Menjelang Wiyosan Jumenengan ke-32, Sang Penjaga Budaya Berpulang (6-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:August 22, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read

Karya Bisa Jadi Sarana Mengukur Ketokohan Pemimpin Adat

IMNEWS.ID – DENGAN segala plus-minusnya, hadirnya sosok pemimpin adat bernama KGPAA Mangkunagoro (MN) IX yang notabene generasi produk modern karena lahir di alam republik, jelas masih banyak sisi positifnya yang bisa dikenang oleh semua yang ditinggal, terutama warga Dinasti Mangkunegaran. Dan seperti sudah menjadi tradisi masyarakat adat serta publik secara luas yang ditinggalnya, karya-karya nyata yang tertinggal adalah menjadi prioritas paling penting untuk mengukur/menakar peran, fungsi, tugas dan makna ketokohannya.

Publik yang lahir di zaman modern atau setelah alam republik seperti sekarang ini, sudah semakin canggih dan teliti serta kritis ketika melihat dan menakar ketokohan seseorang dari lingkungannya, apalagi dari lingkungan adat terdekat, yaitu para pemimpin yag muncul dalam sejarah raja-raja di Jawa. Apalagi tokoh-tokoh pemimpin dari lingkungan Dinasti Mangkunegaran, atau lingkungan Dinasti Mataram terutama Mataram Surakarta.

Tapak dan jejak sejarah peradaban, kini pasti dengan mudah dilihat dari situs-situs peninggalan sejarah yang berupa bangunan, kawasan serta dokumen manuskrip atau bisa dikategorikan peninggalan yang intangable (bukan bersifat benda) maupun tangable (bersifat benda). Semua itu, bisa disebut dengan satu kata yaitu ”karya”. Jadi, ketika manusia sekarang ingin melihat para tokoh pemimpin di masa lalu, terutama dalam sejarah panjang raja-raja di Jawa, cara melacak yang paling mudah yaitu dengan mencemarti karya-karyanya.

Oleh sebab itu, ketika KGPAA MN IX berpulang (iMNews.id, 13/8) hanya tinggal beberapa hari menjelang ultah tahtanya yang agendanya jatuh pada tanggal 9 Sura Tahun Alip 1955 atau 18 Agustus lalu, tentu masih banyak yang bisa ditelusuri dari karya-karyanya, lalu dicermati untuk kemudian dikenang. Begitu juga, masyarakat adat Dinasti Mangkunegaran atau publik secara luas ketika ingin mencari tahu siapa KGPAA MN VIII, bagaimana peran, fungsi, tugas dan makna ketokohannya.

MENJADI SAKSI : Sri Sultan HB X dan KGPAA Mangkunagoro IX, dua generasi pengganti sang ayah sebagai pemimpin adat yang sama-sama menjadi saksi karya-karya yang dihasilkan di lingkungan masing-masing lembaga yang dipimpinnya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Mudah Menelusuri MN IX

Sebagai pembanding, dengan cara yang sama masyarakat adat Dinasti Mataram secara lengkap dan khusus Mataram Surakarta, bisa mencari tahu siapa Sinuhun Paku Buwono (PB) XII, seperti peran, fungsi, tugas dan makna ketokohannya?. Dengan cara yang sama pula, suatu saat publik secara luas atau yang berada di internal masyarakat adatnya, pasti akan mencari tahu siapa tokoh pengganti Sinuhun PB XII, bagaimana peran, fungsi, tugas dan makna ketokohannya.

Kalau cara melacaknya dengan mengidentifikasi karya-karyanya, lalu karya-karya apa yang dihasilkan tokoh pengganti Sinuhun PB XII? Kalau penggantinya Sinuhun PB XIII, lalu apa karya-karya nyata yang telah diperbuat?. Apalagi jika mengingat, durasi kepemimpinan generasi kedua pengganti Sinuhun PB XII itu, sudah berjalan 17 tahun sejak proses suksesi 2004.  

Percaturan soal ketokohan di lingkungan Dinasti Mangkunegaran akibat peristiwa wafatnya SP MN IX (iMNews.id, 13/8), sangat wajar bisa menjadi pijakan publik secara luas untuk melihat keberadaan tetangga dekatnya yaitu Keraton Mataram Surakarta, karena masih ada ikatan saudara se-Dinasti Mataram. Apalagi, dua pemimpin adat masing-masing yaitu SP MN VIII dan SISKS PB XII, adalah sama-sama mengambil keputusan bersepakat iktu mendirikan NKRI pada 17 Agustus 1945.

Berikut, publik secara luas yang sudah berada di zaman modern berteknologi tinggi, sangat gampang menerima informasi dan melacak detail-detailnya ketika dua lingkungan masyarakat ada yang dipimpin dua tokoh itu melakukan proses suksesi. Publik secara luas dan dunia pasti mengetahui peristiwa alih kepemimpinan dari SP MN VIII ke tangan SP MN IX pada tahun 1988, terlebih ketika tanggal 13 Agustus lalu generasi kedua itu wafat di usianya ke-70 tahun.

KARYA NYATA : Walau nyaris tidak pernah dipublikasikan, tradisi KGPAA Mangkunagoro IX memaknai datangnya bulan Ruwah (Kalender Jawa) dengan kegiatan kuliner membuat apem di ruang privasinya, sebelum tahun 2000-an, jelas merupakan karya nyata yang benar-benar dilakukan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dilacak dari Karya-karyanya

Berkait dengan beberapa peristiwa di Pura Mangkunegaran, publik secara luas dan dunia juga pasti gampang mengetahui bagaimana peristiwa alih kepemimpinan generasi kedua setelah Sinuhun PB XII. Semua bisa dilacak dari informasi yang tersebar melalui media yang semakin canggih, dan yang bisa menjadi pijakan untuk mengetahui sejarah seorang tokoh dan perjalanan hidupnya, akan lebih mudah kalau dimulai dari mencari dan mengenal karya-karyanya.

Sebagai sesama generasi kedua, KGPAA MN IX sudah memiliki sederet catatan karya-karyanya untuk melengkapi karya-karya para pendahulunya, dari KGPAA MN I hingga dirinya, dari sejak ”Kadipaten” Mangkunegaran berdiri hingga sekarang. Begitu pula bagi generasi kedua di Keraton Mataram Surakarta, yaitu Sinuhun PB XIII, tentu juga bisa dilacak dari karya-karyanya, sejak yang bersangkutan jumeneng nata di tahun 2004 hingga kini.

Dengan melihat cara-cara masyarakat modern melacak ketokohan seorang pemimpin adat (dan juga pemimpin lain) yang makin mentradisi, maka proses suksesi yang pernah dialami Pura Mangkunegaran di tahun 1988 memang tergolong sebagai kerja efektif dan efisien. Dalam waktu kurang dari lima tahun, KGPAA MN dan para pendukungnya bisa mengatasi ”ontran-ontran” yang berlangsung dua kali, sehingga durasi waktu yang dijalaninya hingga 33 tahun tidak sia-sia, melainkan menghasilkan karya-karya nyata yang bisa diteladani dan dikenang baik publik secara luas.

Hal-hal positif di samping yang negatif ini, tentu bisa menjadi pelajaran Sinuhun PB XIII yang juga mengalami guncangan ”ontran-ontran” sampai berlarut-larut dalam waktu yang sangat panjang sejak 2004. Sudah terbukti, selama 4 tahun berjalan sejak insiden April 2017 hingga kini, nyaris tidak memiliki karya berarti.

IKUT JADI SAKSI :  Keberadaan karya monumental berupa ”singup” Pendapa Agung yang pernah diganti atas prakarsa KGPAA Mangkunagoro IX, sempat dicermati pemerhati budaya Jawa dan keraton KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito di sela-sela melayat teman sealmamater di FH UNS di Pura Mangkunegaran, 13 Agustus lalu. (foto : iMNews.id/dok)

Jangan Sampai Sia-sia

Oleh sebab itu, jalan satu-satunya yang ideal untuk memudahkan memulai berkarya atau memberi manfaat kepada publik secara luas, adalah keikhlasan untuk selalu membuka ruang dialog terjadinya musyawarah untuk mencari mufakat, selain adanya pedoman paugeran adat (Mataram) yang harus dijunjung tinggi. Tokoh-tokoh berpengaruh di lingkungan keluarga, tentu bisa memusyawarahkan realitas yang ada demi terjaganya kesinambungan Dinasti Mataram untuk eksistensi di masa depan.

Untuk itu, saran dan harapan KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito (iMNews.id, 20/8) sangatlah tepat, bahkan publik secara luas juga memiliki akal sehat yang sama dengan harapan-harapan ideal seperti itu. Karena, contoh-contoh yang bisa dijadikan teladan atau ”kaca brenggala” sudah ada, di lingkungannya sendiri saat proses suksesi 1988 dan di lingkungan Keraton Mataram Surakarta tahun 2004.

”Jadi memang benar kalau ada pepatah ‘gajah mati meninggalkan gading’. Sebaiknya, karya atau manfaat bagi kehidupan yang pasti akan dikenang banyak orang, dalam waktu yag panjang. Mudah-mudahan, siapapun yang akan memimpin Pura Mangkunegaran, orientasinya tetap kekaryaan. Begitu pula di Keraton Mataram Surakarta”.

”Meskipun, yang jadi motor penggerak dan banyak berkarya malah Gusti Moeng (GKR Wandansari Koes Moertiyah-Ketua LDA). Tetapi sejarah kelak pasti akan mencatat. Gusti Moeng dan LDAnya memang yang banyak berkarya, tetapi terjadi di saat Sinuhun PB XIII jumeneng nata sampai sekarang ini,” papar KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito menunjukkan, saat diwawancarai iMNews.id kemarin. (Won Poerwono-bersambung)