Karena Gelar 7 Judul Tari dalam Sepekan, Keraton Raih Rekor Terbanyak

  • Post author:
  • Post published:December 21, 2021
  • Post category:Regional
  • Reading time:7 mins read

Meski Lima Tahun Vakum Karena Pandemi dan ”Kehilangan Pusaka”

IMNEWS.ID – KERATON Mataram Surakarta atau Keraton Surakarta telah mencatat rekor jumlah judul tari/sendratari yang digelar Lembaga Dewan Adat (LDA) selama kurun waktu yang singkat, tiap malam berturut-turut. Melalui event ”Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa” (29/11-5/12) itu, kelembagaan masyarakat adat keraton yang dipimpin Gusti Moeng selaku ketuanya itu, telah mempersembahkan 7 judul tari/sendratari secara berturut-turut 1-2 repertoar setiap malamnya.

”Ini memang rekor terbanyak yang selama ini bisa kami persembahkan kepada publik secara luas. Meski digelar di kagungandalem Pendapa Pagelaran yang notabene lingkungan keraton, tetapi bisa disaksikan publik secara luas, langsung maupun secara tidak langsung (virtual/live streaming). Saat keraton jadi tuan rumah FKN dua kali, tidak bisa menggelar judul tari/sendratari sebanyak itu”.

”Saya membayangkan, bagaimana seandainya digelar saat sudah kembali di dalam keraton. Pasti makin meriah. Pasti lebih banyak judul yang bisa digelar. Pasti menjadi hiburan masyarakat lebih luas lagi, dan bisa lebih panjang waktunya,” ujar Gusti Moeng berandai-andai, meskipun dengan capaian selama sepekan itu pihaknya sudah sangat bersyukur kepada Allah SWT karena telah mengizinkan dan memberi kesempatan dalam rangka ”Karya nak tyasing sasama” dan ”hamemayu hayuning pabrayan agung”.

KARENA JASANYA : Karena jasa-jasa dan dukungan para seniman yang selama ini setia mengabdi dan ikut membesarkan Sanggar Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta dan nama keraton serta event ”Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa” itu, Gusti Moeng menyampaikan penghargaan berupa piagam yang diserahkan saat pembukaan event itu (iMNews.id, 1/12). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Seperti yang diungkapkan Ketua LDA bernama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah di acara ”sungsuman” di Pendapa Pagelaran Sasanasumewa, Minggu malam (iMNews.id, 20/12), event peringatan Hari Jadi Pakasa itu malah menjadi awal kebangkitan keluarga besar keraton. Karena sudah hampir lima tahun ”vakum” dari berbagai kegiatan seni budaya yang ”berkualitas” dan ”berskala” sejak insiden 2017, termasuk di dalamnya selama dua tahun dalam suasana halangan pandemi.

Dalam hitungan rekor, pementasan tujuh judul tari/sendratari selama event ”Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa” memang termasuk paling banyak, bahkan seperti ”tabungan” yang tumpah semua dalam sekali tuang. Karena, ketika mengikuti FKN di Cirebon tahun 2017, tarian yang bisa disajikan hanyalah satu judul, yaitu ”Ramayana”, begitu pula FKN 2018 di Istana  Pagaruyung, Kabupaten Tanah Datar (Sumbar) hanya dramatari ”Begawan Ciptoning”.

Festival Keraton Nusantara (FKN) tahun 2019, LDA mengirim kontingen ke Kedatuan Luwu, Kabupaten Luwu Utara (Sulsel), tetapi juga hanya menggelar satu sajian tari. Setelah itu, selama dua tahun pandemi (2020-2021), FKN ditiadakan tetapi keraton tetap bisa mendapatkan celah untuk menggelar seni budaya, sekalipun melalui event-event seminar rias pengantin gaya Surakarta, pelantikan pengurus Pakasa cabang, wisuda penerima kekancingan gelar sesebutan atau wisuda purnawiyata siswa Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Surakarta yang hanya sekali dalam setahun itu.

TIGA SERANGKAI : Meski tinggal ”tiga serangkai” barisan ”Srikandi Keraton Surakarta”, tetapi KRT Hendri Rosyad tetap hadir memberikan dukungan moral kepada wanita-wanita pendekar seperti GKR Ayu Koes Indriyah, dalam setiap kegiatan yang digelar LDA seperti event ”Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa”, belum lama ini (iMNews.id, 1/12). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

”Tapi waktu ada gelar budaya dalam rangka tingalan jumenengan sebelum 2010, pernah kami keluarkan dalam dua malam berturut-turut, tiap malam tiga judul. Tetapi memang, yang ini (Hari Jadi Pakasa-Red), rekor terbanyak kami keluarkan tujuh judul tari/sendratari. Kerinduan teman-teman seniman yang sudah dua tahun tidak tampil, seakan terbayar lunas dalam event ‘Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’ itu,” tunjuk Gusti Moeng menjawab pertanyaan iMNews.id, tadi siang, sambil mengulang yang disinggung dalam acara ”sungsuman” di Pendapa Pagelaran Sasanasumewa, Minggu malam.

Rasa lega dan lunasnya kerinduan pentas seakan benar-benar terasakan, bila mengingat untuk sampai pada pencapaian itu, harus melalui perjuangan yang sebenarnya menggelikan apabila direnungkan. Karena, untuk melatih tari ”Eko Prawiro”, ”Bedaya Duradasih”, ”Bedaya Retnatama”, ”Manipuri”,  ”Bedaya Sukamulya”, sendratari/fragmen ”Begawan Ciptoning” dan fragmen ”Pusaka Praja Murca” (iMNews.id, 17/11), harus mencari-cari tempat di luar keraton untuk dipinjam sebagai ajang latihan.

Sebuah proses kerja seni yang ideal karena banyak pihak mendapatkan manfaat, tetapi kurang masuk akal karena harus mencari-cari pinjaman tempat, namun hasil yang dicapai justru sangat memuaskan atau perjuangan yang pahit tetapi berbuah manis. Mengapa perumpamaannya harus seperti itu? Tetapi, faktanya sudah berbicara, bahwa Gusti Moeng yang putridalem Sinuhun PB XII apalagi Ketua Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta itu, ternyata harus bersusah-susah meminjam pendapa Kecamatan Pasarkliwon, Kelurahan Manahan, ndalem Djojokoesoeman dan ndalem Kayonan hanya untuk menggelar koleksi seni budaya aset keraton.

PENERUS PERJUANGAN : Karena GKR Timoer Rumbai (putri Raja Sinuhun PB XIII) adalah calon pemimpin penerus perjuangan Gusti Moeng dalam pelestarian budaya Jawa dan peradaban Mataram, maka tak henti-hentinya KRT Hendri Rosyad selalu memberikan dukungan moral dalam setiap kegiatan yang digelar LDA, seperti event ”Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa”, belum lama ini (iMNews.id, 1/12). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam pandangan seorang pemerhati budaya Jawa dan keraton secara spiritual, KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, liku-liku perjalanan dan perjuangan dalam melestarikan budaya (Jawa) serta peradaban (Mataram), memang seperti sudah menjadi jalan hidup Gusti Moeng. Diakui, mungkin saja, tanpa Gusti Moeng perjalanan Keraton Mataram Surakarta tidak seperti yang bisa disimak dalam beberapa dekade terakhir, upaya pelestarian seni budaya dan peradaban yang bersumber dari keraton, juga tidak akan berliku, rumit tetapi ”mengesankan” seperti yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir ini.

”Ini berdasar fakta-fakta yang saya lihat. Artinya, semua yang saya sebut itu sudah benar-benar terjadi dan benar-benar dilakukan Gusti Moeng. Meskipun tidak bisa dipungkiri, karena adanya dukungan yang luar biasa dari berbagai pihak. Artinya, di situ Gusti Moeng bisa menginisiasi dan menghimpun dukungan secara luas dan luar biasa. Tetapi sekali lagi, kalau tidak ada beliau, mungkin cerita keraton akan lain. Atau tidak seperti yang selama ini kita lihat,” ujar kerabat yang mengaku selalu memberi dukungan moral setiap upaya pelestarian seni budaya dan peradaban yang dimotori Gusti Moeng itu.

Kini, sederet wanita ”pendekar” yang selama ini berjuang bersama Gusti Moeng dalam pelestarian seni budaya Jawa dan peradaban Mataram, memang sudah tidak genap ”Enam Srikandi” setelah Gusti Galuh (almh), Gusti Sekar (almh) dan Gusti Retno (almh) mendahului. Tetapi, KRT Hendri Rosyad memandang, ”tiga serangkai” Gusti Moeng, Gusti Ayu dan Gusti Timoer masih tetap tangguh menghadapi kerasnya zaman dan perubahan, bahkan diyakini Gusti Timoer (putri raja Sinuhun PB XIII) akan mendampingi KGPH Mangkubumi (adiknya), mampu menerima estafet untuk meneruskan perjuangan Gusti Moeng demi kewibawaan, harkat dan martabat Keraton Mataram Surakarta. (Won Poerwono)