Sampai PB XI, Mangkunagoro Masih Ikut Prosesi Garebeg Mulud
IMNEWS.ID – RITUAL Sekaten Garebeg Mulud yang akan berakhir Sabtu (8/10), akan ditandai dengan prosesi keluarnya hajaddalem gunungan untuk didoakan di kagungandalem Masjid Agung sebagai puncak peringatan hari besar Maulud Nabi Muhammad SAW yang tepat tanggal 12 Mulud atau Rabiulawal. Bersamaan dengan itu, sepasang gamelan pusaka Kyai Guntursari dan Kyai Gunturmadu yang sudah berakhir ditabuh Jumat malam tanggal 7 Juli, esok sebelum prosesi gunungan berlangsung, lebih dulu dibawa masuk ke kraton.
Dua pasang atau lebih gunungan yang setelah didoakan oleh abdidalem jurusuranata di Masjid Agung, biasanya separo ditinggal di depan topengan (teras) masjid untuk “dibagi-bagikan” kepada pengunjung, dan sisanya dibawa ke halaman Kamandungan untuk “dibagi-bagikan” di sana. “Ngalab berkah” apa saja wujud makanan yang menjadi penghias gunungan, memang tidak ada ukurannya antara cukup sedikit atau banyak, namun makanan seperti rengginan yang menghiasi gunungan putri yang mirip payung karena ditutup rengginan, mendapat secuilpun sudah ada maknanya.
Apalagi, gunungan putri juga dihiasi lempengan rengginan ukuran besar yang di tengahnya berbentuk bintang warna hitam, yang disusun bervariasi dengan ketan wajik yang membentuk daun, menutup hampir seluruh permukaannya hingga membentuk lingkaran mirip bunga raksasa.
Gunungan putri juga dilengkapi “kampuh” penutup jodhang yang terbuat dari mori dan lawe, sebagai simbol busana manusia baik secara rohani maupun jasmani, yang bermakna lambang sandang dan sifat kesusilaan manusia.
Brahmana Canthangbalung
Yang melingkari gunungan putri, juga terdiri dari bunga-bunga harum, yang berselang-seling dengan makanan bernama “kacu”, bentuknya bulat kecil terbuat dari ketan yang diberi warna-warni dan jumlahnya sekitar 50 biji. Hiasan lain adalah ada alat “giwangan bima” 8 biji, samir jene (kuning) 4 buah, sujen, daun pisang, tali dan jodhang. Biasanya, selain pasangan gunungan ukuran besar, juga ada gunungan anakan yang dinamakan “Saradan” yang dihiasi uang logam yang jumlahnya sesuai urutan “raja” (Sinuhun) yang jumeneng.
Masih ada lagi rengginan kecil warna merah, putih, hitam dan kuning yang jumlahnya untuk gunungan kakung 4 biji dan gunungan putri 8 biji dan hiasan gunungan tuntut (kuncup bunga pisang) atau eter kecil. Ancak Cantaka untuk membawa jodhang kecil berjumlah 24 buah, isinya isinya nasi wuduk, ingkung, kedelai dan pisang raja, sega janganan, sayuran, endhog godhog, buah-buahan, jajan pasar dan aneka jenang. Bahkan, ada lagi sega asahan dengan lauk sambel goreng, tahu, tempe goreng, serundeng dan jeroan ayam.
Hal yang unik di barisan prosesi yang dicatat abdidalem pengulu KRTH Handipaningrat, ketika mengarak hajadalem gunungan selalu ada perwujudan dua sosok abdidalem lelaki yang merias diri terutama badannya dengan “boreh” warna putih yang cukup mencolok yang disebut Canthangbalung. Di barisan paling depan Canthangbalung ditempatkan, menjadi pusat perhatian publik karena sekilas fungsinya memang menghibur, selain memerankan brahmana yang sedang memberi sesaji dan dengan kemampuan supranaturalnya dilukskan bisa membantu prosesi itu menjjadi ringan dan cepat selesai.
Menyampaikan Ujub
Dalam catatan dosen IAIN Ponorogo yang juga abdidalem “Kanca Kaji”, KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo MFil-I, doa yang dilakukan abdidalem pengulu untuk hajaddalem gunungan di Masjid Agung, dulu mendapat perintah dari Patihdalem ketika lembaga kepatihan masih berfungsi sampai awal NKRI. Bahkan catatan lain menyebut, sebelum kompleks pusat pemerintahan secara administratif di Kepatihan dibakar habis oleh pihak-pihak yang “tidak suka dengan kraton” bersamaan dengan peristiwa Clash II Belanda 1949, lembaga kepatihan masih aktif menyampaikan ujub doa wilujengan kepada pengulu yang mendoakan hajaddalem gunungan.
“Sampai Sinuhun PB XI surud (wafat), setiap pelaksanaan ritual Sekaten Garebeg Mulud digelar kraton, yang jumeneng Mangkunagoro selalu sowan untuk ikut dalam prosesi arak-arakan dari kraton menuju kagungandalem Masjid Agung. Saya tidak punya data apakah sesudah Sinuhun PB XII jumeneng nata, tradisi itu tetap dilanjutkan?. Tradisi seperti itu bagus, wujud dari ikatan persaudaraan sesama keluarga besar Dinasti Mataram. Dan Mataram Surakarta ‘kan penerus Mataram terakhir,” papar KRT Ahmad Farug yang dihubungi iMNews.id, kemarin.
Dari catatannya pula, hajaddalem gunungan pada masa sebelum 1945 atau sebelum kraton bergabung ke NKRI, sehabis didoakan abdidalem jurusuranata di Masjid Agung ada yang di antar ke Pura Mangkunegaran untuk dibagi-bagikan kepada kalangan kerabat di sana, ke Kepatihan dan juga kantor Pengulu atau “Pengulon” sebagai bentuk “ngalab berkah”. Data ini menarik dan menjadi pembenaran atas adanya dimensi sosial kemasyarakatan sekaligus dimensi ekonomi dari ritual Sekaten, bahwa hajadalem gunungan pernah diantar ke Balai Kota dan disediakan untuk kalangan pedagang Pasar Klewer dan untuk publik yang “ngalab berkah” dalam semangat pemerataan rezeki.
Penuh Rasa Hormat
Data informasi tentang kehadiran yang jumeneng (KGPAA atau SP) Mangkunagoro di ritual hajaddalem Garebeg Mulud terutama pada prosesi mengarak gunungan, menjadi bukti bahwa kerukunan dan rasa hormat antara sesama keluarga besar Dinasti Mataram seharusnya tidak seperti sekarang. Setidaknya, di zaman Sinuhun PB XII jumeneng, KGPAA Mangkunagoro IX meminta restu saat hendak jumeneng nata, dan hubungan antara keduanya sangat dekat, setidaknya diujudkan dengan inisiatif saling berkunjung di saat masing-masing menggelar ritual menyambut 1 Sura.
Setidaknya, Sinuhun PB XII dan KGPAA Mangkunagoro IX semasa hidupnya telah menunjukkan sebagai sosok pemimpin adat yang tetap saling menjaga hubungan baik dan penuh rasa hormat, yang bisa menjadi teladan bagi publik secara luas. Zaman memang sudah banyak berubah, hingga ikut merubah format dan penampilan serta mekanisme proses urut-urutan ritual Sekaten Garebeg Mulud, bahkan juga ritual-ritual adat religi lainnya. Termasuk, perubahan yang diakibatkan oleh hancurnya kompleks Kepatihan dan ditiadakannya lembaga Kepatihan yang kemudian diganti perannya oleh Pengageng Parentah Kraton.
Tetapi, zaman boleh terus berubah, seperti pesan Presiden Jokowi, bangsa Indonesia boleh menjadi bangsa yang modern, tetapi alangkah baiknya jika tidak meninggalkan akar budaya, adat dan tradisinya. Justru sebaliknya, di saat-saat bangsa dan para pemimpin gamang menghadapi kuatnya tekanan anasir-anasir radikalisme dan intoleransi, selayaknya negara merangkul para pemimpin adat dan masyarakat hukum adat. Cara ini bisa memperkuat ciri kebhinekaan, ciri kepribadian bangsa dan ketahanan budaya bangsa, antara lain melalui dukungan yang terus meningkat terhadap setiap upacara adat yang digelar kraton, misalnya Sekaten Garebeg Mulud. (Won Poerwono-bersambung/i1)