Memahami di Balik “Bangunan”, “Tahta”, Konsep “Ratu” dan “Bibit, Bobot, Bebet” (seri 6 – habis)

  • Post author:
  • Post published:November 18, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Memahami di Balik “Bangunan”, “Tahta”, Konsep “Ratu” dan “Bibit, Bobot, Bebet” (seri 6 – habis)
TIDAK JUMAWA : Seseorang yang sudah disiapkan dan layak menjadi calon pemimpin di Kraton Mataram Surakarta, jauh dari awal sudah bisa dilihat ciri-cirinya sikap pribadinya yang selalu menghindari sikap yang "jumawa" (arogan) dalam setiap penampilannya seperti pribadi KGPH Hangabehi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Persyaratan Asal-usul Tidak Memenuhi Syarat, Sejak Awal Sudah Direkayasa

IMNEWS.ID – BEGITU Sinuhun PB XII menyatakan “berdiri di belakang republik” dan menggabungkan Kraton Mataram Surakarta ke dalam NKRI sesuai isi “Maklumat 1 September 1945”, maka mulai saat itulah kraton  sudah bukan “negara” (monarki). Karena kedaulatan politik dan wilayah kekuasaannya “diserahkan” kepada NKRI, maka kraton tinggal sebagai lembaga budaya dan masyarakat adat pelestarinya.

Peristiwa itu adalah faktual, sulit terbantahkan dan hanya akan sia-sia kalau membantahnya. Jadi, sejak 17 Agustus 1945 itu, Kraton Mataram Surakarta sudah kehilangan atau tidak punya kedaulatan politik dan kewilayahan administratif di 2/3 pulau Jawa itu. Selain itu, seharusnya kedaulatan di bidang-bidang lain “tak disentuh”, tetapi faktanya kedaulatan ekonomi “dihabisi” dan kedaulatan budaya “digerogoti”.

Ilustrasi ini sebenarnya hanya untuk melukiskan bahwa seharusnya segala bentuk urusan politik yang terjadi di luar kraton pasca-17 Agustus 1945 itu, sudah tidak mengharu-biru dengan urusan di internal kraton. Tetapi faktanya tidak demikian, walau tinggal sebagai lembaga adat dan budaya serta masyarakat adat pelestarinya, sisa “kedaulatan” yang semakin “gripis” itu berusaha terus “digerogoti” hingga kini.

Baca Juga : Memahami di Balik “Bangunan”, “Tahta”, Konsep “Ratu” dan “Bibit, Bobot, Bebet” (seri 5 – bersambung)

Dengan ilustrasi seperti itu, maka peristiwa “ontran-ontran 2004” jelas tetap menjadi objek dan target urusan politik rezim kekuasaan. Setidaknya, ada yang berkepentingan menyelesaikan pekerjaan rezim Orla,  Orba dan sampai rezim yang berada di alam “reformasi”. “Ontran-ontran 2004”, tetap menjadi pertarungan politik untuk berbagai kepentingan dari luar kraton, tetapi menggunakan tokoh-tokoh di dalam kraton.  

PENUH HORMAT : Pribadi yang selalu penuh hormat kepada siapa saja dalam suasana di mana saja, itulah yang selalu melekat pada diri KGPH Hangabehi. Masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta kini dan ke depan sangat membutuhkan pribadi tokoh seperti itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kemudian “ontran-ontran” yang justru ditimbulkan oleh hadirnya 2000 personel polisi dan 400 personel tentara yang disebut “insiden mirip operasi militer 2017”, baik pelaku maupun kepentingan politiknya terang-terangan berasal dari rezim kekuasaan. Insiden yang terjadi pada zaman Presiden Jokowi itu, bermula dari ketegangan antara Bebadan Kabinet 2004 dengan Sinuhun PB XIII, saat Wali Kotanya Jokowi.

Kini, saat terjadi proses alih kepemimpinan setelah Sinuhun PB XIII wafat di tahun 2025 ini, “ontran-ontran” kembali muncul di Kraton Mataram Surakarta. Pihak pesaing yang ingin memperebutkan tahta “yang bukan haknya” itu, adalah anak lelaki kedua (terkecil) Sinuhun. Kini, sulit sekali dilepaskan dari pengaruh kepentingan politik rezim kekuasaan, tetapi prosesnya dimulai sejak lama dan sistematis.

Dugaan-dugaan itu tentu sangat beralasan, ketika ada fakta Sinuhun PB XIII lolos dari hukuman dalam kasus “human traffiking” yang disidang Pengadilan Negeri (PN) Sukoharjo tahun 2016. Bebasnya hukuman dari statusnya sebagai “terdakwa” dalam kasus itu, karena dia dinyatakan menderita “cacat permanen”. Tetapi mungkin karena tak punya kepentingan, publik tak begitu memperhatikan “stampel aib” itu.

Baca Juga : Memahami di Balik “Bangunan”, “Tahta”, Konsep “Ratu” dan “Bibit, Bobot, Bebet” (seri 5 – bersambung)

Rupanya, di saat publik “sudah melupakan” status “cacat permanen” itu, ternyata menjadi kesempatan yang baik bagi sebuah rencana besar, yang sangat mungkin sudah mendapat dukungan rezim kekuasaan. Karena, ketika semua akses pintu masuk ke kraton ditutup mulai 15 April 2017 (hingga 17/12/2022-Red) setelah peristiwa “insiden mirip operasi militer”, ternyata ada peristiwa penobatan istri menjadi “GKR”.

SUKA MEMBANTU : Dalam kesibukan kerja adat seperti jamasan dandang pada ritual adang Tahun Dal, bagi KGPH Hangabehi adalah menjadi kewajiban sebagai bagian dari masyarakat adat di kasta adat tertinggi yang harus paham dan menjelaninya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Suasana senyap menjadi waktu yang tepat untuk menjalankan skenario penobatan terhadap seorang istri menjadi “prameswari”. Padahal, sudah menjadi kebiasaan di kraton, jika menggelar pengangkatan “garwa prameswari”, selalu dilangsungkan dalam upacara adat disebut “Bhayangkari”. Sebuah upacara adat “wilujengan” yang mengundang seluruh kerabat dan pejabat, sebagai saksi hadirnya seorang permaisuri.

Hadirnya seorang “garwa prameswari” melalui upacara mirip wisuda yang digelar dalam “donga wilujengan”, mengundang para kerabat dan pejabat kraton sebagai saksi. “Donga wilujengan” adalah permohonan kepada Tuhan YME sebagai saksi, kalangan kerabat dan pejabat yang dihadirkan juga menjadi saksi hidup. Karena, permaisuri itulah yang diharapkan akan melahirkan seorang calon pengganti pemimpin dan penerus tahta.

Dalam beberapa kali percakapan membahas soal “permaisuri” yang berkait dengan “hak tahta”, sentana-dalem KPP Wijoyo Adiningrat selalu menekankan beberapa hal penting yang bisa diurasi urut seperti di atas. Sentana trah Sinuhun PB VI ini sejak kali pertama mendengar kabar, dengan tegas menolak pengangkatan permaisuri yang dilakukan secara diam-diam, tidak memenuhi syarat, tidak berdasar dan tidak prosedural.

“Saya mendengar, mereka yang merekayasa pengangkatan prameswari itu menggunakan dasar contoh permaisuri Sinuhun PB III yang bernama Kanjeng Ratu Beruk. Itu dijadikan dasar dan contoh, karena mereka menganggap prameswari-dalem itu diangkat dari orang/warga biasa. Anggapan itu jelas salah besar. Mereka tidak paham sejarah. Mereka tidak menguasai silsilah para nata yang jumeneng di Mataram dan para istrinya”.

AKAN MEMIMPIN : kalau pada ritual adang tahun Dal 1959 (Agustus 2025) lalu dirinya sudah merasakan sendiri dan menjalani bagian-bagian ritual itu, tak lama lagi KGPH Hangabehi akan memimpin upacara itu sebagai pemimpin penerus tahta Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Ketahuilah, bahwa Kanjeng Ratu Beruk itu masih trah dari Sunan Ampel. Jadi, bukan orang sembarangan. Seorang nata (Raja), apalagi di atas Sinuhun PB X sampai Panembahan Senapati, jelas tidak mungkin mengambil istri sembarangan. Apalagi, istri yang akan dijadikan permaisuri, karena diharapkan akan menurunkan pemimpin negara (kraton) sebagai penerusnya nanti. Jelas tidak mungkin,” tandas KPP Wijoyo.

Baca Juga : Memahami di Balik “Bangunan”, “Tahta”, Konsep “Ratu” dan “Bibit, Bobot, Bebet” (seri 4 – bersambung)

Perihal adanya tradisi yang menempatkan seorang “garwa prameswari” sebagai seorang sudah dipilih sejak masih gadis remaja, juga dibenarkan Ki Dr Purwadi dalam kajian sejarahnya yang ditulis dalam “blog”nya berjudul Sinuhun Paku Buwana III. Model kepemimpinan di kerajaan Mataram yang selalu menempatkan seorang putra mahkota menjadi calon pemimpin penerus dinasti, dimulai dari pemilihan permaisuri yang cermat.

“Kanjeng Ratu Beruk itu, selain prestasinya di bidang pengembangan dan budidaya tanaman pangan, beliau adalah keturunan Sunan Ampel. “Trahing kusuma rembesing madu”, itu pasti. Bukan lahir dari seorang istri sembarangan. Jadi, keliru kalau yang dijadikan contoh itu. Tidak tepat,” ujar Ketua Lokantara Pusat di Jogja itu. Sinuhun PB III mengambil permaisuri trah Sunan Apel itu, melahirkan Sinuhun PB IV yang hebat.

Pernyataan yang menyebut pengangkatan seorang istri yang diam-diam dijadikan “GKR” itu tak memenuhi syarat, tidak berdasar dan tidak prosedural, juga diungkapkan sentana trah darah-dalem Sinuhun PB V dan X bernama KPP Nanang Soesilo Sinduseno Tjokronagoro. Dia bahkan menarik ke belakang pada putusan hukum final dan sah dari PN Sukoharjo 2016, bahwa sejak itu Sinuhun PB XIII sudah dinyatakan “cacat permanen”.

SELALU MENGALAH : Pribadi KGPH Hangabehi adalah jenis pribadi yang selalu berusaha mengalah. Tetapi, dalam konteks tanggung-jawab dan tugas memimpin masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta ini, semua harapan hanya ada di pundaknya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Jadi, sejak tahun 2016 itu Sinuhun PB XIII sudah dinyatakan cacat permanen oleh PN Sukoharjo. Karena dinyatakan cacat permanen, maka dibebaskan dari hukuman. Itu artinya, orang yang dinyatakan secara hukum cacat permanen, semua produk kebijakannya tidak berkekuatan hukum atau tidak bisa dijadikan dasar hukum. Termasuk pengangkatan prameswari dan penentuan putra mahkota, jelas tak berkekuatan hukum,” tunjuknya.

Pada gilirannya, KPP Nanang Sinduseno juga mengkritisi soal upacara penobatan yang dilakukan sampai Sabtu (15/11). Menurutnya, sama sekali tidak memenuhi prosedur dan syarat yang biasa dilakukan para calon Sinuhun Paku Buwana terdahulu. Dalam analisis yang bisa dilakukan, tokoh ini bahkan sudah tidak memenuhi syarat dari awal, yaitu unsur asal-usul dirinya yang tidak sesuai “bibit, bobot, bebet”. (Won Poerwono – bersambung/i1)