Di Masa Sinuhun PB X, 48 Gunungan Berjalan Berpasangan
IMNEWS.ID – PADA masa jumeneng atau bertahtanya Sinuhun Paku Buwana (PB) X mulai tahun 1893-1939, menjadi puncak supremasi pelaksanaan upacacara adat yang dimiliki Kraton Mataram Surakarta sepanjang sejarahnya mulai Sinuhun PB II (1745) hingga PB XIII sekarang ini. Bahkan, sejak Mataram berdiri di Kutha Gedhe mulai jumenengnya Panembahan Senapati atau bisa ditarik mundur lagi yang menggelar ritual Sekaten, baru di zaman Sinuhun PB X itu kraton mengeluarkan 48 gunungan yang berjalan berpasangan di kanan dan kiri antara gunungan putri dan kakung, menuju Masjid Agung untuk didoakan dan dibagi-bagikan.
“Yang saya dapat dari Serat Babad Sala dan beberapa sumber lainnya, menyebutkan bahwa Sinuhun PB X pernah mengeluarkan gunungan 48 buah. Gunungan putri berjalan di kiri, berpasangan dengan gunungan kakung di sebelah kanan. Prosesi melewati Sitinggil Lor, Pendapa Sasanasumewa, alun-alun lalu ke kagungandalem Masjid Agung. Saya kira, itu yang terbanyak sepanjang sejarah Mataram hingga kini. Di dalam barisan prosesi, disebutkan ada Canthangbalung dan Edan-edanan,” jelas KP Budayaningrat, dwija Sanggar Pasinaon Pambiwara yang punya pengalaman sebagai prajurit Panyutra untuk menyambut PM Thailand Norodom Sihanuk yang menjadi tamu kraton di tahun 1984.
Sebagai ilustrasi, zaman Sinuhun PB X sebagai pemimpin adat, pemimpin “negara” sekaligus pemimpin agama (khalifatullah sayidin panatagama-Red), adalah bisa disebut sebagai zaman keemasan sepanjang perjalanan sejarah Mataram Surakarta (1745-1945), bahkan keseluruhan perjalanan Mataram hingga kini. Hasil penelitian Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat-Jogja) menyebut, pada zaman PB X itu terjadi transisi sosial, ekonomi dan politik dunia, sekaligus banyak mendapat bayaran uang sewa tanah atas perjanjian kontrak (lange contract) yang dibuat Belanda dengan Mataram Surakarta.
Jalankan Amanat Konstitusi
Rekor gunungan terbanyak yang dikeluarkan Sinuhun PB X dalam menjalankan ritual Sekaten Garebeg Mulud, mungkin bisa diasumsikan rakyat atau “kawula” Mataram Surakarta saat itu sebagai suasana zaman yang “murah sandang-pangan, gampang kang sarwa tinuku, ayem-tentrem, adil-makmur, kerta-raharja” dan sebagainya seperti dilukiskan para dalang saat mengucapkan “janturan” di depan kelir pentas wayang kulit. Dan pada waktu itu (1893-1939), “nagari” Mataram Surakarta yang terdiri dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura, populasi penduduknya hanya beberapa juta saja dan hanya beberapa ratus orang dari wilayah terdekat yang “ngalab berkah” gunungan.
Dari sisi kecukupan atau seimbang antara supply dan demand, 48 gunungan yang dikeluarkan Sinuhun PB X justru surplus bila dibanding dengan jumlah kawula yang datang “ngalab berkah”. Sangat mungkin, suasana “ngalab berkah” gunungan Sekaten pada saat itulah, benar-benar terjadi apa yang selalu diucapkan utusandalem saat meminta abdidalem jurusuranata untuk mendoakan gunungan, yaitu “sawise kadonganan, nuli kabage-bage kang warata”. Meskipun sudah dikurangi karena gunungan juga diantar ke Pura Mangkunegaran, asrama abdidalem pengulu dan jurusuranata di Kampung Kauman dan Gajahan serta ke pusat pemerintahan (administratif) di Kepatihan.
Kehadiran KGPAA Mangkunagoro dalam setiap prosesi hajadalem gunungan ke Masjid Agung sampai di zaman Sinuhun PB XI, adalah temuan KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo yang menarik untuk kembali diwujudkan para ahli waris Dinasti Mataram, sebagai contoh gambaran kerukunan kekeluargaan, sikap saling menghormati dan kegotong-royongan yang bisa menjadi teladan baik bagi warga peradaban luas masa kini dan mendatang. Sekaten Garebeg Mulud juga bisa dijadikan simbol perwujudan dimensi sosial ekonomi dalam hal pemerataan rezeki, yang bisa mengetuk nurani kalangan penguasa yang seharusnya menjalankan amanat pasal 18 UUD 45 dan Perpres No 29 tahun 1964.
Berkorban Untuk Melindungi
Refleksi kemeriahan ritual Sekaten Garebeg Mulud yang sudah dicontohkan Sinuhun PB X dan hal-hal menonjol lain pada zaman sesudahnya dalam rangka pelestarian budaya yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta, perlu dicatat dan menjadi pertimbangan lembaga Kraton Mataram Surakarta itu sendiri dalam perjalanan ke depan. Sebagai bahan pertimbangan lembaga negara yang diwakili pemerintah RI hingga pemerintah kota, jika benar-benar menginginkan NKRI tetap utuh dan kuat, Pancasila dan UUD 45 tetap tegak berdiri serta unsur-unsur kebhinekaan tetap terjaga utuh seperti yang sangat terasakan pada dekade terakhir ini.
Hal-hal menonjol pada Sekaten Garebeg Mulud dalam perjalanan Mataram setelah Sinuhun PB X, memang sudah banyak dilakukan sesuai kemampuan dengan menyadari makna “Nut jaman kelakone”. Oleh sebab itulah, kraton pernah mencoba bersinergi dengan beberapa Pemda dan HPPK dalam rangka menyeimbangkan antara supply dan demand yang semakin sulit diwujudkan, juga dengan mengartikulasi pelaksanaan ritual yang ada, agar edukasi tentang nilai-nilai religi seimbang dengan edukasi nilai-nilai budi pekerti, yang sangat dibutuhkan warga peradaban bangsa dewasa ini, bahkan ke depan.
Seperti misalnya yang dicontohkan Gusti Moeng saat membuka pentas malam ketiga Gelar Budaya Sekaten, Selasa malam (4/10), disebutkan nilai-nilai dari peristiwa “Sinuhun lenggah tinangkil” yang berarti Sinuhun duduk di singgasana yang ada di Bangsal Mangunturtangkil yang ada di kompleks Pendapa Sitinggil Lor. Di tempat Gusti Moeng berpidato, tepat di depan Bangsal Witana atau tepat di depan singgasana tempat Sinuhun lenggah tinangkil, yang persis membelakangi moncong meriam pusaka Nyai Setomi, yang bermakna filosofi sebagai seorang pemimpin harus berada di depan, berani menghadapi ancaman, berkorban untuk melindungi rakyatnya.
Mengayomi Siapa Saja
Ritual jamasan meriam pusaka Nyai Setomi yang tiap tahun berlangsung dua kali dan salahsatunya tepat di saat Sekaten Garebeg Mulud, jelas menjadi sarana edukasi nilai-nilai keteladan yang sangat tepat, karena Sekaten menjadi magnet berkumpulnya begitu banyak orang yang datang dari wilayah yang luas sampai saat ini. Maka di situlah, Sinuhun PB X yang dikenal sebagai “Sinuhun ingkang minulya” (mulia) dan “Sinuhun ingkang wicaksana” (bijaksana) itu, benar-benar bisa dipahami sebagai raja sekaligus pemimpin negara, pemimpin adat dan pemimpin agama yang visioner, jauh ke depan (iMNews.id, 5/10/2022).
Kini, dengan reputasi dan dedikasinya seperti itu, “Sinuhun” yang sedang jumeneng sulit dikatakan sebagai “pemimpin adat”, apalagi “pemimpin agama” dan jelas bukan pemimpin negara atau sangat mustahil kalau dimimpikan menjadi pemimpin negara. Sinuhun yang sekarang sangat sulit diharapkan berani berkorban seperti yang dilukiskan Gusti Moeng di Sitinggil Lor, Selasa malam (4/10), karena dalam “ketidakberdayaan” secara fisik dan psikis, nama Sinuhun justru dimanfaatkan orang-orang di sekitarnya untuk “menjual lahan” Maleman Sekaten Rp 1,6 milyar 2 tahun lalu.
Sebelum 2017, Kraton Mataram Surakarta rutin menggelar pentas seni tari, karawitan dan seni pedalangan wayang kulit di Pendapa Sitinggil Lor maupun Sitinggil Kidul pada saat berlangsungnya Sekaten dan Garebeg Pasa, untuk menyajikan kesenian yang banyak memberi edukasi tentang budi pekerti. Ini dimaksudkan untuk mengimbangi ritual Sekaten nilai edukasi religinya sangat dominan, baik secara visual maupun audio. Bahkan kraton punya tugas mulia, harus bisa menjaga dan memberi teladan sebagai kraton Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”, tempat bernaung atau mengayomi siapa saja, seperti terwujud dalam Canthangbalung. (Won Poerwono-habis/l1)