Delapan Ekor Kagungandalem Mahesa Keturunan Kiai Slamet Tertular PMK, Nyai Apon Meninggal (2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:July 24, 2022
  • Post category:Regional
  • Reading time:8 mins read

Hampir Bertepatan dengan Agenda Ziarah ke Makam Bupati Ponorogo

IMNEWS.ID – MENINGGALNYA seekor dari 8 kerbau bule atau mahesa kelangenandalem keturunan Kiai Slamet yang menjadi pusakadalem Kraton Mataram Surakarta yang terkena PMK (iMNews.id, 22/7), secara manusiawi atau dalam tata kehidupan mikro kosmos memang menjadi hal yang wajar dan biasa saja. Sebab, beberapa waktu sebelumnya sudah didahului berita besar dengan meluasnya wabah penyakit kuku dan mulut (PMK), yang banyak mematikan ternak sapi dan kambing, hingga lepas bulan Besar (kalender Jawa) atau Hari Raya Idhul Adha masih berlanjut hingga kini, dan ternak kerbau yang terhitung lebih kebalpun banyak yang terkena, bahkan mati.

Dalam konstruksi penalaran, urutan bulan dalam kalender Jawa termasuk di tahun Alip 1955 sekarang ini, setelah bulan Besar akan memasuki bulan Sura. Dan Karena Raja Mataram Islam Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma telah mengakulturasikan antara kalender Hijriyah dengan Jawa hingga nyaris tak berselisih, maka selepas bulan Besar atau Zulhijjah akan memasuki bulan Sura atau Muharam, yang tepat bergantinya tahun atau datangnya Tahun Baru ketika tepat pada tanggal 1 Sura (Jawa) atau 1 Muharam (Hijriyah), pada tanggal 29 atau 30 Juli nanti (2022).

Bagian dari konstruksi penalaran itu, munculnya penyakit PMK beberapa saat menjelang bulan Besar memang wajar-wajar saja, karena wabah ini sudah lama dikenal di Tanah Air dan muncul serta meluas kapan saja, tak mengenal waktu, momentum tertentu, misalnya hari besar. Meski di sisi lain ada kerugian besar dialami kalangan peternak dan pedagang ternak qurban, tetapi menjadi wajar pula ketika di antara satwa ternak keturunan Kiai Slamet yang menjadi “pusakadalem” di Kraton Mataram Surakarta juga tertular PMK, bahkan sampai ada yang meninggal, hanya berjarak sekitar seminggu menjelang berlangsungnya upacara adat menyambut 1 Sura Tahun Baru Jawa Ehe 1956, atau 1 Muharam 1444 Hijriyah.

Banyak Dianggap Takhayul

KASIH SAYANG : Dengan kasih sayang, seorang abdodalem srati membujuk seekor mahesa keturunan Kiai Slamet yang bernama Sela (lahir Selasa-Red) yang terbebas dari wabah PMK, saat dilakukan suntikan vaksinasi di kandang kompleks Sitinggil Kidul, Sabtu pagi  (23/7).  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tetapi, bagi masyarakat adat penerus dan pelestari Dinasti Mataram punya cara pandang lain, yaitu secara kebatinan sebagai kearifan yang bersumber dari budaya Jawa, selain konstruksi penalaran yang sama dengan publik secara luas. Hanya saja, banyak yang kesulitan untuk menjelaskannya, dan banyak yang sulit dijelaskan dengan terminologi yang memenuhi atau bisa diterima akal sehat generasi masa kini. Pada titik inilah, ada sementara pihak yang dengan mudah menyebut sebagai klenik, syirik atau musyrik atau takhayul, bahkan sampai terakumulasi ke dalam politik identitas yang melahirkan sikap intoleransi, terhadap segala bentuk yang berbau upacara adat (Jawa).

Karena realitas seperti itulah, maka ketika ada peristiwa tertularnya 8 ekor mahesa keturunan Kiai Slamet hingga seekor di antaranya yang diberi nama Nyai Apon meninggal, masyarakat adat khususnya dan masyarakat yang masih merawat tradisi budaya Jawa, lalu menghubungkan dengan akan datangnya bulan Sura, yang diyakini sebagai bulan sakral dan suci. Bagi masyarakat lain yang tidak pernah mendapatkan penjelasan sesuai konstruksi penalaran yang benar, sikap pandang seperti ini dianggap kurang tepat, terlebih ketika ada penjelasan bahwa dengan sakitnya 7 ekor mahesa, kirab pusaka kurang berbobot/bermakna tanpa kehadiran “mereka” dan sebagainya, apalagi ketika mendengar berita warga Pakasa Cabang Ponorogo langsung mengadakan ziarah di makam Bupati Ponorogo, RT Surabrata yang ada di Desa Setono, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo (Jatim), Kamis 21/7.

“Ziarah atau nyekar di makam eyang RT Surabrata yang ada dalam satu kompleks dengan eyang Bathara Katong, sudah menjadi agenda kegiatan kami, rutin tiap tahun, setiap menjelang 1 Sura. Kenapa begitu? Karena, Eyang Surabrata adalah Bupati Ponorogo (1737-1745), yang memberikan bekal sepasang mahesa bule Kiai Slamet kepada Sinuhun PB II. Sedangkan, awal bulan Sura, Sinuhun melakukan boyong kedhaton, pindahan dari Ibu Kota “nagari” Mataram yang lama di Kartasura ke Ibu Kota baru di Surakarta. Sepasang Kiai Slamet, menyertai perjalanan pindahan itu. Hingga Kraton Mataram Surakarta berumur 200 tahun sampai saat 1945 (NKRI lahir-Red). Bahkan, kraton dan keturunan Kiai Slamet pemberian eyang RT Surabrata itu, sampai sekarang masih lestari,” jelas Ketua Pakasa Cabang “Gebang Tinatar” (Ponorogo), KRA MN Gendut Wreksodiningrat, saat dihubungi iMNews.id, tadi siang.

Berbicara Dengan Hati

IKUT MEMBUJUK : Vaksinasi dilakukan tim dokter dari Dinas Peternakan Kota terhadap beberapa ekor mahesa keturunan Kiai Slamet, agar kebal dari wabah PMK. Ketua Pengelola Kawasan Alkid GKR Timoer dan seorang petugas dari Polsek Pasarkliwon, ikut membujuk satwa pusakadalem itu agar tenang ketika disuntik, Sabtu pagi (23/7). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Boyong kedhaton pindahnya Ibu Kota dari Kartasura ke Surakarta, selain sepasang mahesa Kiai Slamet juga disertai satwa piaraan lainnya, di antaranya gajah. Beberapa satwa khususnya sepasang mahesa Kiai Slamet, mencerminkan hubungan harmonis bahkan sudah menyentuh dimensi spiritual kebatinan, seperti yang dirasakan pemerhati budaya Jawa dan kraton, Kanjeng Raden Arya Tumenggung (KRAT) Hendri Rosyad Reksodiningrat. Dalam pandangannya, ulama besar pemimpin Pesantren Tegalsari Gebang Tinatar (Ponorogo) Kyai Khasan Besari sampai merestuai pemberian sepasang mahesa Kiai Slamet kepada Sinuhun PB II (1727-1749), tentu sangat beralasan.

“Buktinya, ya Kraton Mataram Surakarta lestari sampai 200 tahun (1745-1945), sebagai negara monarki. Bahkan berlanjut masih berdiri megah sampai sekarang, walau berada dalam pangkuan NKRI. Pusakadalem mahesa keturunan Kiai Slamet, juga masih ada sampai sekarang. Bahkan berkembang-biak menjadi banyak. Segala seuatu yang menyangkut dimensi kebatinan, memang sulit dijelaskan. Tetapi hanya bisa dirasakan, dan saya menjadi salah seorang yang ikut merasakan.  Maka, cara-cara berkomunikasi dengan satwa khususnya mahesa (keturunan) Kiai Slamet, harus masuk ke dimensi itu. Setidaknya, gunakan hati untuk berbicara,” jelas KRAT Hendri menunjuk peristiwa awal sulitnya menyuntik vaksin seekor kerbau bule, sebelum akhirnya berhasil setelah menggunakan pendekatan kasih sayang atau berbicara dengan hati (iMNews.id, 23/7).

Kawanan kerbau bule atau mahesa keturunan Kiai Slamet yang hingga kini dipelihara Kraton Mataram Surakarta sebagai kelangenan sekaligus pusakadalem, secara biologis tak beda dengan kerbau yang dipelihara masyarakat petani di pedesaan. Sedikut berbeda hanya pada pigmen warna kulit yang bule atau albino, tetapi masyarakat di Kabupaten Tanah Toraja (Sulsel) dan di beberapa wilayah di luar Jawa, banyak warga yang memilikinya. Salah satu ciri kelangsungannya, karena Indonesia beriklim tropis dan hampir seluruh wilayahnya punya daerah pertanian yang menjadi habitat sangat baik bagi satwa kerbau.

Tak Pernah Diteladani

CEPAT SELESAI : Karena diajak berbicara dengan hati oleh Gusti Timoer, petugas Polsek dan abdidalem srati, proses suntik vaksinasi yang dilakukan tim dokter dari Dinas Peternakan Kota untuk enam ekor mahesa keturunan Kiai Slamet di kandang sisi selatan Alkid cepat selesai. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Di berbagai wilayah geokultural yang ada di Tanah Air, khususnya di lingkungan masyarakat etnis Jawa, kerbau selalu dijadikan simbol yang negatif karena ada adagium yang berbunyi “Longa-longo kaya Kebo”. Menurut juru penerang budaya Kraton Mataram Surakarta ketika dijabat KPA Winarno Kusumo (alm), kalimat perundungan macam itu sekilas bisa dianggap wajar dalam situasi dan kondisi tertentu, tetapi sebenarnya tidak seperti yang tampak mata ketika bisa memahami naluri satwa jinak jenis itu kebanyakan, khususnya mahesa keturunan Kiai Slamet.

Dalam konotasi positif dan dimensi realitas umum, kerbau termasuk salah satu satwa yang tekun, penurut, mau bekerja keras, patuh dan bersahaja yang menjadi kelebihan dan keunggulannya, tetapi nyaris tak pernah diteladani makhluk manusia. Tetapi dalam dimensi spiritual kebatinan, kerbau paling bisa memberi sinyal hasil sensitivitasnya terhadap sesuatu yang bersifat tidak kasat mata, sehingga bisa diandalkan menjadi teman dalam menghadapi bahaya terutama yang tidak bisa tertangkap mata. Dalam fungsi seperti ini, sebenarnya gajah juga bisa diandalkan, tetapi karena ketersediaan habitat yang terbatas, menjadi sulit dikembangbiakkan dan sulit bisa bertahan lama hidup bersama manusia.

“Keturunan Kiai Slamet bisa lestari sampai sekarang. Karena habitatnya sangat mudah. Berbeda dengan gajah, yang sama-sama pernah menjadi pusakadalem di kraton. Ini mengingatkan gajah Kiai Anggara yang ada Taman Sriwedari.  Tak bisa bertahan lama dan berkembang biak, karena habitatnya tidak ada. Disertai doa restu Bupati RT Surabrata dan Kyai Khasan Besari, “keduanya” sudah mengantar Kraton Mataram Surakarta lestari sampai sekarang. Tetapi, bagaimanapun keturunan Kiai Slamet pada dasarnya adalah makhluk yang diberi hidup Allah SWT. Manusia bisa memberi nama Slamet, tetapi fakta yang terjadi bisa sebaliknya. Karena, hidup dan mati, adalah urusan Allah SWT, mutlak,” tandas cicit abdidalem ulama yang bertugas di Kepatihan di zaman Sinuhun PB X (1893-1939) itu. (Won Poerwono-bersambung/i1)