Mendapati Banyak Hal Berbeda Setelah Kursus di Tempat Asal dan di Jogja
SURAKARTA, iMNews.id – Reynina (23), perias usia muda asal Kabupaten Bojonegoro (Jatim), adalah satu di antara 14 siswa “Babaran V” (bukan VI-Red) Sanggar Pawiyatan Paes Tata-Busana Pengantin Jawa “gagrag” Surakarta yang merasa beruntung. Perias profesional yang sudah dua tahun hidup dari ketrampilannya di bidang “paes” dan tata-busana pengantin itu, bisa mendapatkan pengetahuan “paes” asli dari sumbernya.
Tak hanya pengetahuan “asli” dari sumbernya, Kraton Mataram Surakarta, Nina juga mendapatkan banyak hal di luar pengetahuan “paes”. Dia menyatakan sangat ingin mendalami untuk memahami berbagai hal yang berkait dengan pengetahuan ketrampilan “paes” di kraton. Karena, ada banyak bagian yang sebelumnya tidak didapatkan dari dua tempatnya kursus, kini didapat dari kraton dan dipahami benar makna filosofinya.

“Saya senang sekali bisa menjadi siswa sanggar paes tata-busana kraton. Karena, ternyata lebih lengkap dan luar biasa dari yang pernah saya bayangkan. Karena, sebelumnya saya hanya mendapat pengetahuan dari tempat kursus di tempat saya (Bojonegoro) dan di Jogja. Banyak hal yang berbeda atau tidak sesuai dengan di sumbernya, di kraton ini. Saya ingin belajar mendalami, karena belum semuanya saya pahami.” ujar Nina.
Wawancara singkat itu dilakukan iMNews.id di sela-sela Reynina menjalani praktik merias dan menata busana dua model yang memperagakan sepasang pengantin, di hari kedua ujian praktik di Bangsal Smarakata, Rabu (29/10). Saat itu menjelang penilaian dalam “pendadaran tumindak” (ujian praktik) siswa Sanggar Paes Tata-Busana Pengantin Jawa “gagrag” Surakarta, oleh tim penguji dari pimpinan dan dwija sanggar.
Tim penguji terdiri dari GKR Wandansari Koes Moertiyah (Gusti Moeng) selaku Ketua Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan Kraton yang juga Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LSA, GKR Ayu Koes Indriyah (Gusti Ayu) selaku Ketua (Pangarsa) Sanggar Paes Tata-Busana kraton dan KP Budayaningrat (dwija Sanggar Pasinaon Pambiwara). Figur “dwija” itu, adalah salah seorang representasi “Lembaga Kapujanggan” di kraton.
Seperti diketahui, Sanggar Pawiyatan Paes Tata-Busana Pengantin Jawa “gagrag” Surakarta di kraton yang baru berdiri sekitar 5 tahun, belakangan sempat “terganggu” masalah “salah asuh” oleh onkum pimpinannya. Solusi cepat diambil Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA (Gusti Moeng), GKR Ayu Koes Indriyah segera ditetapkan sebagai pemimpin penggantinya, dan dua tahun terakhir sanggar kembali kondusif.

Karena oknum pimpinan sebelumnya sekaligus mengampu pelajaran pengetahuan tata-busana, maka sebagai gantinya KP Budayaningrat ditugaskan menggantikan. Kehadiran tokoh pemerhati budaya itu memberi nilai tambah di sanggar pawiyatan paes, mengingat kapasitas yang dimilikinya sangat lengkap dalam ragam dan kedalaman pengetahuan dalam Budaya Jawa. Dia pernah duduk sebagai Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Jateng.
“Saya mendapat tugas tambahan di sanggar paes dan tata-buasana. Saya senang, karena saya bisa mengabdikan pengetahuan saya di bidang yang agak lain dari Sanggar Pasinaon Pambiwara. Saya malah bisa membantu menjembatani dari kalangan siswa sanggar pasinaon pambiwara yang ingin belajar khusus ketrampilan paes dan tata-busana. Atau sebaliknya,” ujar KP Budayaningrat menjawab iMNews.id, kemarin.

Dia menyebutkan, sudah banyak siswa sanggar pambiwara yang setelah lulus belajar di sanggar paes tata-busana, di antaranya seorang wanita pejabat Kepala SMKN 3 di Kabupaten Karanganyar. Dia tertarik belajar pengetahuan paes dan tata-busana, tidak sebagai praktisi profesi, tetapi karena dirinya menjadi mitra kepala desa yang selalu menjadi tempat bertanya warganya yang ingin menggelar upacara adat mantu.
Selain wanita kepala sekolah SMK itu, disebutkan pula dua lelaki di antara 14 siswa peserta ujian Babaran V Tahun 2025 Sanggar Paes Tata-Busana kraton, juga lulusan sanggar pasinaon pambiwara. Menurut KP Budayaningrat, tidak semua siswa sanggar paes tata-busana yang sampai angkatan ke-5 membatasi quota 14 orang itu, ingin menjadi ahli profesi sebagai juru paes atau membuka jasa rias di tempat asalnya.
Berbeda dengan Reynina yang mengaku sudah dua tahun berprofesi juru rias dan menjalankan usaha jasa di bidang itu di tempat asalnya Desa Purwosari, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Bojonegoro. Dia menyatakan, dari hasil kursus di Bojonegoro dan sampai ke Jogja, model rias pengantin Jawa “basahan” gaya Surakarta yang diperoleh, sudah sampai ujung atau habis. Padahal, ketika belajar di kraton masih panjang dan luas.
Selain itu, katanya, ada beberapa hal yang jauh berbeda antara pengetahuan yang didapat di Bojonegoro dan Jogja, dengan yang dipelejari di Sanggar Paes Tata-Busana Jawa gagrak Surakarta di kraton. Menurutnya, karena belajar di dalam kraton dan diasuh para dwija ahli dari kraton, dia meyakini semua pengetahuan yang didapat lebih lengkap dan lebih tepat, terutama penjelasan soal makna filosofinya.

“Bagi saya, pengetahuan yang menyangkut makna filosofi dan tentang bahasanya yang lengkap dan tepat, penting sekali. Karena, saya harus bisa menjelaskan kepada siapa saja yang mengundang dan menggunakan jasa saya merias. Baik kepada calon pengantinnya, atau orang-tua dan keluarganya. Kalau saya ditanya tidak bisa menjawab atau kurang tepat bahasanya, ‘kan jadi lucu,” ujar Nina menjawab pertanyaan.
Sementara itu, jalannya ujian praktik siswa “Babaran V” di hari kedua, Rabu (29/10) juga hampir sama dengan hari pertama, Selasa (28/10). Jumlah siswanya juga 7 orang, tetapi perempuan semua, termasuk Nina. Ujian praktik paes dan tata-busana, membutuhkan tempat lumayan luas karena tiap peserta harus siap beberapa perlengkapan terutama meja rias, lampu dan cermin, selain sepasang model peraga pengantin.

Dimulai pukul sekitar 09.00 WIB, semua peserta ujian sudah memulai merias wajah dan menata busana model pengantin wanita yang lebih rumit dan memakan waktu lebih banyak. Srekitar pukul 11.00 WIB, rata-rata sudah selesai dan berganti menata-busana dan merias ringan model pengantin lelaki yang lebih sederhana dan lebih singkat waktunya. Mulai sekitar pukul 13.00 WIB, tim mulai menilai dan menguji “hasil karya”.
Di antaranya, adalah Gusti Moeng, Gusti Ayu dan KP Budayaningrat. Mereka berkeliling melihat proses akhir merias dan menata-busana. Setelah semua siap, dipanggil satu persatu untuk diuji dengan berbagai pertanyaan terhadap karya rias/tata-busana masing-masing. Sebelum menguji, Gusti Moeng sempat berujar kepada iMNews.id, bahwa Sinuhun PB XII sudah meminta Gusti Ayu membuka sanggar paes sejak tahun 2002. (won-i1)




