Tuhan Memberi Jalan Melalui Peristiwa Teriakan “Maling”
IMNEWS.ID – ISTILAH “kondur ngedhaton” dalam terminologi kehidupan keseharian di kraton-kraton pada umumnya seperti yang sering dilukiskan dalam seni pedalangan, dan secara khusus yang terjadi di Kraton Mataram Surakarta, lebih sering dikonotasikan dengan pulangnya kembali seorang pemimpin kerajaan yang tak lain adalah raja ke dalam pusat “kedatuannya” yang bisa dikonotasikan “istana negara” bila meminjam terminologi tempat singgah seorang pemimpin negara atau “presiden” misalnya. Namun, istilah itu juga pantas diberikan kepada Gusti Moeng yang tentu dalam konotasi agak berbeda, mengingat Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) yang juga Pengageng Sasana Wilapa itu bukan raja atau bukan Sinuhun.
“Kondur ngedhaton” yang dialami putri ke-25 Sinuhun PB XII adalah ketika “tanpa sengaja” mantan anggota DPR RI dua periode terpisah itu itu menerima laporan adanya maling yang membobol salah satu kamar di Bangsal Keputren, tempat dirinya lahir dan tumbuh dewasa bersama keluarga kecil yang perempuan, sebelum dipersunting KPH Edy Wirabhumi pada awal tahun 1990-an lalu. Karena semua akses pintu yang selama lima tahun terakhir hanya dibuka untuk kepentingan tertentu saat itu malah ditutup dan dikancing dari dalam, Gusti Moeng meminta izin petugas Polsek Pasarkliwon yang Sabtu (17/12/2022) sore itu berjaga-jaga di depan Kori Talang Paten, untuk melompat pagar tembok dekat Panggung Ngindra dan masuk kraton.
Peristiwa itu menjadi ilustrasi untuk menuturkan bagaimana kejadiannya, Gusti Moeng yang pernah mendapat julukan dari Sinuhun PB XII sebagai “Putri Mbalela” itu, bisa kembali masuk ke dalam kraton, setelah selama lima tahun lebih sejak April 2017 “diusir” melalui insiden “mirip operasi militer” yang melibatkan 2 ribuan personel Brimob dan 400-an personel TNI, waktu itu. Karena kembalinya Gusti Moeng masuk kraton melalui cara yang tidak pernah diduga yaitu adanya dugaan tindak kejahatan pencurian di Bangsal Keputren, maka proses kembalinya ini sepertinya tepat disebut juga “insiden Gusti Moeng kondur ngedhaton”.
“Dua hari sebelumnya saya sempat ‘menasihati’ beberapa personel Brimob yang ikut-ikutan menggembok pintu penghubung dari Alun-alun Lor ke halaman Pendapa Pagelaran. Beberapa kali sebelumnya, saya sempat bermimpi mencari barang-barang saya yang mungkin tertinggal di Bangsal Keputren. Itu semua terlintas dalam mimpin. Dan terulang sampai dua atau tiga kali. Tida tahunya, Tuhan menunjukkan jalan kepada saya, cara untuk masuk kraton. Caranya, ya spontanitas lompat tembok karena ada laporan abdidalem dicekik sosok yang diduga maling itu,” ungkap penerima penghargaan The Fukuoka Culture Prize Award tahun 2012 yang bernama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah itu kepada iMNews.id saat pentas malam perdana Pekan Seni Budaya dan Ekraf (iMNews.id, 17/12) yang dulang di upacara wilujengan “sungsuman” (iMNews.id, 1/1/2023).
Dengan kronologi proses kembalinya Gusti Moeng masuk kraton, yang waktu itu bersama GKR Timoer Rumbai Kusumodewayani (putri tertua Sinuhun PB XIII) dan BRM Yusdistira (cucu Sinuhun PB XIII), maka peristiwa itu layak disebut sebagai “insiden Gusti Moeng kondur ngedhaton”. Dan spontanitas Gusti Moeng itu dengan cepat diikuti berbagai elemen masuk ke kraton dengan maksud untuk mencari sosok yang diduga membobol kamar pribadi Gusti devi, adik GKR Timoer Rumbai, padahal mereka sebelumnya sedang sibuk mempersiapkan penyelenggaraan malam upacara pembukaan dan perdana pentas “Pekan Seni Budaya dan Ekraf Hari Jadi 91 Tahun Pakasa” di kompleks Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa.
Karena seperti itu kisahnya, maka kepantasan sebutan “Gusti Moeng kondur ngedhaton” itu terletak pada konotasi kembali pulang ke tempatnya mengabdikan diri, bekerja untuk pelestarian budaya dan memaknai kehidupan Kraton Mataram Surakarta demi kelangsungan jejak sejarah Mataram yang pernah didirikan para leluhur Dinasti Mataram. Karena sejatinya, sosok anak ke-9 dari istri KRAy Pradapaningrum itu, sejak tumbuh menjadi gadis dewasa selalu “dikudang” dan “digadhang-gadhang” Sang ayah yang tak lain adalah Sinuhun PB XII, untuk menjadi “suh” (pengikat) sekaligus motor penggerak pelestarian budaya Jawa dan diharapkan untuk tetap “njumenengake Bedaya Ketawang”, demi eksistensi dan keberlangsungan Mataram Surakarta.
“Jadi seperti itu. Almarhum bapak Sinuhun selalu berpesan kepada saya, harus bisa njumenengke Bedaya Ketawang. Amarga, mung kowe sing bisa njumenengake. Dan, jumenengnya Bedaya Ketawang, itu menjadi simbol eksistensi kraton. Walaupun Sinuhun (PB XII-Red) tidak bisa lenggah dampar jumeneng saat ada upacara adat tingalan jumenengan. Pesan itu yang akan tetap saya ingat sampai akhir hayat. Dhawuh itu yang akan tetap saya estokke untuk saya laksanakan terus,” ujarnya di depan 150-an kerabat dan warga Pakasa yang sowan mengikuti ritual “sungsuman” di Bangsal Smarakata, Minggu pagi (iMNews.id, 1/1/2023).
Dari pisowanan kecil di Bangsal Smarakata dan doa selamatan yang digelar dan dipimpin abdidalem jurusuranata MNg Irawan Wijaya Pujodiprojo itu, secara spontan Gusti Moeng bertanya siapa yang belum pernah melihat Bangsal Keputren ? Siapa yang ingin melihat Bangsal Keputren setelah lima tahun kraton ditutup? Atas pertanyaan itu, ada lebih 50 kerabat dan warga Pakasa tunjuk jari. Karena banyak yang antusias ingin melihat, maka Gusti Moeng menugasakan KRMP Joko Wasis Sontonagoro dan KRMP Joni Sosronagoro untuk memandu rombongan, sambil melakukan field trip, melihat-lihat semua bangunan yang dilalui, termasuk bangan Bangsal Keputren yang ada di arah belakang jauh dari Pendapa Sasana Sewaka. (Won Poerwono-bersambung/i1)