Bentuk Penghormatan Kepada Leluhur Bangsa Indonesia
IMNEWS.ID – JUMAT (Kliwon) malam (16/9/2022), Kota Surakarta mencatat sejarah karena menjadi ajang untuk menggelar event upacara pengumuman diterimanya sertifikat pengakuan dari Unesco yang diberikan kepada pemerintah NKRI tahun 2021. Upacaranya, dilanjutkan dengan konser Tiga Gamelan, yang salah satunya bertema “Tribute to Rahayu Supanggah”. Sertifikat itu berisi pengakuan badan dunia itu terhadap keberadaan benda budaya berupa gamelan sebagai milik asli bangsa Indonesia, yang kini menjadi warisan budaya bangsa-bangsa di dunia satu-satunya yang ada di Indonesia (iMNews.id, 17/9).
Terlepas dari adanya unsur insinuasi atau maksud lain di balik kalimat bersayap banyak sekali peninggalan sejarah peradaban Jawa dan peradaban sebelumnya yang menjadi “puncak-puncak kebudayaan” di Nusantara yang sering terdengar di masa Orde Baru (1966-1988), ada hal sebagai fakta yang perlu dan harus diakui dengan jujur, memang itulah karya-karya leluhur warisan peradaban bangsa di Nusantara ini. Dan diakuinya gamelan sebagai satu-satunya benda budaya warisan dunia yang ada di Indonesia oleh Unesco di tahun 2021 lalu, adalah fakta yang menguatkan fakta-fakta yang ada sebelumnya tentang gamelan yang dimiliki hampir semua wilayah di Nusantara.
Keberadaan benda budaya yang hampir merata di semua wilayah di Nusanatara itu memang menjadi keniscayaan, karena riwayatnya sebelum NKRI lahir di tanggal 17 Agustus 1945, ada 250-an kraton, kesultanan, kedatuan dan pemangku adat yang tersebar di pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai pulau Rote. Kraton, kesultanan, kedatuan dan pemangku adat misalnya dalam sejarah kraton-kraton di Jawa sejak Kediri (abad 12) atau bahkan jauh sebelumnya, hingga diteruskan Majapahit dan kraton-kraton berikutnya khususnya semasa Mataram, semuanya memiliki gamelan sebagai bagian dari adat tradisi kehidupan peradabannya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memilih Kota Surakarta sebagai ajang resepsi untuk mengumumkan diterimanya sertifikat pengakuan Unesco terhadap gamelan Indonesia sebagai warisan budaya dunia, memang tidak asal menentukan, tetapi pasti banyak pertimbangannya. Yang pertama, karena pejabat Wali Kota yang memimpin Surakarta saat ini adalah salah seorang anak Presiden Joko Widodo. Unsur politis, unsur strategis dan beberapa bumbu-bumbu pertimbangannya pasti sudah diperhitungkan untuk memilih Surakarta, karena cara-cara seperti itu sudah banyak dilakukan banyak pihak, terutama dari lingkungan kabinet pemerintahan Presiden RI ke-tujuh ini.
Tetapi, salah satu pertimbangan di urutan kesekian dari prioritasnya, adalah aspek kesejarahan atau sosio-historikal yang sangat sulit dikesampingkan, jika memilih kota selain Surakarta untuk dijadikan ajang resepsinya. Sebab, dalam sejarah perkembangan gamelan di Nusantara atau khususnya di Jawa, ketika pada masa Mataram Surakarta selama 200 tahun itu, gamelan yang kemudian disebut gamelan Jawa benar-benar disempurnakan hingga memenuhi syarat dari sudut pandang apa saja, sebagai produk budaya/peradaban yang bernilai filosofis sangat tinggi.
Sambutan seorang direktur jendral dari Kemendikbud yang bernama Dr Restu Gunawan pada respsi malam itu, secara tidak langsung adalah sebuah pernyataan yang mengakui gamelan karya leluhur (peradaban Mataram) Surakarta sebagai andalan yang menjadi bagian yang diusulkan Prof Dr Rahayu Supanggah kepada Unesco, beberapa tahun sebelum mantan rektor ISI Surakarta itu meninggal. Pakar etnomusikologi sekaligus musisi etnik berkelas dunia dari Surakarta itu pula, yang telah mempromosikan gamelan (gaya Surakarta) di antara berbagai gamelan etnik di Indonesia kepada masyarakat dunia, hingga almarhum menjadi dosen di berbagai universitas di sejumlah negara di dunia yang memiliki jurusan seni musik gamelan.
“Saya ingin menyampaikan penghargaan kepada siapa saja yang berjasa memperjuangkan gamelan mendapat pengakuan Unesco. Pada satu sisi gamelan sebagai instrumen musik dunia, saya sangat mengapresiasi dan mendukung gamelan beserta karawitan menjadi salah satu musik berkelas dunia. Karena itu, tidak aneh apabila banyak sekali universitas di sejumlah negara di dunia, yang meneliti sekaligus membuka program studi jurusan musik gamelan/karawitan. Gamelan gaya Surakarta dan dari beberapa etnik di Tanah Air, banyak dimiliki kalangan kampus di berbagai negara di Eropa, Australia dan Amerika yang punya program studi musik gamelan,” tandas GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat sekaligus Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin, ketika dimintai komentarnya soal pengakuan Unesco.
Dalam sejarah perjalanan gamelan di Nusantara, ada beberapa aspek yang bisa dijelaskan dari wujud fisik gamelan. Ketika menyebut aspek instrumen musik, maka gamelan dimaksud diasumsikan memiliki sejumlah unsur penting yang menjadi bagian sesuai fungsinya misalnya, melodi yang bisa diwakili demung, saron, gender, rebab, gambang dan suling. Kendang dengan berbagai jenisnya, bisa berfungsi sebagai perkusi. Sedangkan kenong, bonang, kethuk-kempyang adalah ritemnya, dan gong, slenthem, kempul dan sejenisnya bisa berfungsi sebagai bas, meskipun dalam sebuah orkestra musik gamelan, sejak awal diciptakan memang tidak untuk meniru fungsi isntrumen musik modern seperti dalam grup musik band atau big band.
Merujuk pada fakta keberadaan lembaga pendidikan menengah khusus seni masam Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) dan lembaga perguruan tinggi khusus seni macam Institut Seni Indonesia (ISI) sejak tahun 1960-an, maka lahirlah pengkatagorian antara gamelan sebagai instrumen musik yang bisa dirumuskan dan disusun sebagai pengetahuan dan dijadikan sistem pembelajaran serta fungsinya yang lengkap dan instrumen musik yang hanya memenuhi fungsi terbatas. Maka tidak aneh, sejak tahun itu baru muncul SMKI Surakarta, SMKI Jogja, SMKI Denpasar, Bandung dan SMKI Padangpanjang (Sumbar), begitu juga perguruan tingginya yang semula Akademi Seni Karawitan (ASKI), kemudian menjadi STSI dan terakhir ISI di beberapa kota itu.
Prof Dr I Made Bandem dari ISI Bali (rektor) adalah sahabat Prof Dr Rahayu Supanggah (Rektor ISI) yang konon sama-sama berjuang dengan sejumlah musisi etnik kelas dunia asal Indonesia untuk memperjuangkan pengakuan Unesco itu. Oleh sebab itu, dalam resepsi yang digelar di halaman Balai Kota Surakarta, Jumat malam (16/9), Konser Tiga Gamelan disuguhkan untuk merepresentasikan tokoh-tokoh seniman, sekaligus tiga jenis gamelan yang dimainkan secara orkestra malam itu, yaitu gamelan Jawa gaya Surakarta yang digunakan di luar kraton (Surakarta), gamelan Bali dan gamelan yang secara khusus digunakan untuk upacara adat di Kraton Mataram Surakarta, yaitu gamelan Sekaten.
Gamelan Jawa yang bisa merujuk ke gaya Surakarta dan beberapa kota lain ketika menunjuk fungsinya untuk dimainkan dalam sebuah konsep musik orkestra, memang hanya bisa merepresentasikan Mataram Surakarta sebagai sumber budaya Jawa yang memiliki segala kelengkapan daya dukungnya. Karya-karya musik terutama yang memiliki tema dan judul tembang (lagu), sangat banyak dihasilkan aransemen dari para penciptanya (komposer/aranger) yang berasal dari kerja eksplorasi gamelan Slendro dan Pelog saat musik gamelan yang disebut karawitan itu menjadi konsumsi publik, karena ada musik gamelan serta konsernya yang hanya dimiliki dan dilakukan untuk upacara adat di kraton, misalnya Gamelan Sekaten, dengan (judul) gending “Rambu” dan “Rangkung”.
Meski sedang berjalan menuju ke sistem global dan hendak menempati tatanan era musik universal, tetapi gamelan tetap akan bertahan pada konstruksi bentuk dan fungsi idealnya yang konvensional. Sebab, gamelan tidak bisa diproduksi secara masal dalam satu ukuran seperti halnya barang-barang yang diproduksi oleh pabrik. Melainkan harus diproduksi secara manual, bagian demi bagian, dengan ukuran yang sisi subjektivitasnya sangat tinggi dan dilakukan kelompok seniman pengrajin atau “empu” di bengkel kerja tertentu yang disebut “besalen”. (Won Poerwono-bersambung/i1)