Demi Amanat Konstitusi, Surakarta Harus Dipisahkan dari Provinsi Jateng
IMNEWS.ID – MUNGKIN sudah beberapa tahun khususnya selama pandemi Corona berlangsung sejak 2020 hingga kini, Kraton Mataram Surakarta dalam hal ini Lembaga Dewan Adat (LDA), secara khusus tidak mengadakan peringatan lahirnya “Maklumat Sinuhun Paku Buwana XII” (Makloemat Sri Padoeka Ingkang Sinoehoen Kandjeng Soesoehoenan Pakoe Boewana XII) yang diterbitkan tanggal 1 September 1945. Meski begitu, GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua LDA dalam berbagai kesempatan bertemu dengan berbagai elemen masyarakat adat Mataram Surakarta, tidak lupa mengingatkan perjalanan “pernyataan sikap” Sinuhun PB XII itu yang kini sudah berusia 77 tahun pada 1 September 2022, namun belum ada tanda-tanda dari negara (NKRI) mengembalikan inti isi “maklumat” yaitu dikembalikannya status Daerah Istimewa untuk Surakarta seperti diamanatkan pasal 18 B UUD 1945.
“Walau tidak ada peringatan secara khusus, tetapi dalam berbagai kesempatan di luar dan di dalam masyarakat adat Kraton Surakarta, saya selalu mengingatkan sabdadalem Sinuhun PB XII itu. Karena, maklumat itu merupakan jawaban atas janji yang disampaikan Presiden Soekarno yang tertuang dalam Piagam Kedudukan tanggal 19 Agustus. Dan, janji itu juga tertuang dalam pasal 18 UUD 1945. Maka, sampai kapanpun kami akan menagih janji itu, selama negara (NKRI) belum memenuhi atau melaksanakan amanat konstitusi itu. Karena kami merupakan ahli waris yang mendapatkan amanah untuk menagih janji tersebut, yang disampaikan bapak Sinuhun, beberapa saat sebelum wafat,” tandas Ketua LDA yang akrab disapa Gusti Moeng, saat dihubungi iMNews.id, 31 Agustus lalu.
Memang benar, Gusti Moeng yang dalam urutan dari 35 putra/putri yang terlahir dari enam istri Sinuhun PB XII adalah anak ke 25 dan terlahir perempuan. Tetapi, mungkin hanya satu perempuan di antara belasan laki-laki anak Sinuhun PB XII itu, yang punya kepedulian dan keberanian luar biasa untuk menagih janji kepada negara (NKRI), atas apa yang sudah dijanjikan Presiden RI pertama, Ir Soekarno, melalui Piagam Kedudukan (Piagam Kedoedoekan) tanggal 19 Agustus 1945. Bahkan janji itu diamanatkan melalui bunyi pasal 18 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa NKRI terdiri dari 8 provinsi daerah besar dan dua daerah istimewa (kecil) setingkat provinsi yaitu Surakarta dan Yogyakarta seperti disebut dalam buku berjudul “Propinsi Daerah Istimewa Surakarta” yang ditulis Julianto Ibrahim SS MHum, dosen Ilmu Sejarah FIB UGM, 1 April 2011.
Rasa Keadilan
Hari ini, adalah tanggal 5 September tetapi lebih tepat untuk dijadikan saat yang baik untuk mengenang perjalanan “Maklumat Sinuhun PB XII” yang diterbitkan tanggal 1 September 1945 untuk menjawab janji yang diberikan dituangkan Presoden Soekarno ke dalam “Piagam Kedudukan” tanggal 19 Agustus. Sedangkan tanggal 5 September 1945 yang disebut sebagai “Maklumat Sultan HB IX”, justru sudah dilunasi negara dengan pembentukan UU No 13 tahun 2012 tentang keistimewaan DIY yang sudah berlaku hingga kini. Bagi Surakarta yang sudah lebih dulu menyatakan bergabung ke dalam NKRI pada tanggal 1 September, tentu iri melihat relitas itu. Tetapi “iri” tidak disertai “dengki”, dan itu boleh dan wajar, karena faktanya memang tidak mendapatkan rasa keadilan dari negara, karena ada unsur “diskriminasi”.
Karena mendapat perlakuan yang tidak adil dan diskriminatif, di antara sekian banyak warga Surakarta yang sensitif dan dulu, justru tokoh perempuan Gusti Moeng beserta seluruh elemen pendukung Kraton Mataram Surakarta yang terwadahi dalam Lembaga Dewan Adat (LDA). Dialah di antara 35 putra/putri Sinuhun PB XII yang berani menggugat negara melalui judicial review (uji materi) UU No 10 Tahun 1950 tentang pembentukan Provinsi Jawa tengah (Jateng) ke Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, pada tahun 2012. Namun sayang, MK mematahkan perjuangan Gusti Moeng melalui proses hukum itu, karena dianggap tidak memiliki legal standing untuk menggugat itu.
Melihat perjuangan gigih seorang perempuan bernama Gusti Moeng yang begitu mudah dipatahkan dengan dalil legal standing itu, lalu kemana saja 34 putri/putri yang lain? Bagaimana sikap sebagian besar putra/putri Sinuhun PB XII itu ketika perjuangan ayahandanya yang menjadi representasi wilayah Surakarta itu hingga sampai di MK gagal? Bagaimana perasan sebagian besar putra/putri Sinuhun PB XII ketika Surakarta yang notabene Kraton Surakarta berada di dalamnya, diperlakukan tidak adil atau tidak mendapatkan rasa keadilan oleh negara?
Sadar, Peduli, Berani
Sampai kini, mungkin hanya perempuan yang satu itu, yaitu Gusti Moeng itu yang benar-benar memiliki keasadaran tinggi terhadap posisi dengan segala atribut kebangsawanannya, sadar tugas, kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai anak Sinuhun PB XII, sebagai representasi Kraton Surakarta dan wilayah Surakarta dan paham hampir segala yang menyangkut hak Surakarta dalam ketatanegaran NKRI. Dialah perempuan satu-satunya dari Kraton Mataram Surakarta yang paham, sadar dan peduli serta berani mendorong siapapun yang menjalankan negara (NKRI) ini untuk berjalan sesuai amanat konstitusi atau secara konstitusional, khususnya menyangkut amanat pasal 18 UUD 1945.
Selama ini, memang bukan hanya Gusti Moeng yang berjuang untuk kembalinya status Provinsi Daerah Istimewa Surakarta. Sebut saja Sinuhun PB XII sendiri yang sampai akhir hayat, selalu menagih janji itu kepada rezim pemerintahan Orde Baru khususnya. Perjuangan dalam bentuk lain yang bersifat empati dan simpati melalui unsur-unsur edukasi, sepertinya sudah banyak, di antaranya melalui penulisan hasil penelitian seperti yang dilakukan Dr Sri Juari Santosa tahun 2002 yang berjudul “Suara Nurani Kraton Surakarta”, Julianto Ibrahim SS MHum dengan judul “Propinsi Daerah Istimewa Surakarta” 2011 dan sejumlah penelitian Ketua Lokantara Pusat (Jogja) Dr Purwadi dan anggota Badan Persiapan Upaya Pengembalian Keistimewaan Surakarta (BPUPKS) yang salah satunya berjudul serupa.
Dari sejumlah bentuk perjuangan yang salah satunya seperti yang diamanatkan Sinuhun PB XII itu, mungkin hanya Gusti Moeng yang sadar, peduli dan berani melakukan dengan tindakan nyata, melakukan sosialisasi melalui elemen Pakasa yang tersebar di berbagai wilayah Jateng. Ditambah dukungan peran GKR Ayu Koes Indriyah, atau Gusti Ayu, adik kandung Gusti Moeng yang ikut berjuang di daerah pemilihannya saat duduk di kursi DPD RI dua periode, 2009-2014 dan 2014-2019. Sementara 33 putra/putri lainnya, dikurangi yang sudah meninggal sebelum 2004, nyaris tak terdengar kesadarannya, kepeduliannya dan keberaniannya untuk memperjuangkan hak Surakarta yang notabene hak Kraton Surakarta beserta Pura Mangkunegaran itu.
Tiga Rekomendasi
“Pernyataan sikap” atau “Maklumat Sinuhun PB XII” tanggal 1 September itu, sesungguhnya berisikan narasi pernyataan Sinuhun PB XII pada tanggal 1 September 1945 bahwa “negeri” Surakarta hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari NKRI dan berdiri di belakang pemerintah pusat NKRI. Kepada seluruh penduduk “Negeri” Surakarta Hadiningrat ditegaskan, bahwa “(1) Kami Pakoe Boewono XII, Soesoehoenan Negeri Surakarta Hadiningrat, menyatakan Negeri Soerakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan, adalah daerah istimewa dari Negara Repoeblik Indonesia dan berdiri di belakang Pemerintah Poesat Negara Repoeblik Indonesia”.
“(2) Kami menjatakan bahwa pada dasarnya segala kekoeasaan dalam daerah negeri Soerakarta Hadiningrat terletak di tangan Soesoehoenan Soerakarta dan oleh karena itoe, berhoeboeng dengan keadaan pada dewasa ini, maka kekoeasaan-kekoeasaan jang sampai kini tidak di tangan kami, dengan sendirinja kembali ke tangan kami. (3) Kami menjatakan bahwa perhoeboengan antara negeri Soerakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Poesat Negara Repoeblik Indonesia bersifat langsoeng. (4) Kami memerintahkan dan pertjaja kepada seloeroeh Pendoedoek Negeri Soerakarta Hadiningrat, mereka akan bersikap sesoeai dengan sabda Kami terseboet di atas”.
Di dalam buku yang ditulis Jualianto Ibrahim SS MHum itu, selain “Maklumat Sinuhun PB XII” juga ditulis banyak hal yang menyangkut keberadaan Provinsi daerah Istimewa Surakarta. Hingga dosen di FIB yang belum lama meraih gelar doktornya itu, menutup penulisannya dengan rekomendasi, yang tentu ditujukan kepada negara (NKRI), kapanpun. Tiga rekomendasi itu adalah, (1) Demi amanat konstitusi, Surakarta harus dipisahkan dari Provinsi Jawa Tengah. (2) Demi amanat konstitusi, bentuk susunan pemerintah Daerah Istimewa Surakarta ditetapkan dengan Undang Undang dan (3) Demi amanat konstitusi, Keistimewaan Surakarta harus dibuatkan Undang Undang. (Won Poerwono/i1).