“Kegamangan” di Antara Generasi Wayah-dalem yang Mengganggu Berbagai “Wiradat”
IMNEWS.ID – SISI pembenaran yang terucap dari KPP Haryo Sinawung Waluyoputro Hadinagoro SPd, terhadap dugaan “kegamangan” di antara kalangan generasi “wayang-dalem” untuk terang-terangan mebantu kerepotan Gusti Moeng dalam “memimpin” kraton, menjadi jawaban yang mengesankan. Setidaknya, menegaskan jawaban atas pemandangan yang selalu terjadi setiap kraton menggelar berbagai kegiatan utamanya upacara adat.
Pernyataan Wakil Pengageng Karti Praja itu (iMNews.id, 17/10) tentu banyak keberannnya, karena dirinya yang tiap hari bertugas “ngantor” di “Bebadan” dan aktif hampir di semua tugas adat dan kepanitiaan untuk kegiatan apapun di kraton, tentu merekam banyak situasi dan kondisi yang berada di belakang layar. Berbagai ekspresi semua figur dalam lalu-lintas kerja adat, tentu banyak didengar dibanding orang luar.
Oleh sebab itu, pernyataan mengenai dugaan “kegamangan” sebagian besar generasi muda wayah-dalem Sinuhun PB XII dalam menentukan sikap, termasuk agak mengejutkan. Meskipun, akibat itu sejak lama sudah sudah diprediksi. Maka secara umum, generasi muda wayah-dalem bukan yang terlibat langsung atas friksi atau pertikaian yang terjadi mulai 2004, karena yang berbeda pendapat dan sikap kalangan orangtua mereka.
Namun faktanya, 10 putra/putri Sinuhun PB XII yang lahir dari “garwa” Kangjeng Ratu Ageng Pradapaningrum lebih banyak “bekerja” di kraton nyaris tanpa anak-anaknya. Mungkin saja, cara ini dimaksudkan untuk menjauhkan anak-anaknya dari “kancah” sengketa, agar keturunan mereka tidak ikut terlibat atau terpengaruh suasana sengketa. Tetapi bila benar, cara seperti ini belum tentu benar, dan kurang bijak.
Terlepas bagaimana solusi didapat di lingkungan keluarga masing-masing, memang tak banyak yang pernah mengisahkan atau “sharing” pengalaman. Faktanya yang selama ini selalu tampak, sepuluh putra/putri-dalem itu lebih sering tampil tanpa anak-anak mereka. Dari sisi lain keputusan ini bisa dimaknai, kalangan anak-anak mereka yang notabene wayah-dalem, jauh dari suasana berbagai kerja adat di kraton.
Bahkan, dari 10 putra/putri-dalem yang semula bergabung dalam Bebadan Kabinet 2004, dari waktu ke waktu berkurang oleh beberapa faktor. Yang pertama, faktor meninggalnya KGPH Kusumo Yudo hanya beberapa waktu setelah 2004, yang dimaknai dengan “gugur di medan perang” (kancah sengketa). Lelaki tertua setelah Sinuhun PB XIII ini “gugur” sebagai “senapati”, sehingga 10 putra/putri itu menjadi berkurang satu.

Agak berselang beberapa tahun, “gugurlah senapati kedua”, yaitu KPH Satryo Hadinagoro. Dia suami GKR Galuh Kencono (alm) alias menantu, tetapi militansinya dalam membela “Bebadan Kabinet 2004” yang isinya para pendukung Sinuhun PB XIII, ibarat “senapati” kedua di “medan perang”. Saat-saat sesudah KGPH Kusumo Yudo meninggal, di luar putra/putri yang tinggal 9 tokoh itu, memang banyak “senapati” lain bergurguran.
Mereka yang “gugur” itu adalah BKPH Prabuwinoto, GPH Haryo Mataram, KPH Broto Adiningrat, KPH Kusumo Wijoyo hingga KPA Winarno Kusumo (Wakil Pengageng Sasana Wilapa). Sementara, dari 9 tokoh beruntun “gugur” GKR Galuh Kencono, GKR Sekar Kencono dan GKR Retno Dumilah. Masa pandemi mulai 2020 itu, selain tiga tokoh wanita kakak kandung Gusti Moeng, pendukung setia GPH Nur Cahyaningrat juga “gugur”.
Peristiwa “gugurnya” sejumlah tokoh “senapati” Bebadan Kabinet 2004, tak hanya terjadi sepanjang waktu sebelum ada “insiden mirip operasi militer 2017”. Peristiwa yang disebut KPH Edy Wirabhumi sebagai insiden “kerusuhan” yang melibatkan dua ribu polisi dan 400 militer ini, semakin banyak “korban” berjatuhan langsung atau tidak. Apalagi, ketika memasuki masa “pageblug” Corona mulai tahun 2020.
Begitu lepas masa “pengusiran” bersamaan dengan berakhirnya masa pandemi, Gusti Moeng memimpin Bebadan Kabinet 2004 bekerja kembali di dalam kraton pada insiden “Gusti Moeng kondur Ngedhaton 17 Desember 2022. Dari 9 putra/putri Sinuhun PB XII yang tersisa setelah “ditinggal” KGPH Kusumo Yudo, Desember 2022 itu Gusti Moeng tinggal ditemani Gusti Ayu (GKR Ayu Koes Indriyah) untuk memulai kembali kerja adatnya.
Peta “kekuatan” berubah total sejak terjadi “insiden mirip operasi militer” 2017. Karena, PB XIII melepas tanggung-jawab dan memilih melakukan “rekonsiliasi” sepihak atas arahan “penguasa”. Tiga adik lelakinya ikut “menghilang”, belakangan diketahui GPH Benowo mengikutinya, GPH Madu Kusumonagoro “pasif” dan KGPH Puger entah kemana. Awal tahun 2025 ini situasi membaik, KGPH Puger dan GPH Madu kembali aktif.
Tetapi, dinamika perkembangan yang dialami kalangan putra/putri Sinuhun PB XII, ternyata tak berbanding lurus dengan sikap kalangan generasi muda wayah-dalem. Karena, belasan keturunan dari 10 putra/putri-dalem itu ternyata juga sudah terpecah. Sebagian mengikuti jejak ayahnya (Sinuhun PB XIII), sebagian lagi pasif dan hanya KGPH Hangabehi, KPH Bimo Djoyo, KRMH Manikmoyo dan KRMH Suryo Kusumo yang aktif.

Empat lelaki tokoh wayah-dalem yang aktif membantu tugas-tugas Gusti Moeng di berbagai Bebadan Kabinet 2004 itu tentu membanggakan. Selain meringankan beban di saat krisis SDM melanda, empat tokoh muda ini bisa menjadi teladan karena semangatnya mau belajar, mempersiapkan diri menyongsong tugas ke depan. Mengingat, merekalah generasi pengganti orangtua mereka yang tidak lama lagi akan habis karena usia.
Beberapa tokoh wayah-dalem yang bergabung mengikuti jejak ayahandanya (Sinuhun PB XIII) yang kini dikabarkan “sudah tidak berdaya”, sebenarnya ada yang semula mengikuti jejak Gusti Moeng di bebadan Kabinet 2004. Tetapi, mereka terkesan tidak mau “bekerja keras” dan enggan belajar memahami dan menguasai tugas-tugas adat. Mereka telah terbiasa “menikmati pesta” yang sudah jelas bukan saatnya.
Dengan meninggalnya KRMH Herjuna Suryo Wijoyo (iMNews.id, 17/10), sejatinya menjadi “pukulan berat” Bebadan Kabinet 2004 khususnya Gusti Moeng. Karena dia adalah putra GKR Retno Dimilah, yang pernah berjuang membantu Gusti Moeng. Terlebih, putra lelaki pertanya KRMH Suryo Harbanu, sudah jauh lebih dulu meninggal, meskipun bergabungnya putra lain KGPH Puger, yaitu KRMH Suryo Triyono bisa “menghibur”.

Hingga kini memang belum pernah terlontar secara langsung dari kalangan orang-tua atau generasi kedua Sinuhun PB XII yang kini bekerja di Bebadan Kabinet 2004, apa alasan kalangan generasi muda “enggan” bergabung menjalani kerja adat?. Padahal, Gusti Moeng sering mengeluhkan keterlibatan kalangan generasi muda yang nyaris tak kelihatan di antara para abdi-dalem yang sedang menjalankan tugas kerja adat.
Dalam berbagai kesempatan misalnya ritual “ngisis ringgit”, Gusti Moeng sering berjura kepada iMNews.id, bahwa dirinya selalu mengharap keterlibatan kalangan wayah-dalem aktif bergabung dengan para abdi-dalem di semua upacara adat yang digelar kraton. Karena, dengan cara itu sedikit demi sedikit akan mengenal, memahami dan menguasai tatacara ritual maupun objek ritual yang sudah terjadwal rutin dan baik.
Mungkin benar sinyalemen KPP Haryo Sinawung Waluyoputra, bahwa di kalangan para wayah-dalem yang selama ini pasif atau “menghilang” dari berbagai kegiatan adat di kraton karena “gamang”. Karena, mereka merasa tidak nyaman bila datang di kraton, tetapi dengan “setengah terpaksa” harus bergabung dengan salah satu pihak. Sikap seperti ini jelas memperburuk krisis SDM dan sangat mengganggu berbagai upaya wiradat. (Won Poerwono – habis/i1)




