Sinuhun PB X Saat Jumeneng, Diadakan Kirab dengan Cucuk Lampah Kiai Slamet
IMNEWS.ID – PERISTIWA upacara adat saat jumenengan nata Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwana (PB) X (1893-1939), memberikan banyak sinyal dan makna terhadap bentuk-bentuk perubahan ke arah maju yang dilakukan Raja yang dikenal dengan Sinuhun ingkang Wicaksana ini. Salah satunya, kirab untuk “menghargya jumenengan”nya, walau hanya dilakukan di dalam lingkup Baluwarti tetapi disertai kawanan kagungandalem mahesa bule keturunan Kiai Slamet sebagai “cucuk-lampahnya”.
“Sebagai bentuk rasa terimakasih Sinuhun (PB X) kepada Bupati Ponorogo (di zaman PB II), dikeluarkan dawuh untuk menyertakan pusakadalem mahesa Kiai Slamet, merupakan bentuk penegasan. Bahwa kerbau atau mahesa, adalah simbol keselamatan. Maka tidak aneh kalau kagungandalem mahesa itu diberi nama Kiai Slamet. Bagi kraton kerbau atau mahesa dikeramatkan, karena dianggap memiliki daya magis. Sampai sekarang, masih banyak di antara masyarakat Jawa sekarang ini yang punya keyakinan seperti itu. Dan kirab pusaka menyambut Tahun Baru Jawa di malam 1 Sura, juga tetap menyertakan simbol-simbol kawilujengan itu,” jelas KP Budayaningrat, seorang dwija dari Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta, menjawab pertanyaan iMNews.id, tadi pagi.
Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Jateng yang menjadi narasumber program siaran budaya Jawa di RRI Surakarta ini meyakini, atas dasar pertimbangan kapasitas di atas Bupati Ponorogo RT Surabrata mempersembahkan sepasang mahesa miliknya kepada Sinuhun PB II. Karena “pisungsung” (persembahan-Red) berkenaan dengan rencana boyong kedhaton pindahan dari Ibu Kota Mataram di Kartasura yang telah rusak, ke Ibu Kota baru di Surakarta yang membutuhkan doa restu dan berbagai bentuk dukungan di antaranya permohonan “kawilujengan” (keselamatan/slamet-Red) terhadap Sinuhun PB II beserta seluruh keluarga besarnya, maka tidak aneh kalau “sang besan” yang juga guru spiritualnya, Kyai Khasan Besari, juga memberi doa restu.
Bergaul 8 Tahun
Dari penjelasan sejarah asal-usul keberadaan mahesa dan nama “Kiai Slamet” yang dibeberkan KP Budayaningrat itu, menjadi sangat jelas mengapa kagungandalem mahesa yang kini jumlahnya 18 ekor di kraton dan 13 ekor di Boyolali, tetap dikeramatkan, tetap dianggap sebagai pusaka dalem dan tetap “berhak” menyandang sebutan Kiai Slamet walau tinggal generasi keturunan yang ke-sekian sejak dipersembahkan Bupati Ponorogo (1737-1745). Dalam kajian sejarah yang dilakukan Ketua Lokantara Pusat (Jogja), Dr Purwadi, Sinuhun PB II (1727-1749) sampai “besanan” dengan pemimpin Pondok Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo, tentu ada alasan kuat dan akibat positif yang ditimbulkan.
Salah satu alasannya, karena sejak tahun 1737 atau bahkan sebelumnya, Sinuhun PB II sudah mulai memindahkan pusat pemerintahan “nagari” Mataram Kartasura ke Kabupaten Ponorogo (kini masuk Provinsi Jatim) yang jaraknya sekitar 100 KM di timur Kota Surakarta. Pemindahan pusat pemerintahan diakibatkan oleh rongrongan beberapa kekuatan dari dalam (Mas Garendi atau Sunan Kuning) dan dari luar (laskar China, Belanda, Trunajaya dan Makasar), yang puncaknya berupa perusakan dan pembakaran infrastruktur pusat pemerintahan “nagari”.
Sebab itulah, pemindahan Ibu Kota Mataram dari Kartasura ke Ponorogo yang bersifat sementara itu, secara tidak langsung juga menjadi ancang-ancang Sinuhun PB II untuk mencari tempat lain yang dinilai sangat memenuhi syarat. Akhirnya dipilih Desa Sala yang sebagian berupa rawa-rawa, yang dianggap terbaik di antara desa Sana Sewu (sekitar Wirun, Mojolaban) dan Tala Wangi (kini masuk Kelurahan Panularan-Red) yang telah disurve “pepatihdalem”. Selama sekitar 8 tahun hingga menjelang 1745, Sinuhun PB II bergaul dengan masyarakat Kabupaten Ponorogo, yang tentu sangat dekat dengan Bupati Surabrata dan guru spiritualnya, Kyai Khasan Besari.
Simbol Kawilujengan
“Dengan melihat latar belakang sejarah seperti itu, ya jelas tidak mustahil kalau Sinuhun PB II selaku pemimpin dibekali sepasang mahesa Kiai Slamet. Tidak aneh kalau direstui ulama besar Kyai Khasan Besari. Tidak aneh kalau masyarakat Ponorogo punya ikatan batin yang kuat dengan Kraton Mataram Surakarta hingga kini. Menjadi tidak aneh kalau kraton tetap merawat dan melestarikan kagunagandalem mahesa keturunan Kiai Slamet. Juga menjadi tidak aneh kalau kirab pusaka tetap dilestarikan kraton dengan cucuk lampah mahesa Kiai Slamet. Yang menjadi tidak perlu dianggap aneh, nama Kiai Slamet itu. Ternyata merupakan bentuk doa permohonan kepada Allah SWT. Masya Allah, luar biasa itu,” tandas pemerhati budaya Jawa dan kraton, KRAT Hendri Rosyad Reksodiningrat, ketika diminta tanggapannya soal fakta-fakta sejarah itu, tadi pagi di tempat terpisah.
KP Budayaningrat juga menunjukkan, raja-raja Mataram khususnya Surakarta atau masyarakat Jawa terutama masyarakat agraris yang menempatkan satwa kerbau atau mahesa sebagai simbol keselamatan, itu karena meneladani para leluhurnya yang sudah lebih dulu menempatkan satwa itu sebagai bagian penting dalam kehidupan dan peradabannya. Karena, sejak zaman Kraton Kediri (abad 12) dan Majapahit (abad 14), sudah ada nama Mahesa Wongateleng, Kebo Ijo, Kebo Kanigara, Kebo Kenanga, Mahesa Sura, Mahesa Jenar, Mahesa Cempaka, Lembu Amijaya, Lembu Amiluhur dan sebagainya, adalah sederetan tokoh sejarah yang menggunakan nama-nama mahesa atau kerbau dan lembu atau sapi, karena diyakini penggunaan nama-nama itu menjadi sebuah doa tolak-bala.
“Juru penerang budaya” itu dengan tegas menyatakan, bahwa tidak aneh kalau Kraton Mataram Surakarta hingga saat ini tetap menempatkan kagungandalem mahesa sebagai satwa piaraan kelangenan yang disakralkan atau dikeramatkan. Penggunaan nama-nama itu sebagai nama tokoh-tokoh terkenal dalam sejarah kraton-kraton di Jawa, karena ada “permohonan” dari si pemberi nama agar yang diberi dan memiliki nama “Kebo” atau “Mahesa” atau “Lembu” selalu diberi atau mendapatkan keselamatan oleh dan dari Allah SWT. Dalam terminologi seperti itu, masyarakat di beberapa wilayah di luar Jawa khususnya di Sumatera, juga banyak memelihara kerbau.
Ingin Membunuh Karakter
“Berbicara soal soal mahesa Kiai Slamet, tentu berbicara soal Ponorogo. Bukan saja Ponorogo dan Pakasa-nya yang istimewa, melainkan tentu akan bicara juga soal samir yang hingga sekarang menjadi salah satu cirikhas Kraton Mataram Surakarta, di antaranya yang bekombinasi warna kuning-merah. Karena kombinasi warna itu, persis sama ketika kita menyaksikan penampilan kostum dan simbol-simbol atribut serta aksesoris seni Reog asli Ponorogo, karena kombinasi warna samir itu memang berasal dari masa lalu Bumi Reog ketika menjadi wilayah Kraton Majapahit, sebelum menjadi wilayah Kraton Mataram Islam yang didirikan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma.
“Salah satu kaitan erat Ponorogo dan Mataram Surakarta, ya samir kuning-merah itu. Itu samir simbol kasepuhan, yang kini banyak digunakan kraton, persis sama yang dengan aksesoris dan atribut dadak merak Reog Ponorogo, yang dikenakan Bujang-Ganong. Simbol kombinasi warna itu bisa disebut dengan kata kiasan Podang Hanusup Sari. Tetapi di lingkungan kraton, masih ada kombinasi warna samir lain, yaitu biru-kuning, yang biasa dikenakan sentana dan abdidalem Kepatihan. Sedang kuning-hijau, dikenakan para sentana dan abdidalem Kadipaten (kini jadi cirikhas Pura Mangkunegaran-Red),” jelas KP Budayaningrat.
Mencermati penjelasan di atas, pada satu sisi tentang nama satwa kerbau ternyata digunakan sebagai nama tokoh-tokoh sejarah penting dan menonjol dalam perjalanan sejarah kraton-kraton di Jawa, menjadi terdengar ironis ketika pada beberapa waktu lalu terdengar kalimat perundungan “Bodho Longa-longo Kaya Kebo”. Kalimat yang bernada melecehkan ini justru banyak keluar dari lingkungan masyarakat Jawa sendiri. Tetapi itu juga tidak aneh, karena siapapun yang pernah merundung dengan “kalimat leceh” itu, adalah bagian dari pihak-pihak atau kalangan “inferior” yang ingin “membalas” dengan membunuh karakter budaya Jawa dan warga peradaban yang ingin melestarikannya. (Won Poerwono-bersambung/i1)