Rezim Penguasa Berganti, Mangkunegaran ”Pesta” Bantuan Renovasi
IMNEWS.ID – BEGITU cepat berakhirnya peristiwa ”ontran-ontran” jilid (seri) 1 di tahun 1988 dan jilid 2 di awal 1990-an yang dihadapi KGPAA Mangkunagoro IX (1988-2021), di satu sisi memang mengesankan kemampuan satu atau semua pihak dalam menyelesaikan terutama persoalan internalnya. Di sisi lain, bisa juga kecepatan terselesaikannya persoalan itu karena beberapa faktor yang multi tafsir.
Salah satu tafsirnya, adalah sikap akomodatif KGPAA Mangkunagoro IX ketika menyelesaikan persoalan ”ontran-ontran” dengan ”win-win solution”. Sebab, yang dihadapi saat itu bukan hanya internal kerabatnya saja, melainkan berhadapan pula dengan pihak eksternal yang berasal dari rezim penguasa Orde Baru (Orba), secara langsung ataupun tidak langsung.
Satu hal lagi yang membuat proses penyelesaian itu cepat, karena saat potensi ”perseteruannnya” lebih kecil atau lebih sempit, mengingat jumlah saudara kandung KGPAA Mangkunagoro IX lebih sedikit. Atau dalam kata lain, jumlah putra/putridalem KGPAA Mangkunagoro VIII, tinggal 6 orang yang terdiri 3 lelaki dan GPH Sudjiwo Kusumo paling tua dan sisanya tiga wanita yang jelas tidak punya hak atas tahta.
Sedikit atau banyaknya jumlah yang berkait dengan besar atau kecilnya potensi friksi atau perseteruan itu, tentu saja ketika dibandingkan dengan jumlah putra/putridalem pihak lain dalam hal ini Sinuhun Paku Buwono (PB) XII dalam, konteks proses suksesi tahun 2004. Karena, proses alih kepemimpinan ke tangan Sinuhun PB XIII itu, ”dimeriahkan’ dengan ”ontran-ontran” yang sungguh lebih hebat di tahun 2004, berlanjut di tahun 2010 dan memuncak di tahun 2017.
Potensi Konflik Lebih Besar
Sebagai pembanding, ”ontran-ontran” jilid 1 sampai tiga atau bisa lebih banyak lagi bila diungkap detail tahapannya, sampai kini sudah berlangsung selama 17 tahun tetapi tak ada tanda-tanda akan selesai. Mengapa bisa sampai begitu panjang dibanding yang terjadi di Pura Mangkunegaran?, jawabannya karena jumlah putra/putridalem Sinuhun PB XII waktu itu masih utuh 35 orang, sekitar 15 orang adalah anak lelaki.
Dengan jumlah putra/putridalem terutama anak lelakinya yang lumayan banyak kelipatannya dibanding GPH Sudjiwo Kusumo bersama dua adiknya, jelas menjadi potensi friksi yang luar biasa besar, panjang dan rumit. Terlebih, belasan anak lelaki itu berasal bukan dari satu ibu, melainkan setidaknya terlahir dari empat ibu. Sedangkan GPH Sudjiwo Kusumo dan dua adik lelaki serta tiga kakak perempuannya, terlahir dari satu ibu, yaitu GK Putri Mangkunagoro (VIII).
Hal yang bisa menjadi pembandingnya sudah jelas, dalam rangka untuk membedakan mengapa ”ontran-ontran” yang terjadi di Pura Mangkunegaran melakukan proses suksesi di tahun 1988 bisa berakhir sangat cepat. Sementara, ”ontran-ontran” di Keraton Mataram Surakarta yang terjadi sejak proses suksesi 2004 hingga kini sudah 17 tahun tak ada tanda-tanda bisa berakhir.
Dengan dasar situasi dan kondisi riil yang menjadi potensinya, sangat masuk akal apabila persoalan yang dihadapi KGPAA Mangkunagoro IX itu lebih cepat bisa diatasi. Dan karena hanya butuh waktu sekitar 5 tahun persoalan yang mencuat dalam bentuk ”ontran-ontran” jilid 1 dan 2 itu selesai, maka ketika dilihat durasi waktu 33 tahun kepemimpinannya, tersisa waktu yang panjang pula untuk ”berbuat banyak” mengisi waktu dengan hasil sejumlah karya nyata (iMNews.id, 16/8).
Full Support Gusti Putri
Di masa kekuasaan rezim Orba sejak proses suksesi 1988 hingga rezim itu tumbang di tahun 1998, karya-karya KGPAA Mangkunagoro IX memang terhitung masih sedikit. Meski tidak begitu ”happy” hasil akhirnya meskipun selalu menurut mengenakan baju ”kuning”, tetapi cita-citanya untuk mewujudkan komitmennya dalam menjalankan tugas, kewajiban dan tanggungjawab sebagai pemimpin Dinasti Mangkunegaran, tetap bisa ditunjukkan secara nyata.
Dengan dana yang dimiliki termasuk hasil yang dikumpulkan dari kalangan kerabat yang peduli, di tahun 1990-an KGPAA Mangkunagoro IX berhasil mewujudkan impiannya untuk mengganti langit-langit atau ”singup” Pendapa Agung Pura Mangkunegaran. Itu merupakan kebanggaan tersendiri KGPAA Mangkunagoro IX, yang selalu mendapat full support GK Putri Mangkunagoro untuk membenahi sisa-sia peninggalan leluhur, agar eksistensi dan usianya bertambah panjang.
Dari catatan yang dihimpun iMNews.id, sampai memasuki zaman republik, kompleks kawasan Pura Mangkunegaran dalam batas tembok keliling yang lingkarnya sejauh 1,2 KM itu, nyaris belum pernah mendapatkan bantuan renovasi dari pemerintah (orba) hingga rezim berakhir tahun 1988. Sementara, kondisi hampir semua bangunan yang ada, terutama Pendapa Agung yang berada di posisi paling depan itu, waktu itu sudah rusak parah di sejumlah titik, termasuk jebol ”singup”nya.
Padahal, pendapa dengan atap penutup yang begitu luas itu, merupakan upaya untuk melestarikan peninggalan ”nagari” Mataram, ketika pusat pemerintahannya Sinuhun PB II masih berada di Kartasura tetapi dikacaukan oleh ”ontran-ontran” pemberontakan Mas Garendi (Dr Purwadi-Lokantara Jogja). Sinuhun PB III yang sudah jumeneng nata di ”nagari” Mataram Surakarta menggantikan sang ayah (Sinuhun PB II), mengizinkan Pangeran Sambernyawa jumeneng nata sebagai KGPAA Mangkunagoro I di Kadipaten Mangkunegaran (17 Maret 1757), dan memberikan Pendapa Agung Kepatihan sebagai pelengkap keindahan ”Praja” Mangkunegaran.
Memetik Buah Manis
Melihat fakta-fakta itu, apa yang dilakukan KGPAA Mangkunagoro IX bersama GK Putri Mangkunagoro (IX) merenovasi ”singup pendapa agung, jelas merupakan bentuk pemimpin yang sangat berbakti kepada leluhurnya. Dan itu berarti merupakan sikap bertanggungjawab dalam menjalankan amanah sebagai pemimpin, untuk melestarikan, merawat dan menjaga eksistensi Dinasti Mangkunegaran, semangat peradaban Mataram dan budaya Jawa.
Meski KGPAA Mangkunagoro IX merupakan generasi kedua (di alam republik) yang sering tampak berpenampilan modis sebagai insan modern, tetapi apa yang ada di balik citra visualnya tetap mencerminkan sebagai sosok pemimpin yang bertanggung jawab. Terutama dalam menjaga tetap tegaknya paugeran adat (Mataram), dan bisa beradaptasi dengan suasana untuk bisa bertahan di masa-masa sulit (1990-an), yang akhirnya memetik buah manis saat memasuki pergantian era atau rezim.
Karena, begitu menginjak tahun 2.000-an, pemerintah pelan-pelan memperhatikan situasi dan kondisi Pura Mangkunegaran, dan nyaris setiap sekali periode kepemimpinan seorang presiden (5 tahun), boleh dikatakan selalu ada bantuan proyek renovasi. Bahkan, hingga saat KGPAA Mangkunagoro tutup usia di usia 32 tahun tahtanya hingga 13 Agustus atau 4 Sura Tahun Alip 1955 Windu Sancaya ini, Pura Mangkunegaran di bawah kepemimpinannya bisa dikatakan sedang menikmati ”pesta” bantuan renovasi.
Pekerjaan renovasi terakhir senilai belasan milyar rupiah itu, bahkan belum sempat dilakukan serah terima, karena masih dalam proses pengerjaan sampai beberapa waktu lagi. Hingga, ketika berlangsung upacara pelepasan jenazah Sang Penjaga Budaya itu, Minggu (15/8), pekerjaan proyek terpaksa dihentikan dan baru diteruskan lagi mulai Senin (16/8). (Won Poerwono-bersambung)