Janji “Hanetebi Apa Kang Dadi Gawa-Gawene” Ditagih
IMNEWS.ID – ADA beberapa hal menonjol yang secara tidak langsung terselip dalam pidato sambutan tunggal yang disampaikan GKR Wandansari Koes Moertiyah, yang disampaikan dalam pelaksanaan upacara adat “Jenang Suran” atau “Pengetan Adeging Nagari Mataram Surakarta” yang ke-286 pada tanggal 17 Sura Tahun Ehe 1956, yang kebetulan jatuh pada Senin 15 Agustus 2022. Dalam sambutan sekitar 10 menit itu, Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) yang akrab disapa Gusti Moeng itu mengingatkan tentang janji “Apa kang dadi gawa-gawene”, yang selalu terdengar setiap dasar-dasar aturan/hukum dibacakan, sebelum wisuda dilakukan kepada para penerima kekancingan yang berisi paringdalem gelar sesebutan.
Dalam pidato itu juga ditegaskan tentang hari jadi atau hari lahir nama Surakarta Hadiningrat ketika dideklarasikan SISKS atau Sinuhun PB II pada hari Rabu Pahing, tanggal 17 Sura, Tahun Je 1670 dalam kalender Jawa, atau Rabu Pahing, tanggal 20 Februari tahun 1745 dalam kalender Masehi. Hal berikut yang disampaikan adalah situasi dan kondisi “Ibu Kota” yang sejak 1945 menjadi satu kawasan situs (Cagar Budaya) Kraton Mataram Surakarta, mulai dari Gapura Gladag hingga Gapura Gading, yang secara visual terkesan tidak terurus oleh negara (NKRI), tempat Sinuhun PB XII menyerahkan kedaulatan politiknya pada 17 Agustus 1945.
Hal berikut yang cukup menonjol disinggung Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua LDA, adalah mengenai kelembagaan LDA yang dia pimpin sekarang ini, yang kembali ditegaskan sebagai produk hukum karena Kraton Mataram Surakarta harus menyesuaikan diri posisi dan kedudukannya dalam sistem hukum nasional yang berlaku. Penegasan tentang kelembagaan yang merupakan kenicayaan untuk dialami demi keberlangsungan kraton, jelas berkait dengan komitmen kraton yang menjadi kraton pertama yang menyatakan menggabungkan diri ke dalam NKRI pada 17 Agustus 1945.
Pamer “Gagah-gagahan”
“Penjenengan sadaya kedah enget wekdal dipun wisuda, rikala nampi kekancingan paringdalem gelar sesebutan. Panjenengan sadaya sampun ngendaka ‘sagah’ utawi sendika netebi janji, menapa ingkang dados gawa-gawene. Memenuhi janji tentang apa yang sudah disepakati, yaitu konsekuensi dari gelar yang sudah diterima. Contonipun, kedah sowan menawi wonten pisowanan upacara adat, kados pengetan adging nagari Mataram Surakarta dinten menika”.
“Setunggal tahun wonten saperangan dinten penting, kraton nggelar upacara adat. Panjenengan saget milih, pundi ingkang saget sowan. Salebetipun setahun, namung sepindhah. Nanging, menawi badhe sowan saben wonten upacara adat, menika sae sanget. Sampun ngantos, bubar diwisuda langsung ngilang,” tandas Gusti Moeng bernada kelakar, yang disambut senyum-simpul sekitar seribu orang yang hadir di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, Senin siang kemarin.
Hal yang disinggung Gusti Moeng itu, tentu berkaitan dengan unsur komitmen semua yang sudah menyatakan diri menjadi bagian dari masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, melalui peristiwa wisuda paringdalem gelar sesebutan dalam berbagai tingkatan. Karena, ketika sudah menyatakan diri bergabung dengan menyandang gelar sesebutan, bukan berarti selesai sampai di situ, atau untuk pamer “gagah-gagahan” atau agar “keren”, melainkan ada tugas, kewajiban dan tunggungjawab yang melekat sesuai komitmen untuk tetap konsisten memenuhi dan menjalankan “Hanetebi apa kang dadi gawa-gawene” atau segala konsekuensinya.
Sedang Sibuk-sibuknya
Memenuhi dan menjalankan “Apa kang dadi gawa-gawene”, berarti memenuhi dan menjalankan segala konsekuensi berupa senantiasa dan selalu menjadi bagian atau justru motor penggerak dalam upaya pelestarian budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta. Ada banyak cara dan jalan bisa dilakukan untuk memenuhi dan menjalankannya, tetapi salah satu yang bisa disebut “wajib” dilakukan adalah hadir dalam salah satu atau semua pisowanan dari agenda upacara adat yang berjalan rutin di Kraton Mataram Surakarta yang selama ini dilaksanakan LDA.
Apa yang menjadi “Gawa-gawene” ini sempat disinggung Gusti Moeng, mungkin saja ketika melihat suasana pisowanan upacara adat “Jenang Suran” yang digelar di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, Senin siang itu, yang terlihat masih ada sejumlah tikar panjang digelar tetapi banyak yang masih kosong. Sebagai perbandingan, pisowanan untuk ritual yang sama atau upacara adat lainnya semisal haul atau khol tokoh raja-raja Mataram, sedikitnya hadir 2 ribu orang, bahkan pernah sampai 5 ribu orang nyaris memenuhi Pendapa Pagelaran atau serambi kagungandalem Masjid Agung.
Sentilan itu seakan menanyakan atau menagih janji kesetiaan untuk menjalankan “Apa kang dadi gawa-gawene”, tetapi sekaligus mengingatkan apa yang sudah menjadi komitmen untuk dijalankan secara konsisten. Di sisi lain, Gusti Moeng selaku seorang pemimpin masyarakat adat (Ketua LDA), secara tidak langsung hendak membangun kedisiplinan di kalangan warganya secara pelan-pelan sebagai bentuk edukasi yang bertujuan positif bagi kehidupan sosial yang lebih luas. Pihaknya juga sangat memaklumi, mendekati tanggal 17 Agustus menjadi hari-hari yang sangat sibuk bagi masyarakat bangsa di manapun berada di wilayah NKRI ini, karena sedang mempersiapkan kampung dan lingkungannya menyambut Hari Kemerdekaan RI yang ke-77.
Selamat Hari Jadi
“Saya sudah minta izin Gusti Wandan (GKR Wandansari Koes Moertiyah) selaku Ketua LDA dan Pangarsa Punjer Pakasa (KPH Edy Wirabhumi), tidak bisa datang karena harus kembali ke tempat tugas (di Jakarta). Tetapi saya sudah rombongan pengurus dan warga Pakasa Cabang Jepara, untuk sowan mengikuti upacara adat Jenang Suran. Termasuk di dalamnya istri saya (KMAy Susanti Purwaningrum). Bulan Sura yang bersamaan di bulan Agustus ini memang luar biasa. Pakasa Jepara juga habis ikut berpartisipasi di Hari Jadi Ponorogo. Kami dan rombongan juga hadir di sana, ikut kirab,” papar KRA Bambang Setiawan Adiningrat, Ketua Pakasa Cabang (Kabupaten) Jepara, saat dihubungi iMNews.id, sehari menjelang upacara adat “Jenang Suran”.
Rupanya, bulan Sura yang datang hampir bersamaan dengan bulan Agustus memang menjadi saat-saat yang menyibukkan sekaligus melelahkan bagi kalangan warga Pakasa cabang di beberapa daerah, sehingga membuat kurang punya kesempatan untuk bisa hadir di semua acara yang jaraknya saling berjauhan, dan berlangsung di hari-hari yang sangat dekat. Contohnya rombongan Pakasa Cabang Jepara, yang mengirim delegasi 50 orang prajurit yang dipimpin ketuanya sendiri, ikut mendukung kirab Hari Jadi Ponorogo, 11 Agustus.
“Saya salut terhadap Pakasa-Pakasa cabang yang ikut berpartisipasi dalam menyemarakkan Hari Jadi Ponorogo ke-526. Sebelum lewat jauh, saya mengucapkan selamat ulang tahun ke-526 Kabupaten Ponorogo. Saya juga sangat salut, Pakasa-Pakasa cabang masih menyempatkan hadir di Pagelaran, Senin siang kemarin. Secara khusus, saya juga ingin mengucapkan kepada Gusti Moeng dan Kraton Mataram Surakarta, selamat untuk Hari Jadi Mataram Surakarta ke-286. Semoga, Kraton Mataram Surakarta tetap eksis sampai akhir zaman dan makin bermanfaat bagi kehidupan secara luas,” harap KRAT Hendri Rosyad Reksodiningrat, pemerhati budaya Jawa dan kraton yang ikut hadir di acara ritual di Pagelaran, menjawab pertanyaan iMNews.id, Senin siang itu. (Won Poerwono-bersambung/i1)