Ada Hal yang Membedakan Antara Penulis Karya Sastra dan Pujangga yang Sesungguhnya (4-habis)

  • Post author:
  • Post published:May 31, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Jadi Sumber Pedoman Kehidupan, Tetapi Dipisah oleh Bahasa dan Aksaranya

IMNEWS.ID – TANPA harus melihat karya-karya para pujangga, baik antara yang dalam arti sesungguhnya atau tidak, juga antara pujangga lama ataupun baru, kalau alat ukurnya sudah jelas, sesungguhnya tidak perlu lagi ada persepsi dan sikap yang berbeda antara dua golongan pujangga atau antara pujangga dan penulis/ahli sastra. Melihat situasi dan kondisi bangsa yang sedang “kurang sehat” akibat berbagai “bencana” yang memuncak di penghujung dekade ini, lebih membutuhkan nilai manfaat untuk kebajikan dan kemaslahatan bersama seluruh warga bangsa, dari pada memberikan penilaian antara yang satu dan yang lain.

Yang jelas, nilai-nilai kearifan karya-karya para pujangga Jawa/Mataram, penulis/ahli sastra ditambah karya-karya pujangga sastra Melayu, sudah terbukti menjadi sumber pedoman kehidupan sebuah peradaban yang berada di atas bumi Nusantara dan berada dalam bingkai NKRI, serta memiliki alat pemersatu berupa Pancasila, UUD 45 dan cirikhas kepribadian bangsa yang berbhineka. Dalam perjalanan bangsa ini, memang dihadapkan berbagai halangan yang berusaha merusak sendi-sendi kehidupan yang ada, termasuk berkembangnya potensi anasir radikalisme dan intoleransi yang belakangan menajam sebagai politik identitas.

Nilai-nilai kearifan karya-karya para pujangga Jawa/Mataram, memang sudah terbukti masuk ke jauh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hingga simbol-simbolnya menjadi identitas di berbagai bidang/sendi kehidupan, bahkan sudah mendarah-daging sebagai milik khas bangsa yang diikat dalam NKRI (iMNews.id, 25/5). Namun, perubahan zaman yang menghasilkan proses dekulturisasi dan delegitimasi, semakin menjauhkan jarak antara warga peradaban dengan tata nilai dan kearifan yang ada di dalam karya-karya para pujangga, karena keteladanan makin langka dimiliki dari orang-orang yang seharusnya menjadi media/perantara atau yang menjembatani.

Jarak Semakin Jauh

JUSTRU MERAGUKAN : Menjadi seorang pemimpin kota apalagi di Surakarta, seharusnya selalu mengevaluasi perkembangan lingkungan kotanya. Jangan sampai ada hiasan kota yang justru meragukan sifat-sifat keteladanan pemimpinnya.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Masuknya anasir radikalisme yang membuat berkembangnya sikap intoleransi, adalah bagian dari proses dekulturisasi dan delegitimasi, setidaknya dalam 1-2 dekade terakhir. Dua potensi itu juga menyumbang semakin langkanya keteladanan, sebagai bagian dari kebijakan sistem pendidikan nasional yang tidak berpihak pada penguatan ketahanan budaya lokal, sebagai  modal ketahanan budaya nasional. Inilah yang membuat jarak antara warga peradaban dengan nilai-nilai yang akan dilestarikannya semakin jauh.

Ketika digali lebih dalam persoalan dekulturisasi dan delegitimasi itu, kesulitan memahami bahasa dan aksara juga menjadi titik sentral tersendiri selain beberapa titik sentral sumber persoalan lainnya. Padahal, hampir semua karya-karya sastra para Pujangga Jawa, rata-rata menggunakan aksara Jawa sekaligus Bahasa Jawa, bahkan ada yang menggunakan Bahasa Sanskerta dan huruf Palawa. Meskipun, banyak pula dari karya-karya itu yang sudah dialihbahasakan menjadi berbahasa Jawa dengan aksara/tulisan latin.

Jadi, kendala utama untuk mengembalikan kekuatan legitimasi dan rekulturisasi atau membangun kembali kekuatan budaya, adalah faktor jarak untuk memahami bahasa dan aksaranya yang ada dalam karya-karya sastra para Pujangga Jawa/Mataram. Kendala berikutnya, sistem pendidikan nasional selama ini tidak menyediakan perangkat lunak dan keras untuk memudahkan masyarakat luas mengenal dan memahami nilai-nilai yang seharusnya menjadi milik sendiri dan sebagai cirikhas dalam kehidupannya.

Perlu Waktu 1.000 Tahun

TAK BERBUDAYA : Sejak rezim pemerintahan Orde Baru, lingkungan Segaran beserta kupelnya di Taman Sriwedari, menjadi kehilangan makna sama sekali. Ini bisa melahirkan image publik yang paradoks tentang situs Taman Kapujanggan yang merana, akibat pemimpinnya tak berbudaya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Banyak yang meneliti, termasuk saya juga melakukan, sebuah karya (di lingkungan sastra Jawa-Red), ada yang selalu diperbaharui oleh para pujangga penerusnya. Dalam Serat Kalatidha (Pujangga Ranggawarsita), ada yang  mengulang ungkapan yang pernah ditulis Prabu Jayabaya (Kraton Kediri-abad 12).  Kalimat ‘Hamenangi jaman edan….’. itu, hampir sama dengan yang selama ini dikenal publik  ‘Jangka Jayabaya’. Padahal, judul ‘Jangka Jayabaya’ itu sendiri belum pernah diketemukan. Hanya dianalisis sebagai ‘terbebas’ (Jaya) dari ‘bahaya’ (Baya),” papar KP Budayaningrat, seorang dwija dari Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Mataram Surakarta, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.

Melihat salah satu contoh yang disebut KP Budayaningrat itu, bisa dianalisis pula bahwa sisi positif upaya aktualisasi karya-karya para pendahulu oleh para pujangga penerusnya, punya semangat untuk terus memperbarui karya-karya yang berisi nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi kehidupan secara luas. Karena para pujangga penerus itu meyakini dan melihat realitas bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam karya-karya itu, benar-benar bermanfaat sebagai bagi kehidupan warga peradaban, dan oleh karenanya selalu diaktualisasi untuk diwariskan kepada kehidupan generasi selanjutnya/penerusnya.

Proses aktualisasi dan legitimasi sebagai pedoman kehidupan warga peradaban, jelas tidak terjadi dalam waktu yang singkat, sehingga pantas dianggap sudah mendarah-daging. Sebab, nilai-nilai yang dilahirkan dari karya para Pujangga dari zaman Prabu Darmawangsa Kraton Medang Kamolan (991-1007 M), diaktualisasi dan dilegitimasi melalui Kraton Kediri (abad 12), Majapahit (abad 14) , Demak (abad 15), Pajang (abad 15-16), Mataram Hindu (abad 16), Mataram Islam (abad 16), mataram Kartasura (abad 17) hingga diendapkan dan diaktualisasi selama 200 tahun melalui karya para Pujangga Mataram Surakarta atau Pujangga Jawa (abad 17-19), secara total harus menempuh waktu sekitar 1.000 tahun.

Keteladanan dan Political Will

DILACURKAN PEMIMPIN : Melihat hiruk-pikuk aktivitas kesibukan yang selalu menghiasi kompleks Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa setiap harinya, tentu akan melahirkan persepsi publik bagaimana seorang pemimpin adat tega “melacurkan” bangunan produk peradaban yang sarat nilai-nilai “kapujanggan”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Seiring perubahan zaman yang hampir bersamaan di berbagai belahan bumi ini di awal abad 19, sebanyak 250-an kraton, kesultanan, kedatuan dan pelingsir adat yang tersebar di ribuan pulau di Nusantara ini juga mendirikan sebuah wadah yang modern dinamakan NKRI. Salah satu ciri modern wadah baru bagi ratusan lembaga masyarakat adat atau pemerintahan monarki yang sudah bersepakat bulat mendirikan NKRI itu, adalah lahirnya lembaga departemen pendidikan dan kebudayaan yang memiliki sistem pendidikan nasional.

Namun apa yang terjadi?, legitimasi warga peradaban khususnya di lingkungan etnik Jawa terhadap nilai-nilai luhur dari karya-karya para pujangga itu justru semakin pudar, dari waktu ke waktu, dari rezim pemerintahan yang satu berganti rezim pemerintahan berikutnya. Aktualisasi nilai-nilai luhur yang sudah mendarah-daging itu nyaris tidak terjadi, dan itu bukan hanya terhadap nilai-nilai karya peradaban Jawa/Mataram, tetapi juga terjadi pada pusat-pusat peradaban lain yang telah menjadi isi taman kebhinekaan Nusantara ini seperti yang belakangan diungkap pengurus Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN) ke permukaan.

Kini semakin jelas permasalahannya, bahwa semua kembali kepada kesepakatan awal melahirkan NKRI yang berlandaskan Pancasila, berdasar UUD 45 dan hidup berdampingan dalam kebhinekaan yang isinya war-warni budaya yang tersisa dari 250-an keraton, kesultanan, kedatuan dan pelingsir adat itu. Untuk kembali pada kesepakatan itu, dalam situasi dan kondisi sekarang ini diperlukan keteladan pemimpin dari lingkup paling kecil yaitu RT/RW, lurah hingga Presiden, serta political will dari pemerintah secara keseluruhan yang memiliki “mesin perubah peradaban” bernama “sistem pendidikan nasional” itu. (Won Poerwono-habis/i1)