“Berburu Sertifikat” di Sanggar Paes Tata-Busana Pangantin Jawa Kraton Surakarta (Seri 1 – Bersambung)

  • Post author:
  • Post published:November 1, 2025
  • Post category:Regional
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing “Berburu Sertifikat” di Sanggar Paes Tata-Busana Pangantin Jawa Kraton Surakarta (Seri 1 – Bersambung)
JAUH DARI KESAN : Dalam suasana belajar-mengajar seperti ini di Sanggar Paes Tata-Busana Pengantin Jawa "gagrag" Surakarta yang "menumpang" di Bangsal Marcukunda" ini, jauh dari kesan "bisnis pendidikan", karena ada misi ideal yang luhur menampung semangat belajar para agen pelestari Budaya Jawa. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Munculnya Lembaga Kursus Serupa dari “Dalam”, Bisa Merusak Kredibilitas Sanggar Resmi

IMNEWS.ID – SANGGAR Pawiyatan Paes Tata-Busana Pengantin Jawa “gagrag” Surakarta yang baru sekitar lima tahun didirikan Kraton Mataram Surakarta sampai tahun 2025 ini, ternyata sudah menjadi target yang diincar publik terutama para profesional di bidang jasa rias pengantin. Gejala sudah terlihat sampai di  “Babaran (angkatan) V” ini, dan diperkirakan akan terus menjadi “trend” karena ada “misi” yang dikejar.

Sesuatu penting atau misi yang dikejar itu adalah “sertifikat” atau ijazah tanda lulus kursus selama 6 bulan di sanggar milik Kraton Mataram Surakarta itu. Karena, sertifikat itu yang dianggap paling berharga di antara tanda pernyataan serupa yang dikeluarkan tempat-tempat kursus lain. Atau, sesuatu yang diperoleh dari belajar secara langsung di lingkungan kraton sebagai sumbernya “kawruh paes”.

INISIATIF PRIBADI : Ki Dr Purwadi, “Dalang Pro”, Ketua Lokantara Pusat (Jogja) yang sekaligus peneliti sejarah, begitu sering tampak di berbagai aktivitas di kraton karena inisiatif pribadi yang dibiaya dengan uang pribadi. Termasuk saat memberi sumbangan pemikiran kepada para siswa sanggar paes. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Mereka itu mengejar sertifikat (ijazah) kursus di kraton ini yang paling utama dan penting. Karena, mereka tahu sumber (aslinya-Red) itu dari sini. Mungkin sertifikat yang dari sini dianggap paling berharga (dibanding dari tempat lain). Tetapi faktanya, mereka ‘kan belajar langsung di dalam kraton, yang dibimbing para dwija yang menguasai pengetahuan khusus tentang itu di kraton,” ujar Gusti Moeng.

Gusti Moeng (GKR Wandansari Koes Moertiyah) menandaskan hal itu saat diwawancarai iMNews.id menjelang berlangsungnya ujian praktik siswa “Babaran V” hari kedua, Selasa (28/10). Ada beberapa hal penting mengenai eksistensi Sanggar Paes Tata-Busana Pengantin Jawa “gagrag” Surakarta, yang disampaikan Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA sebelum menguji para peserta ujian di Bangsal Smarakata, siang itu.

Penerima penghargaan The Fukuoka Culture Award tahun 2012 di Jepang karena ketokohannya sebagai penjaga adat, seni dan budaya khas khusus di Kraton Mataram Surakarta itu, memang tidak memberi penjelasan mengenai alasan para peserta khusus yang “terkesan” mengejar sertifikat kelulusan dari kraton. Begitu pula penjelasan mengenai situasi persaingan antara lembaga kursus dan para praktisi jasa rias/paes.

Mantan anggota DPR RI pada dua periode terpisah (1999-2004 dan 2009-2014) itu hanya berpesan “wanti-wanti”, agar para siswa lulusan sanggar paes tata-busana dari kraton harus benar-benar mendharma-bhaktikan “kawruh” yang didapat sesuai batas-batas tata-nilainya. Saat praktik di tengah masyarakat kelak, harus bisa mempertanggungjawabkan kualitas kemampuannya, karena membawa nama besar kraton.

SEGALA ENERGI : Gusti Moeng menjadi satu-satunya wanita pemimpin “pelestari”, berani berkorban total, mengerahkan segala kemampuan kapasitas dan energinya untuk mengurusi berbagai lembaga, bidang dan masalah di Kraton Mataram Surakarta. Termasuk, kemampuan mengurus sanggar paes tata-busana. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Mau berlomba-lomba mengejar sertifikat dari sini silakan. Tetapi dengan tegas yang meminta, agar semua lulusan dari sini benar-benar menguasai pengetahuan yang diajarkan di sanggar dan mampu mempraktikkan sesuai yang diajarkan. Para lulusan harus bertanggung-jawab atas karyanya di masyarakat, jangan sampai mempermalukan kraton. Kami juga ikut berdoa, semoga bermanfaat bagi masyarakat luas.”

“Karena, memang ada pihak-pihak yang mengatasnamakan kraton menyelenggarakan kursus semacam ini. Saya tegaskan, walau lokasinya di dalam tembok Baluwarti, itu bukan lembaga milik kraton. Karena Sanggar Paes Tata-Busana di kraton tidak membuka cabang di manapun. Kalau ada dan mengatasnamakan kraton, itu luar di luar tanggungjawab kami. Seharusnya masyarakat luas tidak tertipu,” ujar Gusti Moeng lagi.

“TUTUR, UWUR, SEMBUR” : Gusti Moeng adalah wanita pemimpin satu-satunya dari Mataram tak hanya bisa memberi petuah dan saran (tutur), tetapi juga mau dan bisa membiayai (uwur) dan memberi nasihat-mendoakan (sembur). Apalagi kalau hanya untuk sanggar paes dan tata-busana yang memang bidangnya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pernyataan tandas terakhir Gusti Moeng itu, rupanya terarah pada munculnya lembaga serupa di dalam Baluwarti yang diduga didirikan dan dijalankan oleh beberapa kelompok oknum yang tersingkir dari “Bebadan Kabinet 2004”. Tersingkir dari struktur dan sistem kerja adat di kraton tidak sama “pasif” atau “menghilang” seperti yang dilakukan beberapa tokoh, tetapi “dihukum” akibat “perbuatan/pelanggarannya”.

Ketika Gusti Moeng menyisipkan beberapa kata yang mengisyaratkan munculnya lembaga serupa “dari dalam”, jika dianalisis lebih jauh memang bisa menjadi potensi pesaing di “pasar” jasa rias/paes. Mungkin bisa dibedakan, lembaga yang diurusi para oknum “terhukum” itu adalah potensi pesaing dari internal yang bisa “merusak” kredibilitas lembaga sanggar yang resmi, selain beberapa lembaga pesaing dari luar kraton.

Bila dikaji lebih jauh, bersaing sehat antar lembaga kursus serupa di manapun keberadaannya, baik di internal maupun di eksternal kraton, itu hal biasa dan sudah wajar di dalam iklim usaha. Walaupun, bagi Kraton Mataram Surakarta, kegiatan sanggar paes dan tata-busana, sama sekali jauh dari niat mencari keuntungan materi bila dilihat dari kacamata bisnis jasa. Karena, kraton hanya ingin merawat peradaban.

Dengan mendirikan sanggar paes tata-busana pengantin Jawa, kraton melalui Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan sama sekali tidak berniat menjadikannya kegiatan bisnis untuk mencari keuntungan materi. Tetapi untuk mengedukasi masyarakat luas, agar nilai-nilai kearifannya tetap menjadi bagian penting kehidupan peradaban yang dibangun Mataram, Majapahit, Kediri dan sebagainya sejak ratusan tahun lalu.

MISI IDEALISTIK : Sanggar Paes dan Tata-Busana dan sejumlah sanggar lain termasuk pengelolaan kraton serta berbagai kegiatannya selama ini, adalah menjalankan misi idealistik seperti yang diharapkan dan dilakukan Gusti Moeng. Maka, hampir semuanya adalah tanggungjawab pengabdian, jauh dari bisnis. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tak hanya sanggar paes dan tata-busana, alasan ideal serupa juga menjadi landasan dan pedoman ketika kraton mendirikan Sanggar Pasinaon Pambiwara, juga Sanggar Pawiyatan Dalang Kraton Mataram Surakarta yang hingga kini masih “semaput” (pingsan). Bila dihitung secara materi apalagi diukur dari kacamata kegiatan bisnis, hampir semua yang dilahirkan kraton nyaris hanya semata-mata untuk kepentingan sosial.

Kepentingan sosial yang ideal dan bertata-nilai, bukan asal mengobral atau untuk kepentingan kampanye dan propaganda bersifat politis. Melainkan, benar-benar menjalankan tugas, kewajiban dan tanggungjawab merawat peradaban, dengan mengedepankan semangat “Karya nak tyasing sasama, Hamemayu hayuning bawana”, dan sebisa mungkin bisa “mbengkas memalaning bumi”. “Rugi dan Rugi”, bila menggunakan naluri bisnis.

TAK SEKADAR : Menyelenggarakan dan mengelola berbagai sanggar edukasi bagi Gusti Moeng, adalah tanggungjawab pengabdian untuk pelestarian Budaya Jawa dan demi kelangsungan kraton. Maka, sanggar paes tata-busana, tak sekadar membagi-bagi sertifikat, tetapi misi pelestarian jauh lebih penting ditanamkan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Fakta dan realitas yang tampak jelas sudah bisa menjawab atau menjelaskan persoalan di atas. Karena, nyaris tidak ada tanda-tanda lembaga kraton mendapatkan dan menikmati keuntungan dari sanggat-sanggat itu. Jangankan beruntung melimpah dan menjadi “gemerlap” dari keuntungan mengelola sanggar-sanggar itu, untuk memberi penghargaan “layak” bagi kalangan pengasuh dan pamongnya saja, masih jauh dari ukuran itu.

Jangankan Sanggar Paes Tata-Busana Pengantin yang baru berdiri lima tahun, sanggar pasinaon pambiwara yang sudah beroperasi 32 tahun, nyaris tak kelihatan seperti penampilan praktik-praktik bisnis lembaga pendidikan manapun di luar kraton. Faktanya sangat jauh dari naluri/niat mencari keuntungan. Secara pribadi, tokoh seperti Gusti Moeng-pun justru banyak menutup defisit operasional sanggar-sanggar itu. (Won Poerwono – bersambung/i1)