Kesempatan “Ngalab Berkah” Ritual Kraton yang Semakin Terbuka Melalui Pintu Pakasa Cabang (seri 3-habis)

  • Post author:
  • Post published:August 2, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read
You are currently viewing Kesempatan “Ngalab Berkah” Ritual Kraton yang Semakin Terbuka Melalui Pintu Pakasa Cabang (seri 3-habis)
JENANG SURAN" : Peristiwa ritual "Jenang Suran" yang digelar Bebadan Kabinet 2004 pada Selasa (23/7) memiliki makna banyak sekali. Termasuk menjadi momentum untuk mengkritisi bentuk-bentuk penyimpangan sejarah tentang Mataram Surakarta yang dilakukan pihak lain, misalnya kebijakan Pemkot setempat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

17 Sura Juga Bisa Jadi Momentum untuk Meluruskan Sejarah Hari Jadi Surakarta

IMNEWS.ID – BERLANGSUNGNYA upacara adat “pengetan adeging nagari” Mataram Surakarta yang sering disebut dengan istilah “Jenang Suran” pada setiap datang tanggal 17 Sura Tahun Baru Jawa, seperti yang digelar Selasa (23/7) lalu (iMNews.id, 24/7), tak hanya menjadi pintu masuk warga Pakasa dan berbagai elemen lain untuk “ngelab berkah” ritual.

Melalui peristiwa itu juga bisa menjadi wahana dan momentum yang baik serta tepat untuk meluruskan sejarah. Karena, pintu “ngalab berkah” yang semakin terbuka bagi warga Pakasa dan berbagai elemen lain yang merupakan representasi publik secara luas, bisa menjadi kesempatan menciptakan “agen (penyebar) informasi” untuk mengabarkan pesan pelurusan sejarah.

Pesan yang paling tepat dan penting berkait peringatan berdirinya Kraton Mataram Surakarta untuk dikabarkan, adalah untuk merevisi anggapan publik yang keliru tentang makna “17 Sura” dan “17 Februari”. Kekeliruan memaknai itu terjadi akibat informasi tentang makna (“17 Sura” dan “17 Februari”), tidak dipahami atau gagal memahami asal-usulnya.

Kegagalan memahami berbagai fakta dan data sejarah yang muncul atau ditemukan itu, bisa terjadi karena tidak memahami  dasar-dasar peristiwa sejarah yang melatar-belakangi. Karena, tanggal 17 Sura itu yang sangat mungkin diyakini sebagai tanggal 17 Februari, yang kemudian dijadikan Perda mengenai hari jadi Kota Surakarta.

BERDIRI BERSAMAAN : Wajah bangunan topengan Kori Kamandungan menjadi simbol Kraton Mataram Surakarta yang berdirinya bersamaan dengan digantinya nama Desa Sala, pada 17 Sura tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745. Peristiwa penggantian nama desa itu, diperingati dalam ritual “Jenang Suran” pada Selasa (23/7) lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Padahal, 17 Sura pada Tahun Jawa Je 1670 itu adalah tanggal pengumuman atau deklarasi untuk mengganti nama Desa Sala menjadi Surakarta Hadiningrat, sebagai Ibu Kota baru Kraton Mataram. Saat Sinuhun PB II (1727-1749) mendeklarasikan nama pengganti Desa Sala dengan Surakarta sebagai Ibu Kota baru itu, tepat pada 20 Februari tahun 1745”.

“Sedangkan tanggal 17 Februari yang sekarang dijadikan hari jadi Kota Surakarta, adalah tanggal 14 Sura Tahun Je 1670 saat Sinuhun PB II baru berangkat boyong kedhaton dari Ibu Kota lama Kraton Mataram, Kartasura. Jadi, selama ini Pemkot Surakarta salah dalam menentukan hari jadi. Padahal, semua warga disuruh mengikuti,” ujar KPP Nanang Susilo Sinduseno.

KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro adalah salah seorang trah darah-dalem Sinuhun PB V sekaligus PB X yang termasuk “geram”, karena kekeliruan yang dilakukan Pemkot Surakarta dalam menentukan hari jadinya tak kunjung direvisi atau diluruskan walau berkali-kali dikritik. Bahkan, berulang-kali pula Gusti Moeng “menegur” lewat berbagai media.

Ungkapan bernada “geregetan” juga diekspresikan KPP Djony Sosrodiningrat sebagai trah darah-dalem Patih Sosrodiningrat V, yang tak hanya mengusulkan agar Pemkot Surakarta segera merevisi hari jadi tersebut. Bersama KPP Nanang, ia juga mengusulkan agar nama sejumlah tokoh Raja dari Kraton Mataram Surakarta, dijadikan nama jalan besar di Kota Surakarta.

BAGIAN SEJARAH : Bangunan Pendapa Balai Kota Surakarta ini adalah wajah kompleks pusat pemerintahan sejak awal zaman NKRI, yang menjadi bagian dari sejarah dihapusnya nama Desa Sala sekaligus lahirnya nama Surakarta Hadiningrrat pada 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Kraton Mataram Surakarta punya banyak nama tokoh terkenal yang berjasa bagi masyarakat khususnya Surakarta, anehnya kok tidak satupun dijadikan nama lokasi-lokasi penting yang membanggakan warga Surakarta. Kenapa harus dinamakan Stadion R Maladi? Kok tidak Stadion PB X? La wong stadion dibangun tahun 1930-an oleh Sinuhun PB, kok malah diberi nama orang lain
“.
“Katanya kita harus selalu ingat Jas Merah atau jangan sekali-kali melupakan sejarah. Siapa yang sering bilang seperti itu? Kenapa omongannya tidak konsisten? Kenapa Pemkot mengajak masyarakatnya melupakan sejarah Mataram Surakarta? Kenapa jasa-jasa para tokoh penting dari Mataram Surakarta dilupakan begitu saja? kenapa tak ada satupun yang diabadikan?”.

“Kenapa malah nama orang lain yang sama sekali tidak dikenal masyarakat Surakarta dan tidak jelas asal-usul dan jasa-jasanya, malah dijadikan nama jalan di mana-mana? Aneh ‘kan? Kalau begitu, siapa yang melupakan sejarah?,” ujar KPP Djony Sosrodiningrat dan KPP Nanang Soesilo saat dikonfirmasi iMNews.id secara terpisah, kemarin.

Jadi, beberapa hal yang diungkapkan dua sentana-dalem itu punya kaitan erat dengan upacara adat “Jenang Suran” yang digelar tiap tanggal 17 Sura. Artinya, peringatan berdirinya Kraton Mataram Surakarta ini, akan selalu mengingatkan masyarakat adat dan diharapkan bisa mengedukasi publik secara luas terhadap segala bentuk penyimpangan sejarah.

MENGKRITISI DAN USUL : KPP Nanang Soesilo Sindoeseno memaknai 17 Sura untuk mengkritisi berbagai bentuk penyimpangan tentang Mataram Surakarta yang dilakukan berbagai pihak khususnya pemerintah. Ia juga usul agar sejumlah nama jalan penting di Kota Surakarta diganti nama para tokoh penting dari Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Dok)

Melihat jalannya upacara adat “Jenang Suran” di “gedhong” Sasana Handrawina, Selasa (23/7) dan reaksi dua sentana-dalem itu, tentu memberi makna lain atau yang selalu berbeda ketika ritual itu digelar. Secara kebetulan, ada situasi dan kondisi di internal kraton, karena ada lapisan dari strata adat yang tidak berfungsi akibat jumlahnya semakin berkurang.

Di lain hal, ada sebuah pergeseran posisi masyarakat yang “ngalab berkah” pada setiap ritual yang digelar di kraton, dari semula berbentuk gelombang besar lepas dan terbuka bersifat noninsitusif. Kini sudah berkurang, tetapi melembaga  dalam Pakasa cabang. Dua hal itu bersentuhan bahkan berkaitan, karena ada sebagian yang menjadi bagian internal.

Makna berikutnya, adalah lahirnya sebuah momentum yang menginsyaratkan adanya kesadaran bersama terhadap dua hal sekaligus. Yaitu jalannya proses pelestarian Budaya Jawa dan jalannya upaya menjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta. Kedua hal itu dikritisi dua tokoh sentana-dalem dengan upaya pelurusan sejarah yang dinilai menyimpang.

Jadi, membahas peringatan peristiwa 17 Sura atau 20 Februari, jelas mengingatkan pada sosok tokoh Sinuhun PB II. Dialah tokoh menginisiasi sekaligus mengeksekusi pindahnya Ibu Kota Kraton Mataram Islam dari Kartasura ke Surakarta. Bahkan, dialah yang membiayai seluruh kegiatan mulai proses pindahan sampai membangun Ibu Kota baru Surakarta Hadiningrat.

CARA BERBEDA : Dr Purwadi selaku peneliti sejarah yang banyak melakukan kajian. Buku Biografi Sinuhun PB II adalah cara berbeda dalam memaknai eksistensi Kraton Mataram Surakarta dan para tokoh penting serta karya-karya besarnya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Berbicara soal biaya besar untuk memindahkan Ibu Kota “negara” Mataram Surakarta, waktu itu, tidak adil kalau tidak menyebut tokoh wanita di balik seorang Sinuhun PB II yang sukses. Dalam kajian sejarah Dr Purwadi disebutkan, garwa prameswari Sinuhun PB II bernama Kanjeng Ratu Mas (Emas-Red) Lamongan, adalah putri Bupati Lamongan, Raden Mas Purbaya.

Dr Purwadi melukiskan “kepahlawanan” Sinuhun PB II dan sang prameswari dalam tembang Dhandhang Gula. Dari tembang macapat itu dilukiskan jasa KR Mas Lamongan dan keluarganya mendukung penuh biaya pindah dan pembangunan Ibu Kota.  Keluarga KR Mas lamongan adalah pengusaha kaya raya, karena mengelola pelabuhan, kayu jati, minyak bumi dan pabrik trasi. (Won Poerwono-habis/i1)