Lolos ”Dihadang” Dua Kali ”Ontran-ontran”
IMNEWS.ID – MESKIPUN hampir sepanjang hayatnya banyak mengalami suasana kehidupan modern, bahkan peradaban milenial ketika tutup usia pada 13 Agustus 2021 lalu (iMNews.id, 13/8), KGPAA Mangkunagoro IX tak sepenuhnya bisa berubah menjadi pribadi seperti orang kebanyakan di belahan bumi manapun. Lebih dari 80 persen kepribadiannya, penampilan dan cara-caranya berkomunikasi dengan orang lain, sangat mengesankan sebagai pribadi yang kuat menjaga adat, budaya bahkan peradaban (Mataram/Jawa).
Melihat situasi dan kondisinya ketika ditinggal sang ayah, 5 September 1987 (Dr Purwadi/Lokantara-Jogja), GPH Sudjiwo Kusumo terkesan ”terpaksa” menerima tugas, kewajiban dan tanggungjawab meneruskan Dinasti Mangkunegaran. Artinya, ”siap atau tidak” dan ”bersedia atau tidak”, tugas dan kewajiban serta tanggungjawab menggantikan sang ayah dalam fungsi apa saja di ”Kadipaten” Mangkunegaran harus diambil atau harus diterima dengan ikhlas.
Kesan ”terpaksa” atau ”dipaksa” dalam konteks SP Mangkunagoro IX harus menerima tugas, kewajiban dan tanggungjawab itu, karena ketika dilihat lebih jauh, hanya takdirlah (skenario Sang Khalik-Red) yang telah menentukan segalanya, waktu itu. Mengingat, meskipun terlahir lelaki tetapi GPH Sudjiwo Kusumo adalah anak keempat dari tujuh bersaudara yang lahir dari permaisuri KGPAA Mangkunagoro VIII yang bergelar GK Putri Mangkunagoro (VIII).
”Tepaksa” dan ”Dipaksa”
GPH Sudjiwo Kusumo masih memiliki tiga kakak kandung, yaitu GPH Radityo Kusumo (sulung), GRAy Retno Satuti (nomer 2) dan GRAy Retno Roosati (nomer 4). Dalam paugeran adat Mataram, GPH Radityo Kusumolah yang menjadi Putra Mahkota untuk menggantikan sang ayah sebagai penerusnya. Tetapi, takdir Sang Khalik tidak seperti yang tampak dalam realita waktu itu.
Sang Khalik ternyata menentukan lain. Di tahun 1970-an, suami artis film Erna Santosa yang bernama GPH Radityo Kusumo itu meninggal karena kecelakaan. Sang ayah, KGPAA Mangkunagoro VIII-pun pasti sangat berduka, karena kehilangan putra mahkota calon penerusnya untuk memimpin Dinasti Mangkunegaran dan menjaga adat, budaya dan peradaban yang sudah diperjuangkan para pendahulunya terutama Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa yang bergelar KGPAA Mangkunagoro I.
Karena situasi dan kondisi seperti itulah, maka ”mau atau tidak” dan ”siap atau tidak”, tugas dan kewajiban serta tanggungjawab untuk meneruskan perjalanan Dinasti Mataram, serta menjaga segala produk budaya/peradaban leluhur harus diterima GPH Sudjiwo Kusumo. Friksi, pertentangan serta pro-kontra sudah pasti ada, ketika GPH Sudjiwo Kusumo ”terpaksa” dan ”dipaksa” menerima estafet kepemimpinan di Pura Mangkunegaran, karena tiga dari banyak hal berkonotasi negatif itu merupakan hiasan yang selalu melekat dalam setiap proses suksesi dalam sejarah Dinasti Mataram, bahkan keraton-keraton leluhur sebelumnya.
Mosi Tidak Percaya
Meski ”dihadang” dengan ”ontran-ontran” (jilid 1), akhirnya GPH Sudjiwo Kusumo tetap lolos untuk menerima tongkat estafet kepemimpinan, bahkan mendapat dukungan lumayan kuat untuk jumeneng nata sebagai KGPAA Mangkunagoro IX pada tanggal 24 Januari 1988 (Dr Purwadi/Lokantara-Jogja), atau kira-kira 4 bulan setelah sang ayah wafat. Salah satu dukungan itu, tentu datang dari ”sang paman” yaitu Sinuhun PB XII, ”raja” Mataram Surakarta (1945-2004) selain kalangan internal dekat sendiri.
Setelah ”jumeneng nata”, SP Mangkunagoro IX yang waktu itu dalam posisi sudah menduda dengan dua anak yaitu GRM Paundra Karna Jiwanegara (40-an) dan GRA Menur Agung Sunituti (35-an), segera mencari pasangan dan di awal tahun 1990-an menikahi putri Letjen TNI (Purn) KPH Haryogi Supardi yang berama Prisca Marina. Hasil pernikahan Pengageng Pura yang akrab disapa Gusti Mangku dengan Prisca Marina yang mendapat gelar GK Putri Mangkunagoro itu, lahir dua anak masing-masing GRA Ancilla Syura (25-an) dan GRM Bhre Wira Cakra Hutama (20-an).
Baru sekitar 5 tahun menjalankan tugas, kewajiban dan tanggungjawab sebagai Pengageng Pura yang juga pemimpin adat Kadipaten Mangkunegaran, munculah ”goyangan” yang justru datang dari organisasi wadah kerabat yang bernama Himpunan Kerabat Mangkunegaran (HKMN). Surat yang bernada ”mosi tidak percaya” dilayangkan HKMN kepada SP Mangkunagoro IX, intinya menyebut bahwa kepemimpinannya tidak dipertanggungjawabkan, bahkan ada yang menyebutkan tidak pas, sehingga ada pertimbangan perlu ”dilengserkan”.
Ada ”Intervensi” dari Kekuasaan
Namun, karena dukungan untuk kepemimpinan Gusti Mangku tetap kuat dari internal masyarakat adat maupun dari luar yang bisa dipersepsikan datang dari Sinuhun PB XII, maka ”ontran-ontran” jilid 2 itu bisa teratasi dengan ”win-win solution” yang antara lain dipenuhinya beberapa syarat yang diminta HKMN. Baru belakangan, satu atau dua syarat yang diminta HKMN itu, datang dari kekuatan di luar masyarakat adat yang bisa dibaca dari luar sebagai bentuk ”intervensi” kekuasaan.
Meski begitu, apa yang dipersepsikan sebagai ”intervensi” kalau konotasinya negatif, memang tidak nampak sama sekali setelah ”ontran-ontran” berlalu. Yang jelas, sejak ”ontran-ontran” pertama apalagi di ”ontran-ontran” kedua, selalu tampak figur Begug Purnomosidi yang pernah menjabat Bupati Wonogiri 2 periode (2000-2010). Tokoh inilah, yang juga tampak ketika ”ontran-ontran” di Keraton Mataram Surakarta sampai pada puncaknya, terjadi insiden ”mirip operasi militer” bulan April 2017.
Dua kali ”ontran-ontran” yang terjadi di Pura Mangkunegaran di awal kepemimpinan SP Mangkunagoro IX, terjadi sebelum peristiwa pergolakan sosial politik yang membuat rezim pemerintahan Orde Baru (orba) jatuh pada tahun 1998. Selama beberapa tahun setelah berhasil lolos dari dua kali ontran-ontran hingga rezim Orba jatuh, beberapa kali SP Mangkunagoro IX ”berkeluh-kesah” kepada Suara Merdeka (kini iMNews.id-Red), mengenai situasi dan kondisi lingkungan kawasan Pura Mangkunegaran yang rusak berat, seperti tidak terurus.
”Padahal, saya sudah patuh. Disuruh pakai baju kuning ya saya nurut. Ternyata, kok ya sama saja,” begitu ungkap ketus Gusti Mangku sambil senyum-senyum khasnya, di sela-sela ”jagongan” santai dengan penulis di lantai Bale Peni di awal tahun 2000-an. (Won Poerwono-bersambung)