Tantangan Berat Bagi Semua Elemen Daya Dukung Kraton Mataram Surakarta
IMNEWS.ID – BILA melihat dinamika proses perkembangan elemen Pakasa dan beberapa elemen lain termasuk Putri Narpa Wandawa, maka bisa disebut trend animo masyarakat untuk bergabung menjadi abdi-dalem melalui elemen itu ada peningkatan. Pada gilirannya menunjukkan, minat publik untuk belajar mengenal dan memahami makna dan manfaat “pasuwitan” juga semakin baik, dan semua bisa dilihat tanda-tandanya.
Jadi, setelah kepengurusan Pakasa Cabang Karanganyar mengalami sedikit perubahan formasi dan penetapan untuk periode 2025-2030 yang berlangsung sekitar dua bulan lalu, belum lama menyusul dua cabang. Yaitu, “tetepan” dan pelantikan pengurus Pakasa Cabang Boyolali (iMNews.id, 9/10) dengan penambahan organ kelengkapan. Terakhir, “tetepan” pengurus cabang baru, yaitu Pakasa Kota Pekalongan (iMNews.id, 11/10).
Melihat perkembangan seperti itu, dilihat dari sisi manapun sangat menggembirakan dan membanggakan karena berbagai alasan yang rata-rata positif. Tetapi seiring dengan itu, ada konsekuensi yang sulit dihindarkan. Yaitu konsekuensi dalam dinamika proses pergerakan ke jalur “pasuwitan”, yang memerlukan kesiapan dua pihak yaitu elemen “penerima” dan elemen “pemohon”, untuk saling mengedukasi diri.

Bagi elemen-elemen “penerima pasuwitan” yang berada di jajaran “Bebadan Kabinet 2004” dan lembaga payung hukumnya (Lembaga Dewan Adat), konsekuensinya kurang-lebih menyiapkan mekanisme prosedur proses “pasuwitan” bagi warga anggota Pakasa cabang dan calon anggota. Karena asumsinya, banyak warga yang sudah menjadi anggota Pakasa, ternyata kurang memenuhi standar persyaratan minimal yang fundamental.
Dengan asumsi itu, untuk calon anggota Pakasa atau yang baru magang sebagaio abdi-dalem, tentu lebih jauh lagi dari standar minimal penguasaan syarat fundamental “pasuwitan”. Untuk memenuhi standar syarat fundamental ini, harus ada mekanisme presedur yang semuanya punya semangat mengedukasi. Pekerjaan ini akan menjadi efisien, efektif dan ringan jika disusun dalam sebuah sistem edukasi, sekaligus seleksi.
Ketika mekanisme prosedur sudah tersusun dalam sistem, maka ketika SDM pihak “penerima” (Bebadan Kabinet 2004 dan LDA) kini mengalami kekurangan jumlah, proses edukasi dan seleksi akan tetap bisa berjalan. Seiring dengan proses ini, SDM baru akan lahir dan bisa membantu dari posisi asistensi hingga memenuhi syarat menjadi figur edukator dan selektor, yang harus bersinergi dengan sanggar-sanggar dan elemen lain.

Harus diakui, proses masuknya abdi-dalem melalui pintu Pakasa cabang yang berada di berbagai daerah luas seperti dilukiskan bisa terwujud di luar Jawa bahkan di luar negeri (iMNews.id, 13/10), memang sangat longgar. Bahkan sering tampak ke permukaan contoh-contoh praktik yang menabrak paugeran (walau ringan), tetapi lebih banyak menampakkan kapasitas yang minim, akibat penguasaan syarat fundamental tipis sekali.
Kondisi seperti ini disebabkan mekanisme prosedur “pasuwitan” nyaris tidak ada tidak terbakukan dalam sebuah sistem. Tetapi itu bisa dimaklumi, karena untuk menjadi warga apalagi anggota Pakasa sejak kali pertama didirikan 29 November 1931, tidak ditemukan data adanya sistem seleksi dan mekanisme prosedur dalam regulasi. Proses pelibatannya sangat longgar, sangat terbuka dan nyaris tanpa seleksi.
Kini, Pakasa “reborn” di zaman yang sudah sangat maju sehingga bisa disebut “new Pakasa”, semangatnya memang sudah jauh berubah atau tidak bisa meniru “platform” Pakasa ketika dilahirkan. Walau kini hanya untuk berjuang melestarikan Budaya Jawa, menjaga eksistensi kraton dan menjaga ketahanan budaya nasional, Pakasa “reborn” harus lebih baik. Sebagai ormas resmi, yang harus berjalan sesuai AD/ART.

Selain memenuhi syarat sebagai ormas yang diatur oleh regulasi pemerintah, Pakasa juga harus memenuhi syarat yang fundamental, yaitu penguasaan budaya dan segala “kawruh” yang menjadi objek pelestarian. Untuk berbagai pekerjaan yang muncul pada proses “pasuwitan” sebagai abdi-dalem maupun sebagai anggota Pakasa itulah, pekerjaan berat menjadi tantangan bersama berbagai elemen di Kraton Mataram Surakarta.
Pekerjaan berat dalam proses penguasaan bekal fundamental, sekaligus proses edukasi dan seleksi untuk mengisi kekosongan SDM maupun untuk mendapatkan daya dukung yang berkualitas, kini menanti. Persoalan sistem edukasi dan seleksi, kini memang belum dirumuskan sebagai perangkat baru yang melibatkan berbagai unsur sesuai kebutuhan. Tetapi, sinyal kekosongan perangkat sistemnya sudah berulang-ulang dilempar.
“Kekosongan” perangkat sistem yang sering disebut Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA), yaitu semakin berkurangnya jumlah SDM pejabat di berbagai jajaran Bebadan Kabinet 2004 karena faktor usia. Sementara, hampir semua generasi keturunannya jarang yang berminat “bekerja” mengabdikan diri di kraton. Sementara itu, keluarga inti kraton juga kekurangan daya dukung dari keturunannya sendiri.

Meskipun bukan satu-satunya faktor, yang bisa menjamin ketersediaan jumlah SDM sesuai kebutuhan kerja adat di kraton, adalah faktor “poligami” telah menjadi fakta yang membuktikan. Kraton Mataram Surakarta bisa berlangsung sampai 200 tahun (1745-1945) bahkan hingga 80 tahun kemudian, bahkan, sejak kraton-kraton sebelumnya, karena kerja adat ditangani langsung komunitas yang terdiri keluarga dan kerabat.
Keluarga inti raja yang jumeneng nata dan kerabat sentana dari sanak-famili keturunan leluhur sebelumnya, menjadi kekuatan utama dalam menjalankan kerja adat sekaligus jalannya pemerintahan “negara” sampai di tingkat “kadipaten”. Itulah yang menjamin jalannya pemerintahan “negara” monarki (eksekutif) maupun kerja-kerja adat sesuai tradisi kraton dalam waktu panjang ratusan tahun, hingga tersisa kini.
Kekuatan daya dukung dari keluarga inti raja dan kerabat sentana itu semakin berkurang terutama setelah 1945, karena kraton tinggal sebatas lembaga adat dan budaya. Tata-nilai poligami yang dianggap “kurang baik” di era republik, jelas membatasi ketersediaan SDM keluarga inti dan kerabat sentana. Pada titik inilah sekarang ini, kraton mengalami dilematik antara kebutuhan SDM dan segala keterbatasannya. (Won Poerwono – habis/i1)