Kesulitan Ekonomi, Pangkal dari Segala Persoalan di Keraton (4-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 2, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read

Penghargaan Mulia Itu adalah Provinsi Daerah Istimewa Surakarta

iMNews.id – KETIDAKBERDAYAAN masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta atau Surakarta Hadiningrat yang selama ini (sejak 1945) dialami, memang bisa saja berpangkal dari persoalan fundamental masalah kekuatan/kedaulatan ekonomi yang nyaris sudah tidak ada sama sekali. Padahal, adagium peradaban Jawa sudah jelas menerangkan bahwa ”jer basuki, mawa bea”, karena untuk mewujudkan suatu pencapaian/keinginan/harapan/cita-cita terutama secara fisik, tentu harus dengan membayar, misalnya materi/uang.

”Jer basuki, mawa bea” bagi masyarakat adat penerus Dinasti Mataram yang kini terwadahi dalam Lembaga Dewan Adat (LDA), adalah dalam konteks upaya untuk menjaga eksistensinya sebagai penerus dinasti. Apabila eksistensinya terjaga, peradaban-pun akan terawat, yang pada gilirannya akan menjadi potensi besar untuk andil dalam menjaga ketahanan budaya bangsa, sebagai potensi untuk membangun karakter bangsa, bahkan akan menjadi potensi untuk ikut menjaga ketahanan ”ekonomi bangsa”.

Oleh sebab itu, benar kata KRT (bukan KRAT-Red) Hendri Rosyad, seorang pemerhati Keraton Mataram Surakarta dan budaya Jawa, pilihan paling tepat dan elegan untuk pemberdayaan atau ”empowering” masyarakat adat Mataram Surakarta Hadiningrat, harus dimulai dengan penghargaan berupa pengembalian status Provinsi Daerah Istimewa Surakarta. Dasar aturan hukumnya, pasal 18 UUD 45, yang sudah tak terbantahkan, dan jelas-jelas sangat konstitusional.

”Jer basuki, mawa bea” jangan diartikan tiap warga atau KK dari keluarga besar masyarakat adat (LDA) yang menurut catatan GKR Wandansari Koes Moertiyah (Ketua LDA) kini ada 1 juta jiwa lebih, harus disantuni atau diberi ganti untung. Tetapi konteksnya, penghargaan atas ”…pemindahan kekuasaan….” dari ”negara yang sebelumnya ada kepada NKRI”, seperti dimaksud dalam bagian kedua teks proklamasi yang dibaca Soekarno-Hatta padas 17/8/45, adalah sebuah penghargaan yang memenuhi rasa keadilan.

Penghargaan yang ”paling” memenuhi rasa keadilan dan elegan untuk saat ini, pilihannya tentu pada pengembalian status Provinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS). Karena, dengan memberi ”kail” berupa status Provinsi DIS, lebih masuk akal, realistik, estetik, idealistik, mulia serta bermartabat bagi masyarakat adat yang tergabung di LDA, dari pada memberi ”ikan” berupa santunan atau ganti untung materi.

Mendampingi Bung Hatta
MENDAMPINGI BUNG HATTA : Sinuhun Paku Buwono XII (kiri), tampak mendampingi Wapres Bung Hatta, dalam sebuah acara sekitar berlangsungnya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag (Belanda), 24-29 November 1949. (foto : iMNews.Id/dok)

”Bagi Saya, Tidak!”

Santunan atau ganti untung berupa ”ikan” itu, pernah digagas di zaman dua periode kepemimpinan Presiden SBY, yang terucap lewat Menteri Pariwisata Jero Wacik. Pernyataan tertutup itu langsung direspon gegap-gempita oleh sebagian besar putra/putri Sinuhun PB XII, tetapi GKR Wandansari Koes Moertiyah yang akrab Gusti Moeng yang diajak bicara Jero Wacik, langsung menolak usulan itu.

”Lo, dikiranya persoalan Keraton Surakarta langsung selesai, kalau putra/putri Sinuhun PB XII satu persatu diberi pesangon rumah dan uang? Saudara-saudara saya mungkin banyak yang setuju. Tetapi bagi saya, tidak!. Karena, cara-cara seperti itu sangat merendahkan martabat keraton dan masyarakat adatnya”.

”Karena, keraton itu dulu negara berdaulat penuh. Kalimat pemindahan kekuasaan dalam teks proklamasi itu, perlu dicermati lagi. (Mestinya) dari negara (keraton), ke NKRI. Mosok (diganti) pesangon?, santunan?, ganti untung?,” tunjuk anak ke-25 yang terlahir wanita yang tak lain adalah Gusti Moeng itu, menjawab pertanyaan iMNews.Id, kemarin.

Benar sekali alasan Gusti Moeng itu. Karena, kebesaran dan kemuliaan sebuah negara seperti NKRI ini, lebih gampang dilihat dan diteladani masyarakat dunia, pemerintahan dan para pejabatnya, akan selalu bersikap dan bertindak mulai dalam setiap kebijakannya, menggunakan cara-cara yang mulia dalam berkomunikasi dan bergaul dalam hubungan internasional, mulia dalam memimpin dan mengelola negara seisinya, termasuk terhadap rakyatnya sendiri.

Terlebih, yang hendak dimuliakan adalah masyarakat adat dari ”sebuah negara”, yang dulu ikut mendirikan NKRI dan kini menjadi bagian dari rakyatnya sendiri.Ketika negara mampu menunjukkan kemuliaannya atas siapa saja, di situlah pasti ada ”tepa slira”, penuh nilai-nilai humanistik sekaligus penuh nilai-nilai ketuhanan.

Seragam Militer
SERAGAM MILITER : Sinuhun Paku Buwono XII (Letjen TNI Purn) dan KGPAA Mangkunagoro VIII (Brigjen TNI Purn) berseragam militer, bersama Wapres Moh Hatta mendampingi Presiden Soekarno dalam sebuah acara di Jakarta, beberapa waktu setelah Proklamasi Kemerdekaan 17/8/45. (foto : iMNews.Id/dok)

”Pemindahan Kekuasaan atas Apa?”

Perihal bagian penting dari teks proklamasi (yang dibaca Soekarno-Hatta) yang berbunyi ”….pemindahan kekuasaan…”, analisis kritisnya berupa pertanyaan ”pemindahan kekuasaan dari siapa kepada siapa?”, dan esesnsinya ”kekuasaan atas apa?”, kemudian pertanyaannya, kalau di antaranya ada kekuasaan atas wilayah geografis, batas-batasnya di mana? Isinya apa saja? Kalau menunjuk barang atau benda/materi, wujud riilnya apa? Jumlahnya berapa dan nilainya berapa?.

Untuk menjawab serangkaian pertanyaan itu, tentu menunggu kalau ada pakar hukum tata negara yang berani mengungkap misteri ”berita acara” yang menyertai ”teks proklamasi” secara jujur dan berani. Dari situ, tentu bisa ditemukan jawaban yang riil, kemudian menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan penghargaan untuk memuliakan masyarakat adat.

Karena, hanya dengan menyandingkan dua hal itu, maka akan didapat keputusan/kebijakan yang benar-benar memenuhi rasa keadilan, ketika memuliakan masyarakat adat yang terwadahi dalam LDA Keraton Mataram Surakarta Hadiningrat. Namun, sebelum sampai pada membedah misteri teks proklamasi dan berita acaranya, penghargaan yang mulia berupa pengembalian status Provinsi DIS, sudah jelas dasar aturan dan payung hukumnya, tinggal disusun rancangan undang-undang keistimewaannya.

”Tanpa bermaksud mendikte, periode kedua kepemimpinan (2019-2024), merupakan kesempatan emas bagi bapak Presiden Jokowi untuk mengukir sejarah. Dan, pasti akan dikenang publik secara luas sampai kapanpun. Yaitu, ikut mendorong mewujudkan kembalinya Provinsi DIS. Kalau bisa terwujud, bukan tidak mungkin mas Gibran (Gibran Rakabuming) yang kini sudah jadi Wali Kota (Solo), juga berpeluang menjadi Gubernur DIS”.

”Kan khusus Provinsi DIS dirancang akan mencari pemimpin lewat Pilkada?. Dia ‘kan masih muda. Peluangnya sangat besar lo. Nanti pasti menjadi kesempatan bagi tokoh-tokoh muda untuk mempersiapkan diri, seandainya Provinsi DIS cepat terwujud. Kalau bisa terwujud dalam periode kedua ini, ‘kan sudah sewajarnya. Karena pak Jokowi warga Solo. Tentu akan membanggakan,” seloroh KRT Hendri Rosyad. (Won Poerwono-bersambung)