Menjelang Wiyosan Jumenengan ke-32, Sang Penjaga Budaya Berpulang (2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:August 17, 2021
  • Post category:Regional
  • Reading time:7 mins read

Asga dan Batik Buketan Pakis, Juga Karya Nyata SP Mangkunagoro IX

IMNEWS.ID – MENGENANG perjalanan hidup KGPAA Mangkunagoro IX yang sering juga dikenal dengan Sri Paduka (SP) Mangkunagoro IX, jelas tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang tampilnya para pemimpin di ”Kadipaten” Mangkunegaran yang didirikan Pangeran Sambernyawa, Sang Pahlawan Nasional yang bergelar KGPAA Mangkunagoro I. Artinya, dalam sejarah yang panjang itu, Sinuhun Paku Buwono (PB) III (1749-1788) berbagi tugas dan kewajiban dengan KGPAA Mangkunagoro I, untuk bersama-sama merawat peradaban Mataram dan Jawa di wilayah masing-masing.

Kurang-lebih semangat persaudaraan dalam merawat peradaban seperti itulah, yang tetap dijaga SP Mangkunagoro VIII dan Sinuhun PB XII ketika bersama-sama menghadapi perubahan zaman, yaitu bersama-sama menjadi bagian dari NKRI. Bahkan, keduanya juga sama-sama pernyataan yang disebut ”Maklumat SP Mangkunagoro VIII” dan ”Maklumat Sinuhun PB XII” bertanggal yang sama, yaitu 1 September tahun 1945.

Bahkan seperti diketahui, dua pemimpin adat penerus Dinasti Mataram di Surakarta Hadiningrat itu bersama-sama mengikuti delegasi RI yang dipimpin Wapres Moh Hatta, untuk menandatangani perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda), pada bulan September 1949. Dua maklumat itu diterbitkan, setelah Presiden RI Ir Soekarno mengirim Piagam Kedudukan kepada dua pemimpin tersebut, pada tanggal yang sama, yaitu 19 Agustus 1945.

SESAMA PENJAGA : Sebagai sesama penjaga budaya/peradaban Jawa, dua tokoh pemimpin adat Dinasti Mataram yang sudah almarhum ini, hubungan persaudaraan semasa hidupnya sangat hangat. SP Mangkunagoro IX juga selalu hadir saat Sinuhun PB XII punya acara di Keraton Mataram Surakarta, sebelum 2004.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Seolah Berbagi Tugas

Semangat persaudaran yang sangat dipahami Keraton Mataram Surakarta di bawah kepemimpinan Sinuhun PB XII dan Kadipaten Mangkunegaran di bawah kepemimpinan KGPAA Mangkunagoro VIII, memang terkesan pupus saat SP Mangkunagoro (VIII) wafat di tahun 1988. Tetapi ternyata tidak seperti itu faktanya, karena ikatan persaudaraan di antara kerabat Catur Sagatra penerus Dinasti Mataram itu terus berlanjut, bahkan setiap saat menampilkan keakrabannya antara SP Mangkuagoro IX dengan ”sang paman” yaitu Sinuhun PB XII.

”Saya mengormati Sinuhun sebagai paman saya sendiri, pengganti ayah saya,” ucap KGPAA Mangkunagoro IX yang selalu dikenang penulis (kini iMNews.id-Red) yang terdokumentasi di harian Suara Merdeka, terbitan tahun awal tahun 1990-an, yang peristiwanya tidak jauh dari ”ontran-ontran” seri 2 proses alih kepemimpinan di Pura Mangkunegaran, waktu itu.

Walau hubungan persaudaraan antara SP Mangkunagoro IX dengan ”sang paman” untuk bersama-sama mengemban tugas dan kewajiban merawat peradaban Mataram/Jawa hanya sampai 2004 saat Sinuhun PB XII wafat, tetapi eksistensi kedua lembaga yang ditinggalkannya masih jelas eksis. Bahkan, ada banyak karya-karya diwujudkan oleh SP Mangkunagoro IX, meskipun yang besangkutan adalah generasi kedua yang lebih banyak menghirup suasana modernitas.

SALING MENGHORMATI : Selain tugas dan kewajiban bersama merawat peradaban Mataram/Jawa, antara SP Mangkunagoro IX dan sang paman Sinuhun PB XII, juga saling menghormati. Seperti yang tampak dalam foto ini, Sinuhun hadir dalam sebuah acara yang digelar KGPAA Mangkunagoro IX di awal tahun 2000-an. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Untuk Melindungi Cirikhas

Sama-sama banyak berkarya di alam republik dan dalam suasana modern, SP Mangkunagoro IX lebih secara langsung mewujudkan karya-karyanya yang disesuaikan dengan kebutuhan, sampai saat wafatnya, 13 Agustus lalu. Sementara, Sinuhun PB XII yang diberi umur panjang sampai datang milenium kedua, ternyata juga sangat akomodatif dengan konsep ”Nut jaman kelakone”, sehingga sangat banyak karya diwujudkan secara kelembagaan.

Begitu juga karya-karya pribadi putra/putridalem khususnya GKR Wandansari Koes Moertiyah, yang memiliki ciri-ciri kemampuan penguasaan seni budaya dan semangat yang sama dengan GPH Herwasto Kusumo (alm), adik kandung SP Mangkunagoro IX, ketika memimpin Sanggar Tari Suryo Sumirat. Meski usia GPH Herwasto Kusumo lebih singkat, meninggal di usia 50-an, tetapi bisa menginisiasi terwujudnya tarian sakral Bedaya Suryosumirat. Juga motif batik khas Pura Mangkunegaran yang disebut ”Buketan Pakis”, untuk melanjutkan/menuntaskan karya ibudanya, GK Putri Mangkunagoro (permaisuri SP Mangkunagoro VIII).  

Karya semasa SP Mangkunagoro IX berikutnya, adalah terwujudnya sebuah lembaga pendidikan tinggi yang bernama Akademi Seni Mangkunegaran atau Asga, yang berkampus pusat di kompleks ndalem Prangwedanan. Akademi yang berbasis seni tari, karawitan dan pedalangan (Pawiyatan Dalang Mangkunegaran-PDMN) ditambas seni peran/sastra itu, menggunakan kompleks ndalem Prangwedanan sebagai tempat perkuliahan, selain kantor PDMN di kampung Darsanan, Kelurahan Madyataman, Banjarsari.

BENTUK PENGHORMATAN : Jokowi (kini Presiden RI) yang selalu hadir dalam setiap ada event di Pura Mangkunegaran ketika dirinya menjabat Wali Kota Surakarta (2005-2012), menjadi contoh bentuk penghormatan pemerintah sesuai amanat pasal 18 UUD 1945. Apalagi yang dilakukan KRT Hendri Wrekso Puspito sebagai pemerhati budaya Jawa dan keraton. (foto : iMNews.id/dok)

Sudah Banyak Menyimpang

Asga adalah wujud riil upaya pelestarian seni budaya gaya Surakarta yang khas Kadipaten Mangkunegaran, karena keberadaan Sekolah Menengah Karawitan Surakarta (kini SMKN 8) dan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, dianggap tidak bisa mewakili atau melestarikan cirikhas Pura Mangkunegaran. Bahkan, Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta GKR Wandansari Koes Moertiyah yang juga Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayaan Keraton Mataram Surakarta itu, menilai kedua lembaga seni itu sudah menyimpang dari misi perawatan dan pelestarian seni budaya khas Surakarta atau Keraton Mataram Surakarta.

Mengenang SP Mangkunagoro IX berikutnya, adalah melalui wujud visual perubahan secara fisik sejumlah bangunan dan kawasan pendukungnya yang berangsur-angsur menjadi lebih baik dari tahun ke tahun, kira-kira antara mulai 1990-an hingga kini. Bahkan sampai saat dia wafat, pekerjaan proyek renovasi untuk memperbaiki tata ruang halaman depan, samping hingga drainase yang terhubung ke kompleks ndalem Prangwedanan, sedang dalam proses hingga terpaksa dihentikan untuk keperluan upacara pelepasan jenazah almarhum (iMNews.id, 13/8).

”Dulu, waktu mas Mangku (SP Mangkunagoro IX) mau naik tahta, minta doa restu kepada Sinuhun (PB XII). Saya salah seorang saksinya, waktu itu. Saya dan Gusti Heru (GPH Herwasto Kusumo/alm), berkawan baik dan seakan berbagi tugas. Mas Heru sangat peduli dan ektif merawat seni budaya Mataram/Jawa khas Mangkunegaran melalui Sanggar Suryosumirat, saya di keraton ngurusi Sanggar Pawiyatan Beksa Keraton Surakarta”.

”Soal adanya Asga, saya sangat setuju. Karena tujuannya untuk melestarikan cirikhas yang ada. Sedangkan lembaga pendidikan yang ada di luar sekarang ini, sudah menyimpang. Sudah banyak menghilangkan cirikhasnya,” ujar Gusti Moeng mengisahkan kedekatannya dengan Gusti Heru, jauh sebelum Gusti Mangku wafat.
(Won Poerwono-bersambung)