“Hikayat” Dua Pendekar Wanita yang Tersekap di Keputren

  • Post author:
  • Post published:February 14, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:9 mins read

Sejarah Perjalanan Keraton Mataram Surakarta Akan Mencatatnya

iMNews.id – SEJARAH perjalanan Mataram Surakarta sudah pasti akan mencatat peristiwa Gusti Moeng (GKR Wandansarti Koes Moertiyah) dan Gusti Timoer (GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani), yang menjalani pengalaman “Tiga Hari Dua Malam” tidur di bangsal “tenggan” Keputren, tanpa listrik, air dan nyaris tanpa makanan. Kisah Dua Pendekar Wanita Keraton yang terkesan tanpa sengaja “tersekap” itu, akan menjadi hikayat tersendiri yang pasti akan dikenang publik secara luas, kini dan kelak.

Namun, “Hikayat Dua Pendekar Wanita Tersekap Tiga Hari Dua Malam” itu, seolah menjadi hal biasa di tengah kehidupan yang modern, global dan milenial ini. Terlebih, dua wanita pendekar keraton itu, kini masih gampang dijumpai setiap saat, ketika beraktivitas di seputar Keraton Mataram Surakarta yang secara fisik berada di dalam tembok Baluwarti, Kecamatan Pasarkliwon, Kota Surakarta atau “Kutha Sala”.

Dua pendekar wanita bahkan gampang dilihat lewat berbagai platform medsos dan berita-berita di berbagai media, karena keduanya tergolong sangat aktif di berbagai bidang kegiatan khususnya seni budaya. Keduanya juga mudah dijumpai di berbagai kegiatan sosial budaya, mengingat masing-masing adalah puteri raja dan memiliki kapasitas yang memadai dalam penguasaan soal seni budaya khas Keraton Mataram Surakarta.

Karena kapasitas keduanya di bidang yang secara spesifik tidak dimiliki masyarakat di luar habitat Keraton Mataram Surakarta itu, maka ketika Minggu siang kemarin “lolos” dari tempatnya “tersekap”, langsung disambut para awak media dan menjadi berita headline serta hotnews yang diblow-up di masing-masing media (iMNews.Id, 13/2).

Kalau melihat peristiwanya, seolah tampak “sepele”, karena disebutkan tak sengaja melihat pintu timur Kori Brajanala Lor terbuka Kamis sore (11/2) sekitar pukul 15.00, keduanya berusaha mencari penjaga pintu sampai ke dalam. Untuk berjaga-jaga dari berbagai ”kemungkinan buruk”, kedua pendekar wanita itu minta ditemani seorang sentanadalem (KRA Saptonojati) dan seorang abdidalem (Ika Prasetyaningsih-eks penari Bedaya).

Begitu sampai di Kori Srimanganti Lor, Gusti Moeng ingin melihat kondisi seputar Pendapa Sasana Sewaka. Keinginan itu disetujui Gusti Timoer, lalu mengajak semua ”penderek” berjalan ke arah selatan. Sekilas, rata-rata hampir semua sisi bangunan yang ada, memang tampak bersih dari tanaman liar.

Pemandangan tak pantas
PEMANDANGAN TAK PANTAS : Di deretan bangsal ”tenggan” Keputren yang tak pantas disebut bangunan bersejarah di lingkungan Keraton Mataram Surakarta seperti inilah, Gusti Moeng dan Gusti Timoer serta empat pendereknya, tersekap selama tiga hari dua malam hingga Sabtu sore (13/2).(foto : iMNews.Id/Won Poerwono)

Mirip Operasi Militer

Perjalanan ”berpetualang di rumah sendiri” saat itu, sampai di depan Kori Wiwarakenya, sebuah pintu akses masuk ke bangsal ”tenggan” Keputren, yang secara adat hanya boleh untuk lalu-lalang semua yang berkepentingan di Keputren. Dari luar, mulai kelihatan bangunan-bangunan yang sudah pernah direnovasi, mulai tampak rusak, dan yang belum pernah direnovasi makin memprihatinkan keadaannya.

”Selama tiga hari dua malam itu, saya terus berjalan berkeliling. Karena ingin melihat sudut-sudut bangunan yang sebelum 2017 sering kami lihat, kami lewati. Rasanya, saya selalu penasaran. Saya ingin meyakinkan apa yang saya bayangkan, dengan mata dan kepala sendiri, ingin melihat semua itu. Sambil terisak-isak, saya menangis, setelah melihat semua bangunan yang ada. Termasuk bangsal Keputren, ndalem Pakubuwanan dan Keraton Kulon. Tampak sekali, selama ini tidak ada yang merawat,” ujar Gusti Timoer, menjawab pertanyaan iMNews.Id, tadi sore.

Satu di antara enam pendekar wanita keraton yang selalu dekat dengan Gusti Moeng itu, mengaku masih banyak istirahat di kediamannya yang menumpang di rumah sang bibi, GKR Ayu Koes Indriyah (Gusti In-Red), di ndalem Kayonan, Baluwarti. Di situ, sejak insiden ”mirip operasi militer” yang melibatkan 2 ribu Brimob dan 200 personel TNI April 2017 itu, dia tinggal bersama anak sematawayang, RM Pramudito (9).

”Tersekap” di bangsal ”tenggan” Keputren selama tiga hari dua malam, memang terasa menyedihkan, seperti diungkapkan Gusti Moeng, Gusti Timoer dan juga Ika Prasetyaningsih, ketika menggelar konferensi pers di ”topengan” Kori Brajanala Lor yang diteruskan di depan kantor eks Badan Pengelola (BP) Kamandungan, Sabtu, 13/2 (IMNews.id, 13/2).

Tiga hari nyaris tanpa makanan, karena upaya dari luar meminta izin penjaga pintu untuk masuk mengantar makanan, mereka ”dipingpong” sebelum ditinggal pergi untuk menghindari siapapun yang minta tolong dibukakan pintu. Praktis, enam orang yang salahsatunya abdidalem penunggu bangsal ”tenggan” Keputren, terkunci dari luar alias ”tersekap”.

Selain tak ada makanan, bangsal ”tenggan” itu juga sudah tidak ada peralatan memasak maupun bahan yang bisa dimasak. Karena, tempat itu ternyata dihuni para pekerja serabutan upahan yang semuanya laki-laki. Di hari pertama, listrik di bangunan itu dipadamkan, hingga tak ada penerangan, mesin sedot air tak berfungsi dan semua HP kehabisan batere, karena tak ada listrik yang bisa dialirkan untuk men-charge.

Ikut tersekap
IKUT TERSEKAP : Eks penari Bedaya Ketawang yang selalu mengikuti Gusti Moeng sebagai sekretaris, Ika Prasetyaningsih, ikut tersekap selama tiga hari dua malam hingga Sabtu sore (13/2), sedang memberi keterangan kepada para awak media didampingi Gusti Moeng.

Sepi dan Kosong Mirip Kuburan

Malam pertama, dengan bantuan polisi makanan bisa diantar masuk sampai ke tangan Gusti Moeng dan semua yang ”tersekap”. Malam itu, sejumlah personel dari Polsek Pasarkliwon berjaga-jaga di topengan Kori Brajanala Lor, tetapi tak ada satupun di antara yang ”tersekap” maupun kerabat dari luar yang bisa masuk.

Dari Kori Brajanala Lor, untuk sampai ke bangsal ”Tenggan” Keputren, jauhnya kurang lebih 500 meter dan harus melalui tiga pintu. Sejak April 2017 hingga, suasana di berbagai bangunan sepanjang perjalanan dari Kori Brajanala Lor sampai Bangsal ”tenggan” Keputren, bila siang lengang dan sepi, bila malam gelap-gulita.

”Benar-benar mirip kuburan. Semuanya tampak mati. Kosong. Menyedihkan,” ungkap Gusti Moeng dan Gusti Timoer sambil terisak-isak saat bergantian memberi keterangan kepada para awak media, kemudian tegaskan lagi saat dihubungi iMNews.Id, tadi siang.

Dengan menyantap makan seadanya, satu-satunya kiriman kerabat yang ada di luar, kedua pendekar wanita keraton itu bertahan. Bila siang digunakan berkeliling melihat setiap sudut bangunan yang ada, terutama yang sudah sempat direnovasi dengan dana APBN milyaran rupiah sebelum 2017.

Bila malam tiba, Gusti Moeng lebih suka bermeditasi, berdoa bersama para pendereknya. Tetapi Gusti Timoer lebih suka berjalan mendatangi sudut-sudut tempat atau bangunan yang sudah pernah dikenalnya di kawasan sakral kedhaton, karena di waktu kecil tempat-tempat itu merupakan bagian dari arena bermain favorit.

”Selama dua malam saya berjalan ke tempat-tempat itu, rasanya sudah tidak ada apa-apanya (secara spiritual kebatinan). Rasanya hampa, kosong dan tak punya pengaruh apa-apa. Jadi, jam 2 sampai hampir jam 4 saya keliling berjalan itu, tidak merasakan takut sama sekali. Padahal, itu bagian dari keraton, yang dulu dibangun eyang-eyang dengan kekuatan kebatinan. Ini yang membuat saya makin kecewa, sedih dan gregeten campur-aduk,” ungkap anak tertua Sinuhun Paku Buwono XIII itu.

Sempat ikut masuk
SEMPAT IKUT MASUK : Anak tertua GKR Galuh Kencana (almh), KRMH Kusumo Adilogo, tampak berada di depan bangunan eks ruang kerja Sinuhun Paku Buwono XI yang sudah melengkung atap terasnya. Dia tertahan di halaman Pendapa Sasana Sewaka, saat berusaha ikut masuk mengantar makanan. (foto : iMNews.Id/Won Poerwono)

Publik Luas Sudah Menunggu

Kini, seharian di rumah Gusti Timoer melepas lelah, karena kedua betis kakinya terasa ”mlanjer” dan njarem”, kaku dan sakit bila untuk berjalan. Karena itu, dia tidak mengikuti Gusti Moeng yang bersama rombongan kecil sowan nyekar (berziarah-Red) ke Makam Raja-raja Dinasti Mataram, Astana Pajimatan Imogiri, Bantul, Jogja siang tadi.

Itulah akhir ”Hikayat” Dua Pendekar Wanita yang tersekap di Keputren. Yang satu, Gusti Moeng adalah putri raja Sinuhun Paku Buwono XII, anak urutan ke-25. Sedang Gusti Timoer, adalah anak pertama raja Sinuhun Paku Buwono XIII, kakak lain ibu dari calon putra mahkota, KGPH Mangkubumi.

Hikayat dua putri pendekar keraton tersekap sudah berakhir, ucap syukur kalangan kerabat agung Keraton Mataram Surakarta dihaturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lembaga Dewan Adat bersama segenap komponennya sedang bersiap-siap, menindaklanjuti ”maklumat” yang sudah dibacakan Gusti Moeng selaku Ketua LDA, di topengan Kori Brajanala Lor, Sabtu sore.

Maklumat yang digaungkan berbagai media ke ruang publik secara luas, tentu akan berlanjut ke bentuk-bentuk aksi nyata sesuai yang dimaksud dalam 6 klausul isi maklumat. Sepakterjang para pendekar putri keraton untuk terus berjuang memperbaiki dan membawa Keraton Mataram Surakarta ke posisi semula yang lebih baik, tentu sudah ditunggu publik khususnya masyarakat peradaban.

Meskipun, para pendekar putri itu kini sudah tidak genap 6 orang yaitu Gusti Moeng, Gusti Retno Dumilah, Gusti Ayu Koes Indriyah dan Gusti Timoer. Karena, selama berjuang untuk menegakkan kembali paugeran adat sejak 2004, Gusti Galuh (GKR Galuh Kencana) dan Gusti Sekar (GKR Sekar Kencana) serta para tokoh sentanadalem setia sudah mendahului berpulang. (Won Poerwono)