Ciri Islam Mataram Surakarta Kembali Bersinar, Walau Rajanya Bukan Lagi Pemimpin Agama (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:October 5, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Bagi Muhammadiyah, Kraton Surakarta “Bukan Orang Lain”  

IMNEWS.ID – “KAJIAN Sekaten Solo (Surakarta); Strategi membangun Kebudayaan Islam” yang diusung menjadi tema sarasehan yang digelar Lembaga Dewan Adat (LDA) Kraton Mataram Surakarta, bersama induk organisasi Muhammdiyah dan jajarannya di tingkat pusat dan wilayah Jateng yang digelar di Pendapa Sitinggil Lor, belum lama ini (iMNews.id, 1/10), menjadi informasi yang menarik di ruang publik. Salah satu titik sentral yang menarik itu, terletak pada peristiwa pertemuan antara Muhammadiyah secara kelembagaan organisasi keagamaan dengan Kraton Mataram Surakarta secara kelembagaan masyarakat hukum adat (iMNews.id, 3/10).

Ada unsur mengejutkan, memang. Karena, pertemuan kedua lembaga yang masing-masing diwakili tokoh-tokohnya yang secara representatif sangat meyakinkan itu, terkesan seperti baru kali pertama bertemu dan berkenalan. Tetapi, ketika digali ke dalam, peristiwa pertemuan itu merupakan momentum terjalinnya kembali hubungan dua keluarga, yang sebenarnya berasal dari satu keluarga besar yaitu Kraton Mataram Surakarta. Kraton telah melahirkan sejumlah tokoh besar bangsa, salah satunya adalah KH Achmad Dahlan telah berjasa mendirikan organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912 yang didukung penuh kelahirannya oleh Sinuhun Paku Buwana (PB) X (1893-1939).

Publik secara luas bisa terperangah ketika banyak fakta yang muncul ke permukaan sejak peristiwa di Pendapa Sintinggil Lor tentang hubungan antara Kraton Mataram Surakarta dengan organisasi Muhammadiyah secara kelembagaan, bisa diibaratkan sebenarnya sama-sama saling menganggap “bukan orang lain” lagi di antara keduanya. Tetapi semuanya tentu ada proses alamiah yang terjadi, misalnya seperti peristiwa penganugerahan gelar kehormatan kekerabatan yang diberikan kraton melalui Lembaga Dewan Adat, kepada Ketua Umum PWM KRAT Dr KH Tafsir MAg, beberapa waktu sebelumnya.

Menjauhkan Leluhurnya

IKATAN KEKERABATAN : Partisara kekancingan gelar kehormatan yang diperlihatkan bersama oleh Ketua Umum PPPM Sunanto dan Gusti Moeng (Ketua LDA), adalah wujud ikatan kekerabatan yang terjalin kembali antara Kraton Mataram Surakarta dan Muhammadiyah. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Lagi-lagi berawal dari pelajaran sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang diberikan di lembaga sekolah pada umumnya di berbagai tingkatan, khususnya di masa rezim Orde Baru, yang seakan “ingin” memisahkan ikatan kekeluargaan, ikatan kekerabatan dan ikatan silaturahmi antara sejumlah anggota keluarga besar yang asalnya dari Mataram terutama Surakarta. Upaya yang “sistemik, terstruktur dan masif” melalui jalur pendidikan dan di luar pendidikan sudah berhasil “menjauhkan” warga peradaban terhadap “jejak” dan pengetahuan tentang leluhurnya terutama Mataram Surakarta, bahkan sampai beberapa generasi sejak 17 Agustus 1945.

Termasuk di dalamnya salah satunya adalah organisasi Muhammadiyah dan keluarga besarnya, yang sejak tahun 1970-an bahkan sebelumnya, dikenal publik secara luas terkesan tak ada hubungannya sama sekali, atau “menjadi orang lain” di mata masing-masing lembaga “induk” dan tokoh-tokoh besar bangsa yang pernah dilahirkan. KH Achmad Dahlan di mata publik secara luas sejak saat itu, tak bedanya dengan tokoh-tokoh besar sekaligus pahlawan nasional secara individual, atau besar bagi kalangan keluarga besar Muhammadiyah saja.

Oleh sebab itu, pernyataan KRAT Dr KH Tafsir MAg sebagai pembicara tunggal forum sarasehan bersama Kraton Mataram Surakarta yang digelar Lembaga Dewan Adat di Pendapa Sitinggil Lor, Sabtu itu (iMNews.id, 3/10/2022), yang menyebut bahwa KH Achmad Dahlan tokoh pendiri organisasi Muhammadiyah “berasal” dari kraton, itu sungguh mengejutkan. Terlebih, ketika dalam wawancara khusus dengan iMNews.id, Gusti Moeng selaku Ketua LDA menjelaskan bahwa KH Achmad Dahlan punya garis trah keturunan Sinuhun PB IX.

Tak Bisa Dipisahkan

GENERASI MUDA : Eko Pujiatmoko (Ketua Umum PWPM) Jateng menerima kekancingan gelar kehormatan dari Gusti Moeng (Ketua LDA), belum lama ini. Dia adalah representasi generasi muda organisasi Muhammadiyah yang sedang “dibimbing” untuk mengenal kembali asal-usul pendiri organisasinya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Dari beberapa informasi yang saya dapat, KH Achmad Dahlan yang masih famili juga dengan Kyai Bagus Ngarfah, yang punya nama kecil Ishak dan sebagai abdidalem Kraton Mataram Surakarta bernama Sastroadirengga. Beliau adalah penerjemah Alqur’an ke dalam Kur’an Jawi yang diterbitkan dan diluncurkan belum lama ini. Saya yakin, KH Achmad Dahlan juga punya visi tentang pendidikan, khusunya agama. Karena, pernah dipercaya sebagai kepala Madrasah Paguron (perguruan-Red) Islam Manba’ul Ulum,” sebut KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo yang dihubungi iMNews.id di tempat terpisah, kemarin.

Fakta-fakta tentang tokoh pendiri Muhammadiyah sebagai “anak kandung” yang dilahirkan Kraton Mataram Surakarta, akan melukiskan bagaimana sebenarnya hubungan antara Kraton Mataram Surakarta dengan organisasi Muhammadiyah, yang sulit diragukan kebenarannya, apalagi ketika menyimak temuan hasil penelitian Ketua Lokantara Pusat (Jogja) Dr Purwadi. Buku “Sejarah Perguruan Mambaul Ulum (Manba’ul Ulum) di Karaton Surakarta” yang disusun Dr Purwadi itu, banyak menyebut nama KH Achmad Dahlan yang tidak bisa dipisahkan dari lembaga pendidikan Islam modern Manba’ul Ulum yang dirintis pendiriannya oleh Sinuhun PB X.

Menurut Dr Purwadi, Kraton Mataram Surakarta menjadi pelopor pendidikan Islam modern dan lembaga “Paguron” Manba’ul Ulum, resmi didirikan pada hari Ahad (Minggu) tanggal 20 Jumadilawal tahun Alip 1835 atau tanggal 23 Juli 1905. Paguron “sumber ilmu pengetahuan” sebagai makna harfiah dari Manba’ul Ulum didirikan atas usul putra mahkota yang masih bernama KGPH Hangabehi sebelum menggantikan ayahandanya bergelar Sinuhun PB XI, yang didukung Patihdalem RA Sosorodiningrat IV.

“Bukan Orang Lain”

KELUARGA BESAR : Pertemuan sebuah keluarga besar Kraton Mataram Surakarta di Pendapa Sitinggil Lor, belum lama ini, yang di dalamnya ada unsur Muhammadiyah yang kini menjadi organisasi agama terbesar di Tanah Air selain warga Nahdliyin (NU). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Yang usul putradalem (putra mahkota) KGPH Hangabehi. Yang meresmikan ayahandanya, Sinuhun PB X (1893-1939). Putra mahkota yang kemudian menggantikan sang ayah bergelar Sinuhun PB XI (1939-1945). Peresmian “Paguron” Manba’ul Ulum yang memanfaatkan lingkungan Masjid Agung sebagai tempat belajar-mengajar, dihadiri dua tokoh Sarikat Islam (SI) H Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto. Sinuhun PB XI adalah raja yang agamis tetapi visioner jauh ke depan, karena banyak belajar agama di Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari (Ponorogo) meneruskan tradisi leluhurnya, Sinuhun PB II (1727-1749),” tandas Dr Purwadi kepada iMNews.id saat mengikuti sarasehan.

Mencermati data sejarah hasil penelitian Dr Purwadi itu, tampak sekali bagaimana intensitas hubungan kekeluargaan dalam konteks pribadi, kekerabatan dan dalam konteks proses pembelajaran, antara Kraton Mataram Surakarta yang diwakili lembaga Paguron Manba’ul Ulum dengan KH Achmad Dahlan, yang kemudian mendirikan Organisasi Muhammadiyah tahun 1912. Paguron Manba’ul Ulum yang berdiri tanggal 23 Juli 1905, pemimpin pertamanya dipercayakan kepada Kyai Bagus Ngarfah, yang mengundang KH Achmad Dahlan mengisi “kuliah” studium general pada tahun 1913, ketika Patihdalem R Adipati Sosrodiningrat IV sudah menjabat Ketua Muhammadiyah Surakarta.

Kyai Bagus Ngarfah adalah penerjemah Alqur’an ke dalam Kur’an Jawi, ketika memimpin Paguron Manba’ul Ulum, sempat mengundang Ki Hajar Dewantara untuk memberi “kuliah”. Seterusnya, kepemimpinan Manba’ul Ulum dipercayakan kepada seorang ulama besar dari Pesantren Jamsaren (kini masuk wilayah Kelurahan Serengan, Surakarta) bernama KH Moh Idris. Lembaga Peguron ini eksis hingga kini dan pernah melahirkan tokoh Prof Mukti Ali dan Prof Munawir Zadzali yang pernah menjabat Menteri Agama di masa Orde Baru. Perjalanan sejarah juga menunjukkan, “Kraton bukan orang lain” bagi Muhammadiyah, begitu pula sebaliknya. (Won Poerwono-bersambung/i1)