Penyerobotan Tanah Aset Makam, Bangunan Terlantar Hingga Rebutan Organisasi Pakasa
IMNEWS.ID – ANCAMAN yang serius terhadap eksistensi seni budaya produk peradaban yang menjadi ciri kepribadian dan kebhinekaan bangsa (iMNews.id, 8/4), ternyata menjadi bagian lain dari seriusnya keseluruhan ancaman yang dihadapi masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta yang terwadahi dalam Lembaga Dewan Adat (LDA). Laporan berbagai kondisi mulai dari bentuk penyerobotan tanah aset makam, bangunan cungkup makam yang terlantar, rebutan organisasi cabang Pakasa hingga rebutan kotak sumbangan makam, menjadi masukan yang positif dari safari nyadran ”Tour de Makam, Petilasan dan Pesanggrahan) yang dilakukan LDA khususnya di bulan Ruwah Tahun Alip 1955 atau Maret 2022 ini.
Masukan dan laporan tentang berbagai hal kebanyakan bernuansa negatif yang datang kepada LDA Keraton Mataram Surakarta selama ini, memang bisa dibagi menjadi beberapa periode, misalnya periode 1945 hingga proses suksesi tahun 2004, periode 2004 hingga 2017 dan periode 2017 hingga sekarang. Masukan dan laporan tentang seriusnya ancaman yang dihadapi khususnya masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta, juga bisa dibagi menjadi ancaman terhadap subjek aset-aset “tangible” dan ancaman terhadap produk-produk peradaban misalnya eksistensi seni budaya yang bersifat “intangibel”.
Ancaman terhadap aset yang bersifat “tangible”, banyak data dan fakta menyebutkan sudah terjadi sejak Sinuhun PB XII menyatakan Keraton Mataram Surakarta menggambungkan diri ke dalam kedaulatan NKRI pada tanggal 17 Agustus 1945. Momentum itu dimaknai banyak pihak sebagai “kemenangan” NKRI atau “kekalahan” Keraton Mataram Surakarta, sehingga aset-asetnya dianggap “layak” untuk “dirampas” atau “dijarah” untuk berbagai kebutuhan.
PB XIII Lebih Tidak Berdaya
Seriusnya ancaman kategori ini, memang tidak mencolok dan tidak menjadi hal yang janggal di mata publik, meskipun proses yang terjadi dalam waktu cukup lama sejak 1945 hingga sekarang, sudah begitu banyak aset-aset Keraton Mataram Surakarta yang “tangible” ada yang hilang tak berbekas tetapi kebanyakan sudah berubah kepemilikan dan berubah wujud dan bentuk. Berkurangnya aset-aset “tangible” seperti luas tanah kompleks makam, menjadi masukan informasi dan laporan yang semakin santer diterima GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua LDA.
Kalau aset-aset “tangible” yang berupa kompleks dan bangunan pabrik gula, bekas-bekas gedung perkantoran saat Mataram Surakarta menjadi “nagari” berdaulat dan memiliki wilayah yang dikelola para aparatur pemerintahannya di tingkat kabupaten (1745-1945), rata-rata tidak menimbulkan gejolak karena rata-rata tidak dirawat dan dikelola masyarakat adat. Berbeda dengan aset-aset tanah dan bangunan kompleks makam, sangat mudah menimbulkan gejolak karena rata-rata dikelola dan dirawat masyarakat adat yang turun-temurun mengawasi dan menjaga di situ.
Seriusnya ancaman terhadap eksistensi aset-aset yang bersifat “intangible”, sebenarnya juga sudah sejak lama terjadi, tetapi Keraton Mataram Surakarta sejak 1945 seakan tidak berdaya menghadapi lahir dan berkembangnya benih-benih “sentimen identitas” yang kini sudah naik status menjadi “politik identitas” dan semakin serius ancamannya. Sebab, Sinuhun PB XII sudah “tidak berdaya” dengan “hilangnya” kedaulatan politik dan ekonomi, sementara penerusnya, Sinuhun PB XIII, bisa disebut semakin atau lebih tidak berdaya, karena dirinya justru berada di bagian yang terpecah-belah oleh kolaborasi kekuatan dari dalam dan luar lembaga Keraton Mataram Surakarta.
Dimanfaatkan Secara Sepihak
Program safari nyadran “Tour de Makam, Petilasan dan Pesanggrahan 2022” merupakan bentuk tindakan nyata generasi penerus dinasti yang peduli terhadap nilai-nilai warisan leluhur. Jadi, tour safari dengan rombongan yang rata-rata berjumlah 70-an orang itu, selain memberi sentuhan pengayoman, sekaligus bisa menyerap informasi dan aspirasi lebih banyak lagi, sambil “check sound” dan meyakinkan kondisi riil di lapangan dengan informasi yang sudah masuk.
Hasilnya memang sangat beruntung berlipat-lipat, tetapi sekaligus juga banyak yang menyedot rasa prihatin. Karena di satu sisi masyarakat adat di sekitar titik lokasi makam/petilasan/pesanggrahan merasa dekat terayomi sekaligus bangga memiliki payung Keraton Mataram Surakarta, tetapi di sisi lain harus mendengar cerita dan laporan yang memprihatinkan bila tidak boleh disebut memalukan.
Di kompleks makam Kyai Ageng Selo di Desa Selo, Keacamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan misalnya, kini semakin tertata lingkungan situsnya sebagai destinasi wisata, juga organisasi pengelolanya yang sudah mendapat supervisi pengurus Pakasa Cabang hasil restrukturisasi. Tetapi di sisi lain, sebagian aset tanah makam “dimanfaatkan” pihak lain secara sepihak, hingga kotak amal makam dan masjidpun menjadi rebutan dua pihak menjadi tangan panjang LDA dan kelompok Sinuhun PB XIII. Sengketa ini juga ada hubungannya dengan restrukturisasi pengurus Pakasa Cabang.
Ancaman Tangable dan Intangable
“Makam Kyai Ageng Selo, ketika Sinuhun PB X jumeneng nata (1893-1939), dilengkapi dengan masjid dan biasanya diberi sebidang tanah untuk digarap, yang hasilnya untuk kesejahteraan para abdi dalem pengurus masjid. Bahkan, biasanya dilengkapi pula dengan pondok pesantren. Data sejarah yang saya temukan, Sinuhun PB X sangat sering sholat Jumat di masjid itu,” ujar KRT Ahmad Faruk Reksobudoyo MFil I, dosen Fakultas Usuluddin Adab dan Dakwah IAIN Ponorogo, yang juga abdidalem “Kanca Kaji” Keraton Mataram Surakarta, saat dihubungi iMNews.id, belum lama ini.
Gusti Moeng tentu meneladani Sinuhun PB X yang begitu berbhakti kepada para leluhurnya, hingga situs makam Kyai Ageng Selo, tetap tegak berdidi dan megah serta bisa dibanggakan hingga kini. Namun, kompleks makam Kyai Ageng Selo, bahkan makam Kyai Ageng Tarub yang berada di satu kecamatan, menjadi salah satu korban ancaman yang bersifat “tangable” karena menjadi rebutan dua pihak yang ingin mengelolanya.
Berikut, adalah contoh ancaman yang “intangable” yang belakangan semakin meningkat intensitas desakannya dan semakin dahsyat narasi “anti”-nya. LDA pernah mendapat laporan yang mirip insiden pelecehan terhadap perlengkapan ritual milik warga di Gunung Bromo, yang terjadi di sebuah kompleks makam leluhur Dinasti Mataram. Insiden itu memang nyaris tak berdampak, yang jauh beda ketika terjadi insiden seni pedalangan wayang kulit yang di dalamnya ada wayang ruwat, dituding haram. (Won Poerwono-bersambung)