Ada Hal yang Membedakan Antara Penulis Karya Sastra dan Pujangga yang Sesungguhnya (2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 25, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:9 mins read

SIMBOL NEGARA : Burung “Garudya” yang kemudian diadaptasi dan diadopsi menjadi simbol lambang negara bernama Garuda, sudah ada sejak zaman Kraton Kediri (abad 12), seperti yang selalu muncul dalam lukisan Wayang Beber karya mbah Ning (70), pelukis asal Jagalan, Jebres, Solo. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Di Zaman Kraton Kediri dan Majapahit, Pujangga Hanya Dikenal Sebagai Empu

IMNEWS.ID – BAHASA Melayu yang diadopsi menjadi bahasa nasional dan menjadi jembatan/media untuk memudahkan memahami berbagai hal yang dibutuhkan dalam kehidupan bangsa atau warga NKRI (1945),  setidaknya sejak peristiwa Sumpah Pemuda (1928),  memang menjadi sebuah keniscayaan. Namun, menjadi mudah memahami perubahan zaman yang makin modern dan padat teknologi hingga masalah globalisasi, bukan berarti bisa membawa bangsa dan negara ini mengejar ketertinggalan dengan negara lain, dalam berbagai hal khususnya pengusaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Melihat realitasnya, ketika memang sulit bagi bangsa dan negara ini mengejar ketinggalan dari kemajuan dalam beberapa hal yang dicapai bangsa-bangsa barat (terutama), seharusnya menjadikan bangsa yang berada di wilayah Nusantara ini sadar dan memahami benar potensi jati dirinya.  Bahasa Indonesia disepakati sebagai bahasa pemersatu, itu memang sudah jadi harga mati, tetapi bukan berarti harus mengesampingkan bahasa ibu sebagai jembatan/media untuk memahami pesan-pesan yang disampaikan para “pujangga” dengan bahasa lain, misalnya Bahasa Jawa (iMNews.id, 22/5).

Mencermati beberapa kebutuhan dalam rangka penguatan bahasa nasional, kebijakan  memberi ruang pelestarian yang cukup untuk bahasa ibu untuk  mempermudah transfer pesan-pesan kebajikan dari karya-karya “pujangga” termasuk “Pujangga Mataram Surakarta” atau “Pujangga Jawa”,  menjadi sebuah tuntutan sebagai sikap yang bijak.  Oleh sebab itu, perlu diciptakan sebuah kebijakan dalam sistem pendidikan nasional yang mampu melakukan proses transfer nilai-nilai dari karya-karya para “Pujangga Jawa”, menjadi bahan edukasi yang mudah dipahami di segala jenjang pendidikan.

Jadi Pedoman Ketatanegaraan

BABON LAKON : Banyak sekali karya para Pujangga sejak zaman Kraton Majapahit (abad 14) hasil adaptasi yang kemudian diadaptasi para Pujangga Mataram, menjadi babon pakem lakon pada seni pedalangan yang tetap lestari dan berkembang hingga saat ini.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dengan melihat keperluan itu, sepertinya sudah tepat jika Yayasan Panakawan Jateng yang diketuai Sudarmin SPd dalam dekade terakhir ini gigih memperjuangkan “muatan lokal” (mulok) dalam pelajaran Bahasa Daerah yang sudah ditetapkan sistem pendidikan nasional, dari jenjang pendidikan SD hingga perguruan tinggi.  Dengan muatan lokal yang banyak membekali para siswa/mahasiswa mengenai Bahasa Jawa, jelas akan menjadi jembatan/media untuk mempermudah memahami nilai-nilai kearifan lokal yang ada di dalam karya-karya para Pujangga Jawa.

Dan ketika melihat realitanya, muatan lokal dalam pelajaran Bahasa Jawa perlu dipertajam proses dan metode pembelajarannya agar para siswa lebih gampang menggunakannya untuk mengenal dan memahami karya-karya para pujangga, sesuai dengan jenjang pendidikannya. Dan tahap inilah yang harus dipahami  bersama khususnya para pemangku kebijakan di bidang pendidikan, bahwa sebenarnya ada jarak antara warga peradaban sebagai subjek dengan tujuan pelestarian nilai-nilai kearifan lokal yang bersumber dari karya-karya para Pujangga Jawa.

“Banyak sekali karya-karya Pujangga Jawa yang menjadi pedoman bernegara dan simbol-simbol ketatanegaraan yang digunakan NKRI sampai sekarang. Misalnya, serat (kakawin-Red) Negara Kertagama karya Empu Prapanca di zaman Majapahit. Beliau hanya disebut Empu, padahal karya-karyanya jelas karya seorang pujangga (lama). Dari Kediri dan Majapahit itu, ditemukan kata Garudya yang kemudian menjadi Garuda, juga kata Panca Sila yang hingga kini menjadi pedoman hidup berbangsa NKRI,” jelas KRRA Budayaningrat yang juga pengurus Yayasan Panakawan.  

Babon Pakem Seni Pedalangan

JALUR PELESTARIAN : Profesi sebagai pemerhati sekaligus praktisi budaya seperti yang dimiliki KRRA Budayaningrat  di Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Mataram Surakarta, menjadi salah satu jalur pelestarian karya-karya para pujangga yang bermanfaat bagi kehidupan secara luas hingga saat ini.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Selain Empu Prapanca, ada sederet nama empu yang karena kapasitasnya dalam karya tulis sastra lalu dimasukkan dalam kategori “Pujangga Kasusastran Jawi”, dan sebutan Empu kemudian untuk menyebut para ahli di bidang pembuatan “tosan aji” (keris dsb-Red), karawitan, pedalangan, tari dan sebagainya. Sedangkan  yang khusus menghasilkan karya sastra, masuk kategori pujangga yang karena ada pembagian waktu, semua nama pujangga yang hidup pada  zaman Medang Kamolan (sampai abad 10) sampai zaman Kraton Majapahit (abad 14),  digolongkan sebagai Pujangga Lama.

Misalnya, Prabu Darmawangsa dari Kraton Medang Kamolan (991-1007 M), menerjemahkan Serat Mahabharata dari Bahasa Sanskerta ke dalam Bahasa Jawa Kuno sampai 9 parwa (jilid), yang kemudian dikenal sebagai sumber atau babon “pakem” (pedoman) lakon dalam seni pedalangan, yaitu,  mulai dari “Adi Parwa” sampai “Swarga Loka Parwa”. Demikian pula Empu Walmiki, juga menerjemahkan Serat Ramayana yang berjudul “Utara Kandha”, dan  Empu Kanwa menciptakan karya “kakawin” atau “serat”  berjudul “Harjuna Wiwaha”, yang sebenarnya mengambil satu episode dari serat Mahabharata.

Raja Kraton Kediri Prabu Airlangga, juga punya kapasitas sebagai seorang pujangga karena menulis karya “kakawin” berjudul “Wana Parwa” pada  tahun 1019-1042 M, yang berisi kisah perkawinan antara Raden Harjuna dengan Dewi Supraba. Saat Kraton Kediri dipegang Prabu Warsa Jaya sebagai rajanya, ada seorang pujangga terkenal yaitu Empu Triguna, yang mencipta kakawin “Kresna Yana” pada tahun 1104 M, yang mengisahkan perkawinan antara Prabu Kresna dengan Dewi Rukmini, yang dikenal dengan lakon “Narayana Maling” di dalam seni pertunjukan wayang kulit atau wayang “wong”.

Teladan Raja yang Pujangga

BUSANA ADAT : Busana adat Jawa yang dikenakan KRAT Hendri Rosyad dan Gusti Moeng saat serah-terima kekancingan gelar kekerabatan di Keraton Mataram Surakarta, beberapa waktu lalu, merupakan puncak budaya yang terbentuk lebih dari 500 tahun, sejak  zaman Kraton Kediri hingga Mataram (abad 12-19).
(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ketika raja Prabu Warsa Jaya jumeneng nata di Kraton Kediri, ada pujangg terkenal bernama Empu Manuguna yang mencipta kakawin “Sumana Santaka” di  tahun 1104 M, yang mengisahkan lahirnya Prabu Destarastra di Ngayogya. Sedang pada saat raja Prabu Jayabaya jumeneng nata di Kraton Kediri, pujangga terkenal Empu Sedah mencipta kakawin “Bharatayuda” pada tahun 1135-1157 M, yang berisi kisah peperangan antara sesama keluarga “Kuru” yaitu Pandawa melawan Kurawa. Kemudian Empu Panuluh mencipta kakawin “Gatutkaca Sraya” dan “Hariwangsa” saat jumenengnya raja Prabu Kertajaya di Kraton Kediri tahun 1188 M.

Pada saat raja Prabu Kameswara jumeneng nata  di Kraton Kediri, Empu Darmaja mencipta kakawin “Smaradahana” pada tahun 1115-1135 M, yang isinya mengisahkan terbunuhnya Dewa Kamajaya dengan cara dibakar. Di akhir zaman Kraton Kediri saat Ken Arok jumeneng nata dengan gelar jumenengnya  di Kraton Kediri, ada seorang pujangga bernama Empu Tanah Kuning 

yang mencipta kakawin “Wata Sancaya”, yang berisi tentang aneka macam bunga dan kakawin “Lubdaka” yang berisi cara-cara berburu atau “mbebedag” yang naik surga di tahun 1222 M.

“Kalau mencermati deretan nama-nama pujangga yang sudah ada sejak zaman sebelum Kraton kediri hingga Mataram Surakarta, masya Allah, saya termasuk menjadi salah seorang yang beruntung. Karena menjadi cucu abdidalem ulama Karaton Mataram Surakarta yang ditugaskan di Kepatihan. Sekarang saya juga ikut mengabdi di kraton dengan menggeluti bidang budaya Jawa dan spiritual kebatinan. Tetapi, terus terang saya masih harus banyak belajar dari karya-jarya para pujangga itu. Apalagi, ada karya-karya yang ikut menyebarkan Islam,” tutur KRAT Hendri Rosyad Wrekso Puspito menanggapi tulisan tentang karya-karya pujangga seri sebelumnya (iMNews.id, 22/5).  (Won Poerwono-bersambung/i1)