Karena Kondisi Luar Biasa, Sesuatu yang “Wajib” Bisa Berubah (8-habis)

  • Post author:
  • Post published:July 10, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read

Ungeling Gangsa Berubah Menjadi Profesi Master of Ceremony

IMNEWS.ID – BAGAIMANA ceritanya, dalam sebuah resepsi/hajad tatacara upacara adat perkawinan Jawa gaya Surakarta, bisa dipandu seorang master of ceremony (MC) atau pengatur acara? Pertanyaan ini memang menjadi aneh di zaman yang segalanya perlu diatur atau dipandu seperti sekarang ini, dengan tujuan agar sebuah aktivitas yang dipandu atau diatur itu bisa berjalan tertib, lancar, aman, efektif dan efisien.

Warga peradaban masa kini, kebanyakan kurang begitu memperhatikan mengapa sebuah aktivitas atau acara yang berkategori resmi seperti upacara sekalipun yang melibatkannya, tiba-tiba diikuti begitu saja dari awal hingga selesai. Banyak yang tanpa menyadari bahwa aktivitas itu berlangsung karena ada sebuah komponen, yaitu figur orang yang mengatur atau memandu jalannya aktivitas tersebut.

Kebiasaan mengatur jalannya aktivitas seperti itu, tentu saja datangnya dari bangsa/peradaban barat yang lebih dulu membiasakan diri hidup sesuai perkembangan pola dan cara berpikirnya yang selalu berlandaskan keilmuan, di antaranya logika. Karena, logika yang menunjukkan segala aktivitas manusia agar berjalan tertib, lancar, aman, efektif dan efisien, berikut segala macam makna lain pendukungnya yang terwakili dalam sosok figur pengatur/pemandu aturan yang sedang berjalan itu.

Karena tuntutan keilmuan yang dianggap bisa mendasari semua aktivitas dalam segala sisi kehidupan manusia, maka hampir semua aktivitas yang berupa acara atau upacara apalagi forum ilmiah terutama di kampus, selalu menempatkan komponen pemandu/pengatur jalannya acara menjadi hal yang perlu dan penting. Bila di forum ilmiah dan sarasehan dikenal ada sosok figur moderator, di tempat upacara pada umumnya ada pengatur acara atau MC. Dan di upacara adat perkawinan gaya manapun utamanya Surakarta, kini pasti ada sosok petugas juru pranatacara atau juru pambiwara atau juru pamedar sabda.

Namun seiring perkembangan zaman dan perubahan sosial (iMNews.id, 28/6), komponen pengatur/pemandu acara yang berlaku di dalam aktivitas tatacara upacara adat perkawinan Jawa gaya Surakarta menjadi ”kalah pamor”. Atau bahkan tenggelam oleh melesatnya supremasi usaha jasa rias pengantin, yang belakangan sudah meningkat ke level Wedding Organizer (WO). Di satu sisi, usaha jasa profesi rias lebih awal dicari utuk persiapan keperluan hajad perkawinan bahkan sejak pra, di sisi lain karena dalam adat warga peradaban Jawa hanya mengenal istilah ”mantu” (menantu) untuk anak perempuannya.

ANIMONYA BANYAK : Kalangan wanita dari berbagai profesi, animonya sangat banyak menjadi siswa Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Mataram Surakarta, seperti pemandangan yang tampak dalam wisudan purnawiyata siswa sanggar di Pendapa Sasanamulya, sebelum 2018. Di antara mereka, banyak yang ingin berprofesi juru pranatacara.   (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Juru Pambiwara di Dalam WO

Usaha jasa rias pengantin hingga berkembang menjadi WO yang dominan ditangani seorang wanita sebagai top leadernya, pamor aktivitas dan nama profesinya lebih menonjol dibanding jasa profesi jurupranatacara atau MC berbahasa Jawa, yang rata-rata dilakukan seorang lelaki. Di sisi lain lagi, wanita telah membuktikan diri lebih luwes dan menonjol menjalankan aktivitas usaha di bidang ini di banding lelaki, karena ciri gendernya berada dalam marwah yang sama tentang urusan wanita.

Karena faktor-faktor itu pula, ketika jasa profesi rias berkembang menjadi WO, jelas memberi kesempatan yang luas bagi kaum wanita untuk berkiprah sampai ke level top leader. Sementara, jasa profesi juru pambiwara atau pamedar sabda, harus rela berada di dalamnya yang biasanya menjadi satu paket dalam kontrak kerja, yang dilakukan WO terhadap masyarakat penggunanya.

Dalam perkembangannya pula, memang sudah bermunculan jasa profesi juru pranatacara atau pambiwara yang dilakukan wanita, karena lembaga kursus seperti Sanggar Pasinaon Pambiwara di Keraton Mataram Surakarta, sudah menghasilkan sekitar 4 ribu lulusan sejak berdiri di tahun 1990-an. Dari 4 ribu lulusan yang tersebar di cabang-cabang di wilayah Jateng dan Jatim, para purnawiyata yang menguasai ketrampilan MC Jawa dan segala pengetahuan mendukungnya itu banyak juga wanitanya.

Namun memang, sangat jarang wanita MC berbahasa Jawa hanya yang bisa merangkap tugas sebagai juru rias dalam satu tugas menjalani aktivitas hajad/resepsi tatacara upacara adat perkawinan Jawa gaya Surakarta sekaligus, karena memang sangat sulit.  Mengingat seorang juru rias yang juga berprofesi juru pranatacara, pasti mendahulukan atau sudah direpotkan oleh urusan mengorganisasi hajad tatacara upacara adat itu sendiri.

Dalam aktivitas pertemuan secara umum, wanita juga bisa menjadi pengatur acara bahkan moderator di forum-forum ilmiah seperti seminar atau sarasehan. Tetapi, ketika forum itu formatnya lebih tradisional apalagi menggunakan tatacara upacara adat seperti perkawinan, sosok lelaki dipandang lebih tepat untuk berdiri mengatur lalu-lintas jalannya acara dibanding wanita.

”Apalagi, dalam upacara adat perkawinan, ada tugas pasrah-tinampi pengantin, baik dari pihak mempelai wanita maupun pria. Jadi, profesi juru pranatacara sebenarnya penting dan perlu sekali, bila melihat fungsi-fungsi itu. Tetapi, populernya memang kalah dari profesi juru rias, yang bisa mencapai kemampuan sebagai WO,” tunjuk KRRA Budayaningrat dari Sanggar Pasinaon Pambiwara yang juga Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Jawa SMA se-Jateng, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.

MATA PELAJARAN : Rias pengantin Jawa gaya Surakarta, terbagi menjadi beberapa mata pelajaran ketrampilan di LKP VAN yang dikelola Virna Eko Saputri (40), seorang perias sekaligus pemilik salon dan rias pengantin di kawasan Kebakkramat, Karanganyar yang kini sedang merintis sebuah WO.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Menggantikan Fungsi Gamelan

Meningkatnya profesi perias menjadi WO seperti yang sedang dirintis pemilik LKP VAN di Kebakkramat, Karanganyar, Virna Eko Saputri (40), selain marwah urusan kewanitaan terbuka lebar untuknya, juga karena perkembangan iptek yang pesat yang berkait dengan urusan wanita, seperti properti dan layanan salon kecantikan, mode busana, aksesoris hingga perawatannya. Tetapi, di antara bidang-bidang itu ternyata juga bisa menerima kehadiran pria, misalnya sebagai designer busana, expert salon kecantikan dan marketing produk-produk obat perawatan kecantikan.

Seorang wanita perias yang mampu menguasai sejumlah iptek pendukung seperti tersebut di atas, memang sangat memudahkannya untuk meningkatkan diri ke level WO. Tetapi sebaliknya, seorang lelaki seperti Ivan Gunawan, Eko Candra dan sebagainya yang sering tampil di TV memperlihatkan kemampuannya dalam tata rambut, tata rias dan mode busana, tetap tidak elok ketika menjadi WO dan menangani secara langsung kebutuhan rias pengantin wanita.

”Dalam adat tradisi Jawa, apalagi di keraton sebagai sumbernya, tidak pernah ada juru paes lelaki. Lelaki perias tidak dikenal di keraton. Karena, itu bukan urusan lelaki. Kalau di luar urusan rias pengantin ‘mangga’, tetapi kalau untuk urusan itu sebaiknya ditangani wanita perias. (Kalau lelaki) ‘Saru’ atau ‘tabu’,” ujar GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani ketika menjadi pembicara di forum seminar busana adat yang berlangsung di Hotel Swiss Bell Inn, maupun ketika menjawab pertanyaan iMNews.id, belum lama ini.

Meski profesi juru pranatacara tenggelam di dalam WO, bukan berarti profesi beserta fungsi dan maknanya tidak penting dalam kehidupan yang telah melegitimasi peradaban/budaya Jawa secara keseluruhan dan melestarikannya. Karena, profesi itu masih sangat dibutuhkan oleh berbagai bidang kehidupan lain, mengingat fungsinya sebagai pranatacara atau jembatan komunikasi untuk berbagai keperluan, misalnya berpidato atau memberi sambutan.

Dan khusus yang terjadi di lingkungan warga peradaban Jawa, keberadaan profesi juru pranatacara sebenarnya merupakan perubahan bentuk dari sebuah cara lama yang hanya berlaku di lingkungan asalnya, yaitu Keraton Mataram Surakarta. Sejatinya, profesi itu telah menggantikan ”ungeling gangsa”, yaitu fungsi dan peran gamelan (karawitan) yag ditabuh untuk memberi pertanda/isyarat bergantinya acara dalam proses pelaksanaan sebuah upacara adat di Keraton Mataram Surakarta. (Won Poerwono-habis)