Sanggar Pasinaon Pambiwara Bisa Menjadi Tempat Bertanya
IMNEWS.ID – TIGA hal yang berbeda dari tujuh macam perbedaan antara tatacara upacara adat pengantin/perkawinan gaya Surakarta di luar keraton dengan gaya Surakarta di dalam Keraton Mataram Surakarta yang disebut KRRA Budayaningrat (iMNews.id, 29/6), kini seakan sudah menjadi keniscayaan yang begitulah adanya. Bahkan, gaya Surakarta yang selama 200 tahun lebih sudah mapan dan dijalankan terus di dalam keraton hingga kinipun, sebenarnya juga sudah berubah dan beradaptasi dengan situasi dan kondisi peradabannya.
”Nut jaman kelakone” adalah sebuah sikap akomodatif dan realistik warga peradaban atau ”bangsa” Jawa terhadap perubahan yang setiap saat terjadi. Selain itu, kondisi luar biasa yang akrab disebut ”force major” merupakan salah satu faktor berubahnya apa saja, termasuk aturan/tatanilai atau adat paugeran seperti yang dialami Keraton Mataram Surakarta dalam sepanjang perjalanan sejarahnya (1745-1945), hingga kini.
”Seperti halnya tatacara upacara adat perkawinan yang berlaku di dalam keraton, juga telah mengalami perubahan karena kondisi yang luar biasa, seperti pandemi Corona yang hampir berjalan selama hampir dua tahun ini. Sinuhun PB XIII yang seharusnya menggunakan tatacara upacara adat ketika beberapa waktu lalu menikahkan salah seorang putrinya, jadi tidak bisa dilaksanakan sesuai paugeran adat yang berlaku di dalam keraton”.
”Jadi, ya hanya berada di satu tempat seperti pengantin di luar keraton. Karena, ada aturan protokol kesehatan yang harus dipatuhi,” sebut Gusti Moeng selaku Pangarsa Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Mataram Surakarta, ketika menjadi pembicara dalam seminar tatacara upacara adat perkawinan gaya Surakarta di Resto Orient Solo, belum lama ini (iMNews.id, 23/6).
Selain kondisi ”force major” karena pageblug pandemi Corona seperti sekarang, ini tatacara upacara adat perkawinan juga tidak bisa terlaksana atau harus berubah ketika dalam kondisi ”force major” Agresi Belanda atau Clash kedua di tahun 1949, yang sempat ”membumihanguskan” kompleks ndalem Kepatihan. Karena, tatacara upacara adat ”mantu” di Keraton Mataram Surakarta, sejak Sinuhun PB II selalu dilakukan sesuai urutan tatacara kirab dari keraton menuju Pendapa ndalem Kapatihan untuk pelaksanaan upacara ”panggih” yang disaksikan semua yang hadir dalam pisowanan di situ.
Sesudah Ijab Qabul Baru Kirab
Mencermati penjelasan GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Mataram Surakarta itu, jelas sudah ada dua hal atau dua peristiwa ”force major” yang terpaksa merubah tahapan atau urutan tatacara upacara adat perkawinan. Dengan begitu, maka secara tidak langsung hal-hal yang seharusnya ”wajib” dilakukan sesuai paugeran adat yang berlaku, terpaksa diganti atau ditiadakan karena adanya peristiwa ”force major” atau kondisi luar biasa, dan itu berarti juga masuk catatan ”Nut jaman kelakone”.
”Dari penjelasan itu juga kelihatan ada perbedaan yang jelas, antara tatacata adat gaya Surakarta yang berlaku di dalam keraton dengan yang di luar. Kalau di (dalam) keraton, kirab dilakukan setelah upacara secara agama (ijab qabul) di dalam keraton, baru kemudian menuju Pendapa Sasanamulya (kini). Kalau gaya Surakarta yang diadopsi masyarakat, kirab dilakukan untuk berganti busana,” papar KRRA Budayaningrat, seorang dwija di Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Surakarta, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Jawa SMA se-Provinsi Jateng itu juga mencatat, tatacara upacara adat perkawinan di dalam keraton tidak mengizinkan pasangan pengantin mengenakan alas kaki atau slop atau ”cenela”, walau pelaksanaan upacaranya tidak lagi di Pendapa Kepatihan tetapi hanya di Pendapa Sasanamulya. Aturan adat tidak boleh mengenakan alas kaki ini, sebenarnya berlaku secara umum di semua kawasan keraton dan bagi siapapun, meskipun dalam perkembangan terjadi perubahan bagi figur tertentu dan tempat tertentu, tetapi sama sekali tidak bagi yang menjalani upacara adat perkawinan.
Kini, kalau di tengah masyarakat sering diperlihatkan sebuah acara yang terkadang malah mengundang gelak-tawa atau dieksploitasi agar menjadi hiburan, tatacara itu disebut ”Krobongan”. Tatacara yang memperlihatkan pasangan pengantin berturut-turut melakukan adegan suap-suapan, sungkeman dan sebagainya, yang terjadi di kraton justru tidak dipertontonkan di depan publik atau para tamu, karena dilakukan di belakang ”krobongan”.
”Karena, sebenarnya makna tatacara krobongan itu adalah adegan mencari kesesuaian dalam hubungan suami-istri yang tidak mungkin dipertontonkan kepada orang lain. Jadi, istilah atau namanya sama, ‘krobongan’, tetapi beda visualisasi dan pemaknaannya. Tetapi, makna filosofi sebenarnya upacara krobongan, ya itu tadi,” jelas Gusti Moeng di lain kesempatan.
Konsultan Adat Jawa Langka
Khusus mengenai tatacara di ”krobongan”, pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito mengungkapkan pengalamannya tentang tatacara ”sungkeman” dalam upacara adat perkawinan gaya Surakarta yang diadopsi publik secara luas. Tatacara ”sungkeman” yang berlaku dalam adat perkawinan di tengah masyarakat, logikanya dilakukan pasangan pengantin kepada pasangan orangtuanya sendiri, karena dalam tatacara itu ada ucapan permintaan maaf dan mohon doa restu dari sang anak yang keluar dari keluarga dan akan hidup berkeluarga sendiri.
Dari penjelasan KRT Hendri Rosyad itu bisa dimaknai, bahwa sekalipun kedua orangtuanya berpisah (cerai) tetapi keduanya masih hidup, wajib hadir dan ditempatkan sebagai pasangan orangtua yang diperlihatkan kepada publik untuk diminta doa restu dan permintaan maaf. KRRA Budayaningratpun menambahkan, sungkeman harus dilakukan kepada orangtua yang melahirkan dan merawat hingga dewasa, baru kemudian boleh kepada ayah atau ibu ”sambungan” atau masing-masing pasangan baru eks orangtuanya.
”Walaupun sudah berpisah dan punya pasang sendiri-sendiri, sebaiknya kedua orangtuanya diundang untuk disungkemi, dimintai maaf dan doa restu. Karena, bagaimanapun ibunya sendiri yang telah melahirkan. Dan bapaknya sendiri yang telah ikut mengasuh dan membesarkan. Kecuali kalau sudah meninggal, boleh diwakili kakek dan atau neneknya. Setelah bapak-ibunya sendiri disungkemi, baru boleh sungkem kepada pasangan orangtua ‘sambungan’. Yang baik dan etikanya seperti itu. Intinya, kedua orang tua yang telah mengukir jiwa-raga kita, yang pertama kali harus ‘diuwongke’,” tunjuk KRRA Budayaningrat.
Satu dari sekian persoalan yang muncul menjadi tantangan tatacara upacara adat perkawinan di lingkungan masyarakat etnik Jawa dalam gaya manapun, dewasa ini telah kehilangan posisi figur/tokoh yang bisa dijadikan tempat bertanya mengenai seluk-beluk perjodohan dan perkawinan adat. Karena, KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito sendiri merasa tidak tahu harus bertanya kepada siapa, ketika dirinya mendapat pertanyaan bagaimana sebaiknya atau yang selaras dengan adat Jawa, apabila dalam tatacara sungkeman tidak ada salah satu dari kedua orangtuanya, padahal masih hidup?
Perihal kegelisahan KRT Hendri Rosyad itu, diakui KRRA Budayaningrat telah menjadi kebuntuan atau hal yang hilang dari kehidupan masyarakat Jawa secara umum. Namun, sosok atau figur yang bisa ditempatkan sebagai konsultan yang mirip ”pujangga”, ”paranpara” atau seseorang yang menguasai pengetahuan tentang tatacara upacara adat perkawinan di lingkungan masyarakat Jawa dalam gaya manapun khususnya Surakarta, meskipun sudah jarang tetapi masih ada yang bisa dijadikan tempat bertanya.
”Di pawiyatan-pawiyatan Jawa seperti lembaga Permadani (Semarang), Parikesit, Ngambar Arum, Swagotra (Semarang) dan sebagainya, bisa dijadikan tempat konsultasi atau bertanya soal seluk-beluk perjodohan dan hajad perkawinan. Kalau mau yang dekat di Solo, datang saja ke Museum Radya Pustaka (Taman Sriwedari), atau ke Sanggar Pasinaon Pambiwara. Atau langsung sowan ke Gusti Moeng atau tanya saya, boleh. Silakan,” tambah KRRA Budayaningrat mempersilakan. (Won Poerwono-bersambung)