Saat Cerita Tentang Dirinya yang Aktivis, “Putri Mbalela” yang Menolak Raja “Menjadi” Gubernur
BANTUL, iMNews.id – Ada sebuah forum sarasehan yang digelar masyarakat Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul (DIY), menjadi tempat bercurah “uneg-uneg” Gusti Moeng tentang banyak hal yang menarik. Acara bertema “Gendu-gendu Rasa” itu digelar di petilasan Sela Gilanglipuro, Rabu (24/4) malam mulai pukul 20.00 WIB.
Curah “uneg-uneg” keras dan tajam berdasar data dan fakta (hukum dan sejarah) itu, mungkin baru kali pertama didengar sebagian masyarakat Jogja dari Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA). Karena, semua tampak “terperangah” heran, begitu mendengar ungkapan keras tokoh yang pernah dihadiahi nama “Putri Mbalela” ini. .
“Saya ini (bekas) aktivis kampus lo. Kalau tidak ada saya, mungkin Kraton Mataram Surakarta sudah tidak ada. Karena di tahun 1992, ada seorang pengusaha yang didukung penguasa dan orang dalam, ingin mendirikan hotel di dalam kraton. Saya menolak tegas. Salah satu saksinya itu, seorang wartawan (dulu bekerja di) Suara Merdeka”.
Sambil menunjuk ke arah penulis (iMNews.id), Gusti Moeng melanjutkan ungkapan tandasnya. “Saya berani berbicara (keras), karena berdasar data dan fakta (hukum dan sejarah). Dan saya berani berbicara seperti ini, karena ada yang saya perjuangkan. Saya berjuang untuk menegakkan adat. Dan mendapatkan rasa keadilan bagi kraton.”
Bagi warga masyarakat setempat yang hadir malam itu, tampak “terperangah” heran terhadap keberanian berbicara tokoh wanita dari lingkungan kraton ini. Mengingat, Gusti Moeng memiliki “darah Madura”. Karena dua “Raja” (Sinuhun PB V) dan PB VII), lahir daru dua ibu yang semuanya adalah putri RT Adipati Tjakra Adiningrat, Madura.
Dalam “sesorah” itu juga dijelaskan Gusti Moeng, bahwa Sinuhun PB IV mengambil dua istri secara berurutan, yang semuanya adalah putri RT Adipati Tjakra Adiningrat, dari (Kabupaten) Pamekasan, Madura (kini Jatim-Red). Istri pertama RAy Handaya melahirkan Sinuhun PB V, dan istri kedua RAy Sakaptinah melahirkan Sinuhun PB VII.
Bagi sekitar 25 warga Putri Narpa Wandawa dan Pasipamarta, mendengar ekspresi Gusti Moeng di forum “Gendu-gendu Rasa”, malam itu, sudah jadi hal biasa. Misalnya, ketika Gusti Moeng menyebut seorang “Raja” sudah menjadi “bawahan” seorang Presiden, itu menjadi pertanda ada potensi ancaman kraton-kraton di Jawa akan habis dan selesai.
Maka, tunjuknya lagi, dia berharap kalau pihaknya berhasil memperjuangkan hak konstitusional kembalinya status Provinsi Daerah Istimewa Surakarta, sangat diharapkan tidak mencontoh DIY. Maka dalam rangka inilah, Gusti Moeng menyebut ada perjuangan yang gigih untuk menegakkan paugeran adat, sekaligus rasa keadilan itu.
“Dalam pasal 18 UUD 45 sudah jelas disebut, Indonesia terbagi dalam 8 provinsi dan 2 daerah istimewa, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Penjenengan sadaya ngertos menapa mboten? Yang untuk DIY sudah diberikan haknya, tetapi Gubernur dan wakilnya diisi raja dan Pakualaman. Itu berarti, keduanya harus tunduk pada presiden”.
“Mudah-mudahan, untuk Surakarta nanti tidak begitu. Gubernur dan wakilnya bisa dari keturunan raja. Tetapi harus dipilih, untuk memenuhi aspek demokrasinya. Rajanya, biar berdiri sebagai raja saja. Ini termasuk pemikiran yang belajar dari pengalaman saat uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2012 lalu,” tandas Gusti Moeng.
Anak ke-25 dari 35 putra/putri Sinuhun PB XII yang pernah “diberi sebutan” Putri Mbalela, tetapi mendapatkan penghargaan “The Fukuoka Culture Prize Award” di Jepang tahun 2014 itu, juga merespon hal esensial yang diungkapkan Drs Mardiyono selaku Lurah Gilangharjo dan Slamet Pamuji selaku Kepala Kundo Kebudayaan Pemkab Bantul.
Drs Mardiyono berharap ada dukungan Gusti Moeng untuk mewujudkan Desa Gilangharjo sebagai Desa Budaya Mandiri dan destinasi wisata spiritual terkenal yang “menyejahterakan”. Sementara Slamet Pamuji mengungkapkan bahwa, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa sudah kehilangan simbol-simbol Jawanya yang sangat mendasar.
Menyikapi realitas itu, Gusti Moeng membenarkan. Tetapi sekaligus menjelaskan, bahwa dirinya pernah dituduh musyrik, karena kerja adatnya di kraton dianggap hanya “makani setan”. Dia bahkan mengaku pernah sendirian datang ke Masjid Agung, untuk menghentikan penceramah (tamu) yang ucapannya malah menjelek-jelekkan kraton.
“Saya katakan, embah sampeyan dereng digawe, eyang kula sampun mbangun masjid. Sakniki kula tantang, bapak-bapak wantun mboten ngajak garwane mangkat jagong ‘jarikan’ lan nganggo kebaya’?. Wani mboten?. Kalau soal bahasa Jawa, dulu yang mengajarkan ‘kan ibu-ibunya. La sekarang, apa ibu-ibunya bisa berbahasa Jawa dengan baik?,” tanyanya.
Intelektual kampus UGM, Dr Sriyono yang mendapat kesempatan berbicara, menyebut perkembangan industri pertanian Indonesia yang sangat merosot. Sementara, Dr Purwadi (Lokantara Jogja), menyuguhkan tembang “Dandang Gula”, yang diteruskan KRT Dalijo Renggo (seniman Jogja), menyajikan tembang dari “Serat Wulangreh”, karya Sinuhun PB IV. (won-i1).