yang perlu juga diakui keberadaannya sebagai ciptaan Tuhan YME.
Ciri Islam Makin Kuat
“Yang didoakan di Masjid Agung atau kalau adat doa wilujengan upacara adat di kraton, itu bukan sesaji. Itu aneka makanan khas kraton yang sudah didoakan oleh jurusuranata, yang sudah halal untuk kita makan. Dua hal berbeda itu yang sering dicampuradukkan, hingga disikapi dengan sinis dan membawa nama kraton kurang baik. Dulu, di kraton ada guru ngaji yang khusus untuk anak-anak perempuan di keputren. Untuk anak-anak lelaki yang di tempat terpisah. Tetapi, sekarang tidak ada. Terakhir saya yang diajari ngaji,” sebut Gusti Moeng menceritakan jejak-jejak aktivitas Islami di kraton selepas 17 Agustus 1945.
Tak hanya warga Muhammadiyah, banyak warga peradaban yang terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa nyaris semua yang dilakukan kraton dalam menjalankan upacara adatnya masuk kategori bit’ah, akibat ada pemahaman yang salah terhadap kebiasaan-kebiasaan yang ada di kraton. Sangat mungkin, hal-hal seperti ini yang ikut terakumulasi untuk memperkuat asumsi bahwa raja di Kraton Mataram Surakarta kini sudah “tidak memenuhi syarat” disebut sebagai pemimpin agama, hingga ciri Islam Kraton Mataram Surakarta menjadi diragukan.
Ada 17 masjid peninggalan sejarah yang kebanyakan menyatu dengan makam tokoh leluhur Kraton Mataram Surakarta dan leluhur Mataram, yang kini menjadi tanggung jawab kraton. Karena di dalamnya ada banyak warga Nahdliyin yang menjadi bagian dari masyarakat adat pemelihara aktivitas tradisi religi di situ. Kejelasan dan ketegasan yang terungkap dari sarasehan itu, bisa menjadi bahan pemahaman yang baik bagi publik secara luas untuk semakin mencintai kraton, dalam rangka mecintai budaya Jawa yang bersumber dari dan upaya-upaya pelestarian yang terus diberikan. Itulah yang membuat ciri Islam semakin kuat, dan membuat kraton kembali bersinar. (Won Poerwono-habis/i1)