Kepatihan Berakhir di Tangan “Para Pemberontak”, Kebon Raja di Tangan Siapa? (3-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 6, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:10 mins read

Kawasan Heritage Mataram yang Tinggal “Sakmegroking Payung”

iMNews.id – SUASANA peradaban yang sudah tidak begitu mementingkan standar etika di alam (rezim) reformasi atau alam kebebasan selepas dari belenggu ”demokrasi terpimpin” karya rezim Orde Baru sekarang ini, makna sebuah tapak atau jejak sejarah peradaban bangsa juga dianggap tidak begitu penting. Sekalipun kini banyak bermunculan aplikasi di situs-situs yang menampilkan kekayaan budaya sebegitu eksotis dari warisan peradaban masa lampau, tetapi aroma sentuhan ”kapitalistik” rata-rata yang menonjol mendominasi.

Perkembangan tekonologi digital dan informatika telekomunikasi (IT) yang menjadi produk zaman milenial, semakin membawa warga peradaban menjauh dari esensi legitimasi dan kerja nyata dalam pelestariannya. Dalam suasana kehidupan yang lebih banyak memberi ruang bergerak bagi kapitalisme seperti sekarang ini, jelas sudah tidak memerlukan standar etika adat ketimuran, ewuh-pekewuh, nilai-nilai etika dan tata nilai adat yang selama ini diperjuangkan mati-matian kalangan masyarakat adat Dinasti Mataram.

Oleh sebab itu, kabar dan fakta tentang lenyapnya tapak atau jejak peradaban Keraton Mataram Surakarta di kawasan kompleks Kepatihan (kini Kelurahan Kepatihan Wetan dan Kelurahan Kepatihan Kulon-Red), harus direlakan walau sampai kapanpun hati kecil orang-orang yang punya kebanggaan dengan bagian situs sejarah itu tidak akan sepenuhnya ikhlas. Dan faktanya pula, lenyapnya sejumlah kawasan heritage misalnya yang tersebar di sepanjang (kini) jalan Dr Radjiman Wedyadiningrat hingga batas kota arah Pajang, adalah bagian dari korban ”kapitalisme” yang menggunakan kedok sentimen ”anti swapraja”, stigma kerjasama dengan Belanda dan sebagainya.

Masih banyak kawasan heritage di Kota Surakarta yang seakan lenyap begitu saja atau secara sporadis, karena praktik kapitalistik yang digunakan sejumlah kalangan dari berbagai label, termasuk kalangan yang berlabel kiri atau terpapar ”virus” yang disebar Tan Malaka dari basecamp-nya di Tegalganda (Tegalgondo-Red) di awal kemerdekaan. Karena, kawasan heritage Kota Surakarta, juga tersebar di sepanjang jalan Slamet Riyadi sampai batas kota arah Kartasura, bahkan heritage Mataram Surakarta itu menyebar di wilayah Solo Raya atau Daerah Istimewa Surakarta atau eks Kresidenan Surakarta.

Kemandirian setiap daerah di wilayah Daerah Istimewa Surakarta yang kemudian menjadi bagian wilayah Provinsi Jateng, sekaligus menjadi bagian eks Karesidenan Surakarta, kemudian menjadi bagian Subosukowonosraten dan terakhir menjadi Solo Raya, bisa dibaca sebagai sebuah strategi. Yaitu strategi melapangkan jalan bekerjanya praktik kapitalisme yang digunakan kelompok mana saja dan kelompok siapa saja, yang menjadi bagian dari rezim kekuasaan atau hanya sebagai penumpangnya.

SISA-SISA PERADABAN : Pemerhati keraton dan budaya Jawa, KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, mengenang masa kecilnya dengan berdiri dekat bedug dan kenthongan di Masjid Kapatihan. Masjid dan semua aset yang ada di dalamnya, adalah bagian dari sisa-sisa tapak sejarah peradaban Mataram Surakarta, yang nyaris tenggelam oleh perubahan zaman akibat perilaku ”kapitalisme”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Punya Semangat Melestarikan

Dengan memahami analisis secara kronologis seperti itu, maka tak heran kawasan heritage Mataram Surakarta, bahkan Mataram Kartasura atau heritage yang ada di peradaban belakangnya lagi, sedikit demi sedikit atau serentak sekaligus, kini atau entah kapan, pasti akan semakin menyempit. Sinuhun Paku Buwono (PB) XII semasa jumeneng (1945-2004), dalam setiap kesempatan selalu melempar sinyalemen itu dengan kalimat, ”Arepa Keraton Surakarta Hadiningrat mung kari sak megroking payung, kudu diupaya dimen tetep lestari…”.

Dalam satu sisi, pernyataan Sinuhun PB XII itu bisa dipersepsikan dalam banyak makna, apakah itu pernyataan ”kalah”?, pernyataan ”mengalah”? atau menyadari bahwa Keraton Mataram Surakarta Hadiningrat sudah tidak punya daya menghadapi perilaku ”kapitalisme” yang digunakan berbagai kelompok dengan kedok label dan stigma masing-masing. Dengan menyaksikan perjalanan lembaga masyarakat adat selama berada di alam republik hingga kini, sebenarnya mudah untuk menarik kesimpulan bagaimana sejatinya posisi Keraton Mataram Surakarta.

”Dengan kedok label atau stigma apapun yang dimiliki dan diberikan kepada keraton, yang jelas mereka itu butuh uang untuk membiayai perjuangan dan ambisinya. Yang berlabel kiri (Suradi Bledhek MMC dan Sastro Lawu) sekalipun, tetap butuh uang untuk membiayai perjuangannya. Hampir semua yang ingin eksis di awal republik, baik yang kanan, kiri atau tengah sekalipun, butuh biaya. Pada waktu itu, yang punya harta banyak atau kaya-raya, hanyalah keraton (Keraton Mataram Surakarta). Maka Kepatihan dijarah, dibakar dan sebagainya,” papar Dr Purwadi dari Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara) Jogja, saat berbincang dengan iMNews.id di Solo, kemarin.

Penjelasan Dr Purwadi tentang perilaku kapitalisme kelompok-kelompok yang telah dan sedang menggerogoti kawasan heritage Mataram Surakarta, selain diberikan dalam wawancara dengan iMNews, juga banyak ditulis dalam 50-an judul buku dan naskah sejarah tentang lahirnya semua kota dan kabupaten di Jateng, Jatim dan Jabar yang baru sebagian dibukukan. Secara tersurat, buku-buku dan naskah yang ditulis, melukiskan fakta lahirnya daerah-daerah dengan ciri khas masing-masing, tetapi secara tersirat telah membuktikan fakta adanya pusat peradaban yang telah melahirkan itu semua, yaitu peradaban Mataram terutama sejak beribukota di Kartasura, apalagi ketika pindah di Surakarta.

Dalam satu sisi, perihal (nyaris) lenyapnya jejak atau tapak sejarah peradaban di kompleks Kepatihan, memiliki kesamaan dengan penjelasan seorang sentanadalem KPH Adipati Poerbodiningrat. Namun, sentanadalem yang bernama kecil RM Koesrahardjo ini lebih condong dengan alasan dendam yang menjadi latarbelakang penghancuran kompleks Kepatihan.

MENJADI JALAN PENGINGAT : Sejarawan dari Loantara Jogja, Dr Purwadi, banyak menyusun naskah sejarah kota-kota di Jatim, Jateng dan Jabar yang lahir dan terbentuk sejak Keraton Mataram, terutama saat beribukota di Kartasura dan Surakarta. Karya-karya itu menjadi jalan pengingat bagi publik secara luas, dari generasi ke generasi terhadap jasa dan kebesaran Mataram.
(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Akumulasi Berbagai Jenis Dendam

Dendam itupun, juga atas persoalan yang bermacam-macam tetapi terakumulasi dalam sebuah kelompok besar orang-orang yang ingin mendapat jaminan masa depan lebih baik secara ekonomis. Persoalan-persoalan yang membuat akumulasi dendam itu, antara lain kalangan petani yang dihasut Tan Malaka dan kaki tangannya agar menguasai tanah pertanian dan hasilnya sepenuhnya, kalangan laskar pejuang rakyat yang jumlahnya sampai 26 ribu batal diterima menjadi TRI (kini TNI-Red). Juga masih banyak jenis dendam-dendam lainnya, seperti yang menjadi akibat dari perilaku feodal.

”Padahal, sejak republik ini berdiri sampai sekarangpun, masih banyak (orang-orang di pemerintahan) yang berperilaku feodal. Bahkan berlebihan. Dan, yang dimaksud feodal itu sebenarnya apa?. Mereka itu kebanyakan tidak tahu. Sebuah kehidupan yang perlu tata nilai etika, sopan-santun, tetapi mereka menyebut itu fedoal. ‘Kan sudah salah-kaprah ta? Jadi, intinya penghancuran kompleks Kepatihan itu dilatarbelakangi faktor dendam,” sebut KPHA Poerbodiningrat saat ditemui iMNews.id di ruang kerjanya sebagai Ketua DPD Golkar Surakarta, belum lama ini.

Bila melihat isi maklumat deklarasi yang dibaca Gusti Moeng selaku Ketua LDA di topengan Kori Kamandungan, beberapa waktu lalu (iMNews.id, 13/2) bayak jejak sejarah peradaban Mataram Surakarta di berbagai tempat yang sangat luas, sekalipun tinggal sisa-sisa dan dikuasai orang lain, dinyatakan menjadi bagian dari perhatiannya. Penjelasan detail tentang ini memang belum ada, tetapi beberapa kali berbincang dengan iMNews.id jauh sebelum deklarasi itu, anak ke-25 Sinuhun PB XII bernama GKR Wandansari Koes Moertiyah tetap pada pendiriannya bisa memaklumi segala bentuk perubahan tata ruang kawasan heritage yang sudah terlanjur (rusak-Red), asalkan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan publik secara luas.

Mencermati pendirian Gusti Moeng itu juga bisa diartikan, bahwa sebagai konsekuensi dari keputusan Sinuhun PB XII menggabungkan wilayahnya ke dalam NKRI, apapun wujudnya memang harus dimaklumi meskipun banyak yang disayangkan proses yang terjadi melalui cara-cara yang tidak baik dan hanya untuk kepentingan pribadi atau sekelompok orang saja seperti yang terjadi pada nasib kompleks Kepatihan. Namun, tapak peradaban Mataram yang tinggal ”sakmegroking payung” itu, kini harus benar-benar diupayakan untuk tetap dijaga keutuhan dan kelestariannya.

”Kami dan saya kira keluarga besar dinasti ini sudah bisa memaklumi dan tidak akan meminta kembali, terutama yang sudah terlanjur menjadi fasilitas publik. Dan kami bisa memaklumi, kalau dimanfaatkan untuk kepentingan publik secara luas. Tetapi kami dan saudara-saudara kami, juga keluarga besar dinasti ini, juga manusia. Mosok keraton yang sudah mengorbankan segalanya untuk negeri ini, tetapi Gusti Nur (GPH Nur Cahyaningrat/alm-Red) sampai tinggal di sebuah bangsal yang ‘disingget’ sampai akhir hayat…? Sebenarnya, yang kebangeten itu siapa ta?,” ujar Gusti Moeng bertanya-tanya saat ditemui iMNews.id beberapa waktu lalu. (Won Poerwono-bersambung)