Meneladani Paugeran Adat di Keraton Mataram Surakarta
SOLO, iMNews.id – Walau keluarga besar lembaga masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta, sampai tahun ini sudah kali kedua tidak menggelar upacara adat khas menyambut hari raya Lebaran atau Idhul Fitri sejak 2020 akibat pandemi Corona, bukan berarti tradisi silaturahmi dan saling memaafkan di hari besar umat Islam itu hilang sama sekali. Di lingkungan keluarga-keluarga besar masyarakat adat sampai lingkup terkecil di kalangan keluarga abdidalem, tradisi yang merupakan perpaduan antara agama (Islam) dengan kebudayaan (Jawa) itu, tetap terpelihara dengan baik, dan selalu dilaksanakan terutama dalam keluarga KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito.
”Kalau ada yang mengatakan tradisi halalbihalal di lingkungan masyarakat Jawa itu ribet dan mulai ditinggalkan, ya enggak apa-apa. Bagi saya, kebahagiaan dan kebanggaan sebagai umat Islam yang berbudaya Jawa, sangat terasa di saat-saat seperti ini. Sungkeman atau ngabekten dalam rangka silaturahmi, itu adalah simbol sikap cinta dan berbakti sekaligus saling memaafkan. Itu adalah bagian dari ajaran Wali Sanga yang selama ini dipelihara Keraton Mataram Surakarta dan masyarakat warga peradaban Jawa,” tandas seorang pemerhati Keraton Mataram Surakarta dan budaya Jawa dari sisi spiritual kebatinan itu, menjawab pertanyaan iMNews.id, tadi siang.
Karena alasan keterbatasan di masa pandemi dan friksi yang terjadi dalam keluarga besar Keraton Mataram Surakarta, sampai saat ini memang membuat sejumlah agenda khususnya upacara adat tidak bisa berjalan. Bahkan, kali ini sudah kali kedua keraton tidak bisa menggelar ritual prosesi hajadalem gunungan Garebeg Syawal untuk didoakan di kagungandalem Masjid Agung.
Bersamaan dengan itu, tradisi ngabekten atau sungkeman dalam sebuah pisowanan bagi anggota keluarga besar masyarakat adat yang dalam beberapa tahun terakhir dianggap sama dengan ”open house”, juga tidak bisa terselenggara seacara leluasa dan lengkap, bahkan sejak jauh sebelum ada pandemi Corona. Namun, di lingkungan keluarga-keluarga kecil para sentana dan abdidalem, tradisi itu tetap terpelihara dengan baik dan berjalan, minimal setiap hari raya lebaran tiba.
Seperti yang dilakukan keluarga kecil KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito misalnya, tradisi itu tidak akan hilang dari agenda keluarga trah keturunan mbah Dullah (Abdullah), seorang abdidalem ulama yang bertugas mengurus di Masjid Kepatihan di masa jumenengnya Sinuhun Paku Buwono (PB) X (1893-1939). Kini, abdidalem pemerhati budaya dan keraton dari sisi spiritual itu malah sedang bersemangat untuk menularkan nilai-nilai budaya Jawa itu kepada kalangan anak dan cucunya.
”Jadi, setelah salat Idul Fitri kemarin pagi (Kamis, 13/5), saya mengajak anak-cucu berkumpul di rumah. Saya hanya ingin mengenalkan contoh-contoh tradisi Jawa dalam merayakan Lebaran. Sungkeman dan ngabekten, sambil saling mengucap mohon maaf dan permohonan donga-pangestu, selalu menjadi ungkapan tulus dan ikhlas. Kami semua bisa merasakan bangga dan bahagia. Meskipun di antara keluarga besar kami ada yang bukan dari suku Jawa. Dan tak lupa, saya beserta seluruh keluarga besar mengucapkan Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1442 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin,” papar KRT Wrekso Puspito.
Penjelasan KRT Hendri itu berdasar dari berbagai piwulang luhur yang diajarkan para Wali dan para pujangga Jawa, termasuk Sinuhun PB X sendiri yang mendapat sebutan ”Sinuhun ingkang Wicaksana” dan ”Sinuhun ingkang Minulya”. Para pujangga dan cerdik-pandai itu mengajarkan kepada warga peradaban secara luas, agar tetap jadi ”wong Jawa” walau taat beragama apapun, karena peradaban Jawa bisa menerima dan mengayomi warna-warni pengisi kehidupan, serta selalu kontekstual dan aktual sepanjang zaman. (won)